Kenaikan pajak hiburan sebesar 40%-75% dikeluhkan oleh banyak pihak. Begitu pula oleh pegawai karaoke dan Disk Jockey (DJ) yang menggantungkan hidupnya pada dunia hiburan sebagai mata pencarian utama.
Andi salah satunya. Pegawai Family Karaoke ini bercerita, bahwa semenjak berita terkait kenaikan pajak hiburan ramai disorot, jumlah pengunjung karaoke justru semakin menyusut.
“Kami kan tempat karaoke keluarga, dan sangat terpengaruh oleh isu tersebut. Sekarang pengunjung sudah makin sedikit,” ujar Andi kepada Katadata.co.id pada Kamis (18/1).
Padahal, hingga saat ini Family Karaoke belum menetapkan pajak 40%. Namun masih menetapkan pajak 25%, tapi jumlah pengunjung sudah sepi. Jika pajak benar-benar naik, dia khawatir bisnis Family Karaoke akan redup.
"Ini juga akan pengaruh ke karyawan kita, bisa dikurangi lagi dari jumlah sebelumnya," kata Andi.
Maka itu, dia berharap pajak hiburan tidak naik lagi. Karena, dengan penerapan pajak 25% saat ini, sudah banyak terima protes dari para pengunjung.
Namun Andi hanya bisa pasrah. Saat ini, dia masih menunggu arahan dari pemilik Family Karaoke terkait kepastian penetapan pajak baru tersebut.
Keresahan Seorang Disk Jockey
Tak berbeda dengan Andi, Duhan juga merasakan hal yang sama. Lelaki yang berprofesi sebagai DJ ini resah dengan kenaikan pajak hiburan tersebut. Apalagi, dia hanya seorang freelance atau pekerja lepas di dunia hiburan.
Menurut Duhan, dengan kenaikan pajak hiburan tersebut, akan membuat penikmat hiburan malam semakin tersegmentasi. Jadi hanya orang-orang kaya yang bisa menikmati hiburan ini.
“Kalau pajak hiburan naik, otomatis yang datang hanya orang-orang kaya saja. Lalu tempat hiburan malam juga makin sedikit karena besarnya pajak. Otomatis kami sebagai DJ bisa rebutan lahan,” ujar Duhan.
Jika ini terus berlanjut, dikhawatirkan bisnis hiburan malam akan meredup dan dia juga bisa kehilangan mata pencairannya.
Padahal dengan menjadi seorang DJ, lelaki berusia 28 tahun ini bisa mendapatkan komisi yang lebih besar jika mengisi acara di klub-klub malam dibandingkan acara hiburan lain seperti konser musik.
“Kalau di klub lebih menguntungkan, apalagi kita dibayar jasa secara penuh sebagai talent. Kalau event sendiri atau konser duitnya enggak banyak dan biasanya lebih capek,” ujarnya.
Memasukan Spa Sebagai Hiburan
Ketua Asosiasi Spa Indonesia Wellness, M. Ashyadi mengaku, tarif pajak yang tinggi bukan menjadi keresahan utama bagi para pengusaha spa. Namun ia menyayangkan aturan UU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD) yang memasukkan spa sebagai kategori hiburan.
Menurut Ashyadi, dalan peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi kreatif nomor 11 tahun 2019 ternyata sudah ada pembaharuan dari peraturan menteri sebelumnya. Dengan memasukan spa sebagai pelayanan kesehatan tradisional.
"Bahkan dalam undang-undang kementerian kesehatan nomor 36 Tahun 2009 dan peraturan pemerintah tahun nomor 103 tahun 2014 juga sudah dijelaskan bahwa spa terkait dengan kesehatan tradisional," kata Ashyadi.
Saat ini, pihaknya telah mengajukan judicial review atau uji materi terkait peraturan HKPD. Pengajuan tersebut dilakukan pada 5 Januari 2024 lalu. Dalam gugatannya, asosiasi spa meminta peninjauan ulang pada pasal 58 ayat 2 UU HKPD.
“Di sana disebutkan pajak barang dan jasa (PBJT) sebesar 10% dikecualikan mandi uap/spa. Inilah yang kami tidak setuju,” ujar Ashyadi.
Adapun dalam ketentuan tersebut, pemerintah mengenakan pajak hiburan paling rendah 40% dan paling tinggi 75% untuk mandi uang/spa, diskotek, karaoke, kelab malam dan bar. Sementara 11 jenis hiburan lain dikenakan pajak maksimal 10%.
Luhut Minta Pajak Hiburan Ditunda
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan kenaikan pajak hiburan akan ditunda, sambil menunggu hasil judicial review yang diajukan sejumlah asosiasi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurut dia, kenaikan pajak hiburan menjadi 40% sampai 75% merupakan keputusan Komisi XI DPR, bukan pemerintah.
Menanggapi hal tersebut, Ashyadi menyayangkan keputusan komisi XI tersebut karena mengkategorikan spa sebagai hiburan dan tidak melibatkan pengusaha-pengusaha spa dan hiburan lainnya dalam mengambil keputusan tersebut.
“Makanya, dalam judicial review syaratnya ada dua, jika melanggar UUD 1945 dan tidak melibatkan stakeholder. Ini kedua, secara operasional usaha tidak bisa hidup jika pajak tinggi dan saat pembentukan UU tersebut tidak melibatkan para stakeholder,” ujarnya.