4 Bukti Ekonomi Indonesia 'Kebal' dari Resesi Meskipun Dunia Melambat

ANTARA FOTO/Galih Pradipta/rwa.
Suasana pembangunan proyek LRT (Light Rail Transit) JABODEBEK di kawasan Kuningan, Jakarta, Kamis (22/9/2022).
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Yuliawati
5/10/2022, 17.51 WIB

2. Kinerja Produksi Bagus

Aktivitas pabrik-pabrik di dalam negeri menunjukkan peningkatan sejalan dengan konsumsi yang makin kuat. Hal ini tercermin dari indeks PMI Manufaktur yang kembali meningkat pada bulan lalu menjadi 53,7%, laju tercepat dalam delapan bulan terakhir. Ekspansi PMI manufaktur dalam negeri tersebut saat pusat manufaktur dunia seperti CIna, Eropa dan Amerika Serikat lesu.

3. Ekspor Moncer

Damhuri melihat Indonesia juga masih menangguk untung besar dari kenaikan harga komoditas, terlihat dari kinerja ekspor yang besar. Sekalipun resesi di banyak negara akan mempengaruhi ekspor Indonesia, dampaknya pun dinilai relatif kecil dibandingkan negara lain seperti Singapura, Hong Kong dan Thailand.

"Kenapa Indonesia bisa tetap peluangnya relatif kecil karena ekspor kita masih bagus seiring harga komoditas yang masih bagus, sementara mereka (Singapura hingga Hong Kong, permintaan produk ekspor mereka notabennya bukan komoditas sehingga akan menurun signifikan saat terjadi resesi," kata Damhuri, Rabu (5/10).

Ekspor yang kuat telah menjadi mesin baru bagi perekonomian Indonesia. Hampir seperempat PDB pada kuartal kedua lalu disumbangkan oleh ekspor. Pertumbuhannya juga sangat kuat mencapai 19,7% saat komponen lainnya tumbuh hanya satu digit.

4. Belum Terjadi Inverted Yield Curve

Inverted yield curve alias kurva imbal hasil terbalik populer dipakai para ekonom untuk melihat kemungkinan terjadinya resesi pada suatu perekonomian. Artinya, dalam kondisi akan terjadi resesi, biasanya yield obligasi pemerintah bertenor pendek akan lebih tinggi dibandingkan yang bertenor panjang. Hal ini sudah terbukti saat terjadi resesi pada periode-periode sebelumnya.

Dalam kondisi normal, yield obligasi bertenor panjang akan lebih tinggi dibandingkan bertenor pendek. Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede melihat kondisi tersebut masih terlihat pada pasar obligasi dalam negeri. Yield SBN tenor 10 tahun saat ini di level 7,3%, masih jauh di atas imbal hasil tenor dua tahun yang sebesar 5,9%. Spreadnya masih positif yang mengindikasi belum terjadi pembalikan kurva.

"Kalau ekspektasi yield tenor pendek lebih tinggi artinya ada ekspektasi suku bunga akan terus naik sehingga implikasinya terhadap risiko dampak terhadap perlambatan ekonomi signifikan juga," kata Josua.

Halaman:
Reporter: Abdul Azis Said