Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, neraca perdagangan Indonesia pada Desember 2023 mencatat surplus US$ 3,31 miliar atau surplus selama 44 bulan berturut-turut sejak mei 2020.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini menjelaskan, pencapaian surplus tersebut didorong oleh sektor non migas yang berkontribusi hingga US$ 5,20 miliar, namun tereduksi oleh defisit sektor migas senilai US$ 1,89 miliar.
"Neraca perdagangan komoditas migas defisit US$ 1,89 miliar dengan komoditas penyumbang defisit adalah hasil minyak dan minyak mentah," ujar Pudji dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (15/1).
Sebaliknya, neraca perdagangan non migas justru kantongi surplus US$ 5,20 dengan komoditas penyumbang surplus seperti bahan bakar mineral, lemak dan minyak hewan, besi dan baja.
Secara kumulatif, neraca perdagangan Desember tersebut lebih tinggi dibandingkan November 2023 sebesar 0,90%, namun lebih rendah 0,61% dibandingkan Desember 2022.
Adapun neraca perdagangan sepanjang Januari hingga Desember 2023 tercatat menurun US$ 17,52 miliar menjadi US$ 36,93 miliar dibandingkan periode yang sama tahun lalu yakni US$ 54,46 miliar.
AS dan India Jadi Penyumbang Surplus Terbesar RI
Pudji mengatakan, bahwa India menjadi penyumbang surplus terbesar pada neraca perdagangan non migas Indonesia. Nilainya mencapai US$ 1,42 miliar pada Desember 2023.
“[Pencapaian] surplus terbesar ini, didorong [dari India] dengan komoditasnya adalah bahan bakar mineral, lemak hewani nabati, dan besi dan baja,” ujar Pudji.
Sementara negara penyumbang surplus terbesar selanjutnya adalah Amerika Serikat (AS) yang menyumbang US$ 1,32 miliar dan Filipina sebesar US$ 718 juta.
Namun Indonesia juga mengalami defisit perdagangan dengan beberapa negara. Terdalam dari Australia sebesar US$ 567,5 juta, Brasil sebesar US$ 498 juta, dan Thailand defisit US$ 405,6 miliar.
“Defisit terdalam yang dialami dengan Australia didorong oleh komoditas bahan bakar mineral, biji logam tera dan abu, serta logam mulia emas dan permata," ujarnya.