Nilai tukar rupiah dibuka melemah tipis tujuh poin ke level Rp 15.365 per dolar AS di pasar spot pagi ini. Rupiah melemah terimbas penantian risalah rapat The Fed Kamis dini hari nanti.
Mengutip Bloomberg, rupiah melanjutkan pelemahan ke Rp 15.383 pada pukul 09.25 WIB, semakin jauh dari posisi penutupan kemarin di Rp 15.358 per dolar AS.
Mayoritas mata uang Asia lainnya melemah terhadap dolar AS kecuali won Korea Selatan yang menguat serta dolar Hong Kong dan rupee India yang stagnan. Yen Jepang terkoreksi 0,36% bersama dolar Singapura 0,19%, peso Filipina 0,21%, dolar Taiwan 0,04%, yuan Cina 0,26%, ringgit Malaysia 0,20% dan baht Thailand 0,37%.
Analis DCFX Lukman Leong memperkirakan rupiah akan bergerak datar hari ini dengan sentimen utama pada rilis risalah rapat The Fed. Rupiah diperkirakan bergerak di rentang Rp 15.300-Rp 15.400 per dolar AS.
"Rupiah diperkirakan akan datar di tengah sentimen pasar yang beragam, dengan investor cenderung side-lined menantikan risalah pertemuan FOMC malam ini," kata Lukman dalam risetnya, Rabu (12/10).
Pasar menantikan risalah rapat The Fed September yang dirilis nanti malam akan memberi sinyal lanjutan terkait arah kebijakan bank sentral ke depan. The Fed telah menaikan suku bunga 300 bps sejak kenaikan pertama Maret lalu.
The Fed konsisten mengerek suku bunga dalam lima pertemuannya berurut-turun dengan tren kenaikan yang terus agresif. The Fed bahkan mengerke suku bunga 75 bps dalam tiga pertemuannya beruntun yakni Juni, Juli dan September.
Ekspektasi kenaikan suku bunga 75 bps pada pertemuan November mendatang telah meningkat beberapa hari terakhir, Menurut alat pemantauan CME FedWatch, probabilitas kenaikan 75 bps meningkat menjadi 80,4%, sisanya memperkirakan bunga hanya naik 50 bps pada pertemuan mendatang.
Dari dalam negeri, Lukman melihat sentimen utamanya terkait kekhawatiran kenaikan ekspektasi inflasi. Harga-harga telah menunjukan tren kenaikan beberapa bulan terakhir dan menyentuh 5,95% secara tahunan pada September seiring kenaikan harga BBM.
"Sentimen dalam negeri masih negatif oleh ekspektasi inflasi yang meningkat. Investor masih enggan melirik obligasi pemerintah dan aset berdenominasi rupiah," kata Lukman.