Bank Indonesia atau BI memperkirakan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana dalam rangka pembiayaan penanganan Covid-19 akan mencapai Rp 1.144 triliun sampai akhir tahun ini. Jumlah tersebut merupakan akumulasi pembelian surat utang pemerintah selama tiga tahun terakhir.
"Kalau ditotal sampai akhir tahun ini, prognosanya kurang lebih kami membeli di pasar perdana ini sekitar Rp 1.144 triliun selama tiga tahun untuk mendukung kepada APBN dalam rangka penanganan Covid-19 maupun pemulihan ekonomi," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Senin (21/11).
Sesuai mandat UU 2 tahun 2022, Bank Indonesia ikut serta membiayai penanganan pandemi melalui pembelian SBN di pasar perdana. Sebagian dari pembelian tersebut dilakukan dengan berbagai beban suku bunga alias burden sharing, artinya pemerintah tidak dikenakan bunga utang sama sekali.
Perry mengatakan sampai dengan saat ini pembelian SBN di pasar perdana sesuai UU 2 tahun 2022 mencapai Rp 974,09 triliun. Ini terdiri atas pembelian melalui SKB 1 sebesar Rp 266,1 triliun. SKB II sebesar Rp 397,56 triliun. SKB III sebesar Rp 310,4 triliun sampai dengan 15 November. SKB III ini rencananya berakhir tahun ini.
"Untuk SKB III ini masih ada sisa Rp 128,6 triliun yang belum terealisasikan, BI berkomitmen agar jumlah ini juga bisa direalisasikan," kata Perry.
Sekalipun pembelian SBN di pasar perdana dalam rangka Covid-19 berakhir tahun ini, tapi bank sentral tampaknya masih bisa melakukannya di masa-masa mendatang. Hal ini diakomodir dalam RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) usulan DPR.
Pada bagian yang merevisi UU 9 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan, pasal 36A berbunyi, BI berwenang membeli SBN jangka panjang di pasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional. Skema pembeliannya setelah ditetapkan dalam SKB antara Menkeu dan gubernur BI.
IMF dalam Article IV pada Februari lalu sempat meminta BI untuk segera mengakhiri pembelian SBN di pasar perdana. Dalam sebuah blog terpisah, IMF menyarankan bank sentral negara berkembang yang aktif memborong surat utang pemerintah di pasar perdana untuk kemudian beralih ke pembelian di pasar sekunder.
Alasannya, langkah ini bisa mengganggu independensi bank sentral. Pembelian langsung di pasar primer menurut IMF memberikan keleluasan bagi pemerintah untuk menentukan ukuran neraca bank sentral dan tingkat bunga yang akan dibayarkan. Hal ini cenderung melemahkan disiplin fiskal dan meningkatkan risiko monetisasi utang.