BPK Minta Sri Mulyani Awasi Pengelolaan Insentif Pajak Rp 2,73 Triliun

ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/aww.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan pidato saat Seminar on Energy Efficient Mortgage (EEM) Development throughout ASEAN Countries di Jakarta, Selasa (22/8/2023). Seminar tersebut merupakan rangkaian jelang pertemuan ke-2 tingkat Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara-negara ASEAN (AFMGM).
8/12/2023, 06.15 WIB

Bank Pemeriksa Keuangan (BPK) menyoroti kelemahan pengendalian internal dan ketidakpatuhan terhadap laporan hasil pemeriksaan (LHP) atas laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) Tahun 2022. Salah satunya terkait program insentif pajak.

Dalam ikhtisar hasil pemeriksaan semester (IHSP) I Tahun 2023, BPK menemukan pengelolaan fasilitas dan insentif perpajakan tahun 2022 sebesar Rp 2,73 triliun dinilai belum memadai. Akibatnya, penerimaan pajak negara berpotensi berkurang.

"Antara lain dari pemanfaatan fasilitas pajak pertambahan nilai (PPN) Dibebaskan atas impor dan/atau penyerahan barang kena pajak (BKP) tertentu yang bersifat strategis dan impor dan/atau penyerahan BKP/jasa kena pajak (JKP) tertentu yang tidak sesuai dengan ketentuan sebesar Rp 2,36 triliun," tulis IHSP Semester I 2023, dikutip Jumat (8/12).

Karena itu, BPK merekomendasikan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani selaku wakil pemerintah, agar memerintahkan Direktur Jenderal Pajak untuk menginstruksikan Direktur atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terkait untuk segera melakukan penanganan.

Pertama, dengan melakukan validasi pelaporan realisasi pemanfaatan insentif wajib pajak (WP) secara optimal. Kedua, melaksanakan fungsi pengawasan atas pemanfaatan fasilitas dan insentif perpajakan yang tidak memenuhi persyaratan.

Ketiga, melakukan penelitian atas pemanfaatan fasilitas PPN Dibebaskan, PPN Tidak Dipungut, dan PPN ditanggung pemerintah (DTP). Keempat, melakukan upaya perpajakan umum atas insentif PPN DTP yang tidak sesuai dengan ketentuan.

Anggaran Belanja Belum Sesuai Ketentuan

Selain insetif pajak, BPK juga menyoroti masalah penganggaran, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban belanja pada 78 kementerian/lembaga (K/L) sebesar Rp 16,39 triliun yang dinilai belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan.

Akibatnya, realisasi belanja berpotensi melebihi nilai yang seharusnya dibayarkan sebesar Rp 4,89 triliun dan realisasi belanja tidak sesuai dengan ketentuan atau perikatan kontrak atau peraturan pelaksanaan yang terkait dengan kegiatan sebesar Rp 7,93 triliun.

BPK merekomendasikan Sri Mulyani agar memerintahkan Direktur Jenderal Anggaran untuk menyempurnakan mekanisme penganggaran untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam proses penganggaran.

"Kemudian meminta Direktur Jenderal Perbendaharaan untuk berkoordinasi dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)," kata BPK.

Selain itu, BPK meminta Inspektorat Jenderal K/L untuk merumuskan kebijakan dan pengembangan sistem pengendalian yang efektif untuk menghindari permasalahan berulang dalam pengelolaan belanja.

Reporter: Ferrika Lukmana Sari