Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendorong pengampunan pajak atau tax amnesty jilid III masuk dalam daftar draft usulan Prolegnas RUU Prioritas 2025.

Padahal, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya sudah menyatakan tak akan memberikan pengampunan pajak lagi. Karena pemerintah sudah memberikan pengampunan pajak sebanyak dua kali pada 2016-207 dan 2022.

Terkait hal itu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyampaikan bahwa Ditjen Pajak telah melakukan evaluasi dan program tax amnesty memberikan dampak positif bagi penerimaan negara.

“Program tax amnesty merupakan instrumen yang penting bagi pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara dan memperluas basis pajak,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kemenkeu, Dwi Astuti kepada Katadata.co.id, Kamis (21/11).

Namun, keberhasilan program ini tidak hanya tergantung pada jumlah dana yang terkumpul karena dampaknya baru terasa dalam jangka panjang, terutama terhadap kepatuhan pajak dan perbaikan sistem perpajakan secara keseluruhan.

Meski begitu, pihaknya belum bisa memberikan penjelasan secara detil berkaitan dengan usulan tax amnesty jilid III. Karena Ditjen Pajak Kemenkeu masih akan mendalami rencana tersebut.

Negara Butuh Dana Instan dari Rakyat

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, Prianto Budi Saptono menjelaskan amnesti pajak merupakan kebijakan pajak yang digulirkan ketika negara membutuhkan dana instan dari masyarakat.

Kebijakan ini juga hadir ketika ada fenomena offshore tax evasion atau penggelapan pajak luar negeri. “Naskah akademik yang melandasi dua kebijakan tax amnesty sebelumnya mengungkapkan hal tersebut,” kata Prianto kepada Katatada.co.id, Jumat (22/11).

Rujukan teorinya juga berasal dari sumber yang sama tentang fenomena offshore tax evasion dan Offshore Voluntary Disclosure Program (OVDP) yang nama lainnya merupakan tax amnesty.

Jika berkaca dari tax amnesty sebelumnya, negara mendapatkan setoran penerimaan pajak tanpa harus menegakkan hukum pajak. Hal ini baik dari hukum administrasi maupun hukum pidana.

Akan tetapi, Prianto mengatakan ada fakta lain terkait offshore tax evasion tetap terjadi. Kondisi ini tidak terlepas dari persepsi ketidakadilan di balik kebijakan tax amnesty. 

Prianto justru melihat adanya pemberian karpet merah bagi tax evader atau pengemplang pajak. Mereka mendapatkan pengampunan atas ketidakpatuhan pajak dengan membayar pajak lebih murah dari wajib pajk yang patuh.

Meski ada pengampunan pajak, namun pencegahan atas kasus penghindaran pajak dinilai tidak akan efektif 100%. “Karena  siapapun tidak akan senang bayar pajak karena pajak menjadi beban. Makanya, pembayaran pajak ke negara dicatat sebagai beban pajak,” kata Prianto.

Tax Amnesty akan Selalu Berulang

Kebijakan pengampunan pajak dinilai akan terus terjadi berulang tanpa akhir. Setiap akan ada kebijakan serupa, pemerintah selalu menyatakan ini program terakhir dan tidak ada lagi di masa mendatang.“Presiden Jokowi juga mengatakan demikian, tapi ternyata fakta berbicara lain,” kata Prianto.

Kebijakan pengampunan pajak yang berulang di Indonesia juga terjadi di banyak negara lain. Banyak hasil penelitian yang juga dirujuk naskah akademik RUU tentang kebijakan tax amnesty jilid I dan II yang mengungkapkan program ini terus berulang.

Dengan demikian, pemerintah harus bersiap untuk menerima kenyataan dalam menghadapi ketidakpercayaan masyarakat yang sudah patuh bayar pajak. Karena ada perlakuan yang tak adil antara wajib pajak yang patuh dan tidak. 

“Sehingga tidak mustahil perilaku tidak patuh akan bertambah seiring dengan kebijakan pengampunan pajak yang terus berulang,” ujar Prianto.

Reporter: Rahayu Subekti