BI Prediksi Kebijakan Perdagangan Trump Bakal Perlambat Ekonomi Global
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memproyeksi kebijakan perdagangan pada masa pemerintahan Donald Trump akan memicu perlambatan ekonomi global. Bank sentral melihat kebijakan ekonomi dan politik Trump bersifat inward looking.
“Inward looking kepada negara-negara mitra dengan menerapkan tarif perdagangan tinggi, terutama negara-negara yang mengalami surplus besar dari Amerika Serikat (AS), seperti Cina, Uni Eropa, Meksiko, dan sejumlah negara yang lain, termasuk Vietnam,” kata Perry di Jakarta, Rabu (20/11).
Perry melihat kemungkinan tarif perdagangan yang tinggi akan diterapkan pada semester II 2025. Misalnya, Uni Eropa menerapkan tarif 25% untuk besi, aluminium, motor listrik, dan yang lainnya.
Sementara dengan Cina yaitu tarif perdagangan 25% untuk mesin elektronik dan kimia. “Ini yang kami baca sampai data dengan hari ini ya, tentu saja kami akan terus diskusikan,” ujar Perry.
Tarif perdagangan yang tinggi ini dapat dikatakan sebagai fragmentasi perdagangan. Perry menilai fragmentasi perdagangan akan menyebabkan perlambatan ekonomi di negara-negara yang terdampak.
“Prediksi kami pertumbuhan ekonomi dunia yang mestinya tahun depan bisa naik dari 3,2% atau setidaknya sama dengan 3,2% kemungkinan akan turun menjadi 3,1%,” kata Perry.
Dengan begitu, kebijakan ekonomi Trump hanya menguntungkan kepentingan dalam negeri. Selain itu juga akan menerapkan tambahan pajak kepada mitra dagang AS seperti Cina, Uni Eropa, Inggris, dan sejumlah negara lain yang terkena kenaikan tarif perdagangan.
Penurunan Suku Bunga The Fed akan Terbatas
Perry juga mengatakan, proses penurunan inflasi akan berjalan lebih lambat. Hal itu membuat penurunan suku bunga Fed Funds Rate (FFR) diperkirakan juga akan lebih terbatas.
Selain itu, Perry melihat kebutuhan pembiayaan defisit fiskal yang lebih besar mendorong kembali meningkatnya yield US Treasury, baik untuk tenor jangka pendek maupun jangka panjang.
Ditambah lagi, perubahan politik di AS telah berdampak pada penguatan mata uang dolar AS secara luas. Hal ini dipengaruhi dengan berbaliknya preferensi investor global melalui pemindahan alokasi portofolio kembali ke AS.
Akibatnya, Perry menyebut tekanan pelemahan nilai tukar berbagai mata uang dunia semakin tinggi. Selain itu juga terjadi aliran keluar portofolio asing, termasuk dari negara emerging market.
“Penguatan respons kebijakan diperlukan untuk memperkuat ketahanan eksternal dari dampak negatif memburuknya rambatan global tersebut terhadap perekonomian di negara emerging market, termasuk Indonesia,” ujar Perry.