Rencana pemerintah untuk memberi tunjangan rumah bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) justru berbanding terbalik dengan nasib para pekerja yang harus menanggung iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).

Para wakil rakyat itu digandang-gadang bisa menikmati tunjangan rumah dalam jumlah fantastis yaitu Rp 30 juta sampai 50 juga per bulan. Sebaliknya, gaji pekerja di atas upah minimum regional (UMR) harus dipotong 3% untuk iuran Tapera.

Kondisi ini begitu miris dan mendapat banyak kritikan dari berbagai pihak termasuk ekonom. Karena pemberian tunjangan rumah akan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang kini sudah defisit Rp 153,7 triliun pada Agustus 2024.

Defisit itu terjadi karena lonjakan belanja pemerintah, terutama untuk pemilihan umum (Pemilu) dan bantuan sosial (bansos) pada Agustus 2024. Defisit ini melebar dari 0,41% dari PDB pada Juli menjadi 0,68% dari PDB pada Agustus 2024.

Jika defisit terus meningkat, maka pemerintah akan memangkas belanja di sektor prioritas untuk mengurangi tekanan anggaran. Ini bisa berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. 

Selain pendapatan negara seret, pertumbuhan ekonomi masih stagnan di kisaran 5%, karena penurunan daya beli masyarakat, penurunan jumlah kelas menengah hingga peningkatan pemutusan hubungan kerja (PHK). Selain itu, karena ketergantungan Indonesia pada ekspor komoditas hingga pengaruh ekonomi global. 

Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menilai kondisi ekonomi masyarakat saat ini tengah menurun. Maka tidak bijak dan tidak layak jika muncul wacana pemberian tunjangan kepada wakil rakyat yang hidup dari uang pajak rakyat.

“Wacana ini menunjukkan ketidakempatian kesekretriatan maupun wakil rakyat terhadap kondisi ekonomi Indonesia yang melemah,” kata Huda kepada Katadata.co.id, Senin (7/10).

Seharusnya, penggunaan anggaran memprioritaskan program rakyat terlebih dahulu, karena anggaran negara sangat terbatas sehingga tidak bijak memunculkan usulan tunjangan rumah tersebut.

Saat ini, anggota parlemen juga sudah mempunyai rumah dinas yang siap ditempati dengan fasilitas lengkap. “Tentu akan menjadi pertanyaan, jika diberikan uang tunjangan rumah pengganti rumah dinas, rumah dinasnya buat siapa? Apakah buat kesekretariatan DPR/MPR?” ujar Huda.

Huda memperkirakan total tunjangan rumah anggota DPR bisa mencapai Rp 600 juta per tahun. Belum termasuk dengan penambahan gaji dan tunjangan lain yang mencapai Rp 50 juta per bulan.

“Ditambah kehadiran dan uang lain. Jadi, DPR jangan menjadi orang tamak dengan meminta tunjangan ruma,” kata Huda.

Beban APBN Makin Berat

Huda menilai usulan tunjangan ini dapat membebani membebani APBN. “ Karena APBN harus mengeluarkan uang untuk tunjangan rumah anggota dan perawatan rumah dinas. Memang bagi kesekretariatan DPR merupakan uang kecil, bagi rakyat kecil, uang miliaran tersebut justru berarti,” ujar Huda.

Jika digunakan lebih baik, tunjangan tersebut bisa digunakan untuk menyokong program makan bergizi gratis yang layak dengan gizi seimbang bagi delapan ribu anak Indonesia.

“Gizi anggota dewan sudah sehat semua. Tapi mereka tidak memikirkan dan tidak punya rasa empati buat berbagi ke masyarakat miskin,” kata Huda.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal juga menilai rencana tunjangan ini bakal membebani APBN. Karena kondisi fiskal sudah sangat terbatas untuk membiayai program-program pemerintah.

“Seharusnya pengeluaran APBN ini sangat selektif dan diprioritaskan untuk mengangkat pendapatan masyarakat,” ujar Faisal.

Dengan begitu, benefit apapun yang akan diberikan kepada ASN, pejabat tinggi, dan termasuk juga anggota DPR harus menyesuaikan kondisi APBN. Sehingga, benefit yang ada saat ini harus diarahkan kepada masyarakat kelas menengah dan bawah.

“Dari sisi besarannya menurut saya harus lebih adil. Harus ada sense of crisis gitu. Ada empati terhadap kelas menengah ke bawah,” kata Faisal.

Sementara Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti juga menilai usulan tunjangan rumah DPR sangat tidak tepat di tengah deflasi lima bulan beruntun.

“Pembagian tunjangan rumah Rp 50 juta, sebaiknya bisa dialokasikan untuk masyarakat yang sedang mengalami penurunan daya beli. Apalagi ada iuran Tapera dan kenaikan dana pensiun akan memperparah deflasi,” ujar Esther.

Tak berbeda dengan yang lain, Esther juga menilai tunjangan rumah DPR bakal membebani APBN. Oleh karena itu, Esther meminta pemerintah lebih berhati-hati mengelola belanja anggaran dan lebih fokus pada kegiatan produktif ketimbang konsumtif.

Tunjangan Rumah DPR untuk Ganti Rumah Dinas

Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menerbitkan surat bernomor B/733/RT.01/09/202. Dalam surat tertanggal 25 September 2024 itu disebutkan bahwa anggota DPR periode 2024-2029 tak lagi mendapat rumah.

Surat itu memuat tiga poin utama yang menjelaskan fasilitas baru sebagai pengganti rumah dinas. Pertama,anggota DPR periode 2024-2029 akan diberikan tunjangan perumahan dan tidak diberikan fasilitas Rumah Jabatan Anggota (RJA).

Kedua, pemberian tunjangan perumahan diberikan terhitung sejak anggota DPR periode 2024-2029 dilantik. Adapun poin ketiga, anggota DPR yang mendapat tunjangan perumahan, maka tidak berhak menempati Rumah Jabatan Anggota.

Sekjen DPR Indra Iskandar membenarkan kabar tersebut. Ia menyebut anggota dewan akan mendapat tunjangan perumahan lantaran rumahnya dikembalikan ke Kemensetneg.

Indra menyebut riset awal pada hunian di sekitar kompleks parlemen, Senayan dengan tunjangan Rp 30 juta sampai Rp 50 juta per bulan. “Ini untuk hunian tiga kamar, kita cek di Senayan, Kebayoran, Sudirman harganya bagimana?. Kalau untuk kamar kos saja berapa?, enggak mungkin kalau Rp 5 juta atau Rp 10 juta," kata Indra.

Lalu saat ditanya wartawan terkait kisaran tunjangan rumah DPR pada angka Rp 30 sampai Rp 50 juta per bulan, Indra mengkonfirmasi hal itu. “Ya, sekitaran segitulah,” ujar Indra.

Reporter: Rahayu Subekti