Cadangan Devisa RI Diprediksi Turun Akibat Pelemahan Rupiah

Adi Maulana Ibrahim|Katadata
Gedung Bank Indonesia (BI), Jalan M. H Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu (26/2/2020).
18/4/2024, 05.05 WIB

Cadangan devisa Indonesia diperkirakan akan terus turun akibat pelemahan nilai tukar rupiah. Pelemahan ini terjadi karena ketidakpastian ekonomi global yang membuat rupiah tertekan terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Ekonom Bank Permata Josua Pardede bahkan memperkirakan, pelemahan cadangan devisa akan berlangsung sampai kuartal II 2024 karena masih tingginya ketidakpastian global dan kebutuhan impor dalam mengendalikan inflasi domestik.

"Penurunan cadangan devisa [terjadi] karena masih tingginya ketidakpastian global terutama terkait ekonomi AS dan arah suku bunga The Fed, serta terdapat kebutuhan dividen dan pembayaran kupon ke investor asing (non-resident)," kata Josua dikutip dari Antara, Kamis (18/4).

Selain itu, penurunan cadangan devisa juga berpotensi terjadi karena ada kebutuhan untuk pembayaran pokok utang luar negeri (ULN). Penurunan cadangan devisa bahkan sudah terasa sejak awal tahun.

Bank Indonesia mencatat, cadangan devisa Indonesia turun dari US$ 144,0 miliar pada Februari 2024 menjadi US$ 140,4 miliar pada Maret 2024. Penurunan itu dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah.

Selain itu, penurunan cadangan devisa juga dipicu oleh antisipasi kebutuhan likuiditas valas korporasi dan kebutuhan untuk stabilisasi nilai tukar rupiah seiring dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global.

Prediksi Nilai Cadangan Devisa RI di 2024

Josua memprediksi cadangan devisa Indonesia berada di kisaran US$ 150 miliar sampai dengan US$ 152 miliar pada akhir tahun 2024. Proyeksi cadangan devisa ini akan dipengaruhi oleh sejumlah faktor.

Pertama, ketidakpastian atas pemerintahan baru akan berangsur turun sehingga dapat memicu investasi asing masuk ke dalam negeri. Kedua, terbukanya ruang pemotongan suku bunga global yang berdampak pada pelemahan dolar AS akan berdampak positif pada harga komoditas sehingga dapat menopang kinerja ekspor.

Ia memperkirakan masih akan ada risiko pelemahan rupiah dalam jangka pendek. Namun, ia menyakini Bank Indonesia akan hadir di pasar untuk melakukan intervensi di pasar valuta asing (valas) pada transaksi spot, Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), dan Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.

BI juga akan memperkuat strategi operasi moneter yang pro-market untuk efektivitas kebijakan moneter, termasuk optimalisasi Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI), dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI).

Hingga 19 Maret 2024 lelang Sekuritas Rupiah BI (SRBI) mencapai Rp 409,38 triliun guna mendukung pendalaman pasar uang dan aliran modal asing masuk ke dalam negeri. Sementara posisi Sekuritas Valas BI (SVBI), dan Sukuk Valas BI (SUVBI) masing-masing sebesar US$ 2,31 miliar, dan US$ 387 juta.

BI Diminta Kelola Aliran Modal Asing Keluar

Pengamat perbankan dan praktisi sistem pembayaran Arianto Muditomo mendesak pemerintah, untuk segera mengelola aliran modal asing keluar (capital outflow) demi mengantisipasi dampak dari konflik Iran-Israel terhadap perekonomian nasional.

“Secara bersama-sama, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) harus memonitor capital outflow untuk memastikan cadangan devisa yang cukup,” kata Arianto.

Pemerintah juga diminta untuk mengendalikan inflasi, karena ada potensi kenaikan harga komoditas global akibat disrupsi rantai pasokan dunia yang disebabkan oleh konflik yang terjadi di wilayah sekitar Terusan Suez tersebut.

Selain itu, pemerintah juga sebaiknya tidak agresif dalam merealisasikan rencana-rencana pembangunan yang berasal dari utang. Pemerintah dapat mengelola anggaran secara cermat agar tidak terjadi defisit yang lebih besar.

Untuk itu, Arianto berharap Bank Indonesia menerapkan strategi pengendalian suku bunga dan nilai tukar yang mampu membuat pelaku pasar menjadi tenang. “Hal ini penting untuk menjaga stabilitas sistem keuangan,” ujarnya.

Kemudian meminta pemerintah dan Bank Indonesia untuk meningkatkan kerja sama dengan entitas internasional lain untuk mencegah dampak yang lebih signifikan jika terjadi eskalasi konflik yang lebih luas. 

“Kerja sama dan koordinasi luar negeri perlu diperkuat untuk saling memantau dan membantu bila kondisi makin memburuk,” ujar Arianto.

Reporter: Antara