Sri Mulyani Tolak Susun Rasio Pajak 23% seperti Target Prabowo
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menolak menyusun analisa kebijakan dan peta jalan (road map) untuk mencapai rasio pajak 12%-23% dari produk Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2025.
Padahal, rasio pajak tersebut merupakan target yang ingin dicapai oleh presiden terpilih Prabowo Subianto. Target rasio pajak Prabowo juga termasuk tinggi, karena pencapaian Indonesia baru 10,21% pada 2023.
Sehingga, Sri Mulyani menetapkan rasio pajak pada tahun pertama pemerintahan Prabowo pada kisaran 10,09%-10,29% di tahun 2025. Hal ini tertuang dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025.
Sri Mulyani hanya bersedia menyiapkan analisa kebijakan dan peta jalan, tanpa menyebutkan target secara spesifik. Dia khawatir akan menimbulkan misleading atau kesalapahaman jika target tinggi itu dimasukkan dalam kesimpulan rapat yang sifatnya mengikat.
"Kita tidak secara spesifik [menargetkan rasio pajak]. Apalagi, sampai angka 23%. Jadi, kami mohon di drop saja, karena saya takut dapat menimbulkan signaling yang salah," kata Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Senin (11/6).
Dia menyebut rasio pajak merupakan topik yang sangat sensitif karena mendapat sorotan banyak pihak. Sehingga, dia sangat hati-hati menyampaikan target rasio pajak termasuk dalam persentasi di Komisi XI DPR.
"Bukannya kita menghindar, kita bisa membuat analisa mengenai rasio pajak sekarang. Dan apa - apa yang bisa dilakukan mulai dari regulasi, sistem IT, sumber daya manusia (SDM) organisasi. Itu semua bisa dipersentasikan," kata dia.
Untuk itu, sebaiknya target rasio pajak tidak disampaikan dalam konteks Nota Keuangan 2025, karena akan menimbulkan ekspetaksi yang berbeda dari berbagai pihak. Yang bisa saja diartikan pemerintah akan gencar menarik pajak dalam jumlah besar.
Selain itu, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini tidak akan menghindar jika diberi tugas untuk menganalisasi capaian rasio pajak dan berbagai upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak negara.
Menurut Sri Mulyani, analisa itu disusun oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Direktorat Jenderal Anggaran (DJA), Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
"Kami analisa berbagai pemikiran kritis mengenai rasio pajak kita, dan efektifitas dalam penarikan pajak. Itu bisa saya sampaikan. Namun saya minta untuk tidak dikaitkan dengan Nota Keuangan 2025," ujarnya.