DPR Diminta Tolak Perppu Cipta Kerja karena Mengabaikan Publik

ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah/foc.
Sejumlah pencari kerja antre untuk memasuki acara bursa kerja di BBPVP (Balai Besar Pelatihan Vokasi dan Produktivitas) Cevest Bekasi, Jawa Barat Rabu (7/9/2022). Bursa kerja itu diikuti 3.000 perusahaan dari berbagai bidang untuk menyerap sekitar 15.000 tenaga kerja baru dan diadakan dari tanggal 7-8 September 2022.
Penulis: Lona Olavia
31/12/2022, 15.19 WIB

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) meminta DPR menolak Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagai pengganti UU Cipta Kerja. Penyebabnya, karena Perppu ini dinilai telah mengabaikan Putusan MK 91/PUU-XVIII/2020.

PSHK juga mendesak presiden dan DPR harus melakukan pembahasan kembali UU Ciptaker sebagaimana amanat UU MK 91/PUU-XVIII/2020 dengan menghadirkan ruang partisipasi masyarakat yang bermakna dalam prosesnya.

“Presiden dan DPR untuk menghentikan praktik ugal-ugalan dalam proses legislasi dan kembali pada asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik,” kata Peneliti PSHK M Nur Ramadhan dalam keterangan resmi, Sabtu (31/12).

Sebelumnya, Menkoperekonomian, Menkopolhukam, dan Wamenkumham melalui siaran pers Sekretariat Presiden mengumumkan pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker).

Keberadaan Perppu 2/2022 mencabut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang sebelumnya dinyatakan inkonstitusional bersyarat (cacat formil) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020.

Penerbitan Perppu Ciptaker ini dinilainya merupakan sinyal kuat bagaimana Pemerintah mendudukkan publik dalam proses legislasi. Ada tiga corak utama yang lahir sejak 2019 yang terus berulang hingga kini dalam proses legislasi.

Pertama, memposisikan publik sebagai pihak yang berhadapan dengan pemerintah dalam proses legislasi. Kedua, menempatkan pemangku kepentingan dalam posisi tidak seimbang dalam perencanaan, penyusunan dan pembahasan produk hukum. Ketiga, kerancuan dalam skala prioritas materi muatan legisasi.

“Argumentasi kepentingan ekonomi dalam penerbitan Perppu Cipta Kerja ini juga memberikan kode yang membingungkan bagi publik. Apabila ada kebutuhan pengencangan anggaran karena potensi ekonomi yang memburuk, mengapa justru ada pengeluaran uang dengan skala massif, misalnya untuk membangun IKN dan memaksakan pembentukan UU IKN,” katanya.

Bahkan, menurutnya penerbitan Perppu Ciptaker semakin menegaskan bahwa publik tidak ada artinya bagi Pemerintah dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan.

Keharusan untuk menghadirkan partisipasi bermakna justru direspon dengan semakin mendangkalkan saluran-saluran partisipasi masyarakat. Hal tersebut terlihat dari dua Perppu yang baru saja terbit pada tahun 2022, yakni Perppu Pemilu dan Perppu Ciptaker.

“Di samping banyaknya pertanyaan dan polemik yang ditimbulkan dari penerbitan Perppu Ciptaker, celakanya sampai dengan rilis ini disusun dokumen Perppu Ciptaker belum dapat diakses. Hal itu menguatkan kesan bahwa pemerintah semakin menarik proses pembentukan peraturan perundang-undangan ke ruang gelap. Padahal prinsip transparansi adalah prasyarat terbukanya ruang partisipasi yang bermakna,” kata Nur.