Kebijakan agresif Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump akan memberi dampak luas secara global. Trump akan lebih protektif dengan menaikan tarif barang impor. Salah satunya terhadap Cina yang merupakan mitra dagangnya. 

Kebijakan ini dinilai berpotensi membuat Indonesia kebanjiran produk Cina. "Setelah Trump terpilih sebagai Presiden AS, terus terang ada banyak sekali permintaan dari perusahaan-perusahaan Cina bertemu dengan Kemenperin," kata Wakil Menteri Perindustrian Faisol Riza dalam acara Sarasehan 100 Ekonom di Jakarta, Selasa (3/12). 

Faisol menduga bahwa perusahaan Cina berpikir lebih baik memindahkan industrinya ke negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Hal itu dianggaP lebih menguntungkan dibandingkan mengalami kerugian jika mengekspor langsung ke AS pascakebijakan Trump nanti. 

"Tentu ini situasi yang dalam tanda petik menggembirakan tapi mengkhawatirkan karena salah satunya kita belum betul-betul bisa siap dengan seluruh serbuan investasi," ujar Faisol. 

Jika hal tersebut terjadi, Faisol mendorong perbaikan regulasi harus secepat mungkin dilakukan. Khususnya dalam rangka melihat atau mengantisipasi perekonomian global usai Trump resmi menjabat sebagi presiden kembali pada tahun depan. 

Memicu Skenario Baru Perang Dagang

Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menilai kebijakan proteksionis yang akan diambil Trump akan memicu perang dagang. Bahkan, beberapa konflik bisa memicu terjadinya perdagangan di sektor energi. 

"Kemenangan Trump bahwa ada kebijakan yang akan di berlakukan di tahun depan, khususnya kebijakan tarif impor yang akan memunculkan skenario baru terkait perdang dagang," kata Josua dalam acara 2025 Economic Outlook Bank Permata kemarin (3/12). 

Berkaca pada perang dagang 2019, Josua mengatakan dampaknya cukup negatif terhadap ekonomi global. Meskipun begitu, ada beberapa negara yang diuntungkan karena adanya relokasi dari perusahaan Cina ke Vietnam.  "Tapi secara umum, kebijakan Trump memberikan dampak yang negatif," ujar Josua. 

Jika Trump mengambil kebijakan proteksionis, Josua memproyeksikan kondisi higher for longer masih akan berlangsung. Dengan begitu, penurunan inflasi di Amerika Serikat berpotensi tertahan dan pemangkaan suku bunga Bank Sentral AS atau The Fed tak lagi agresif.

"Terdapat potensi bahwa Bank Sentral AS memiliki ruang penurunan suku bunga 50 bps pada 2025 menjadi 3,75%-4,00%," kata Josua. 

Adapun yang dimaksud higher for longer adalah kebijaan suku bunga tinggi yang dipertahankan lebih lama untuk mengendalikan inflasi yang masih tinggi. Tujuannya untuk menjaga stabilitas ekonomi, meski memperlambat pertumbuhan dan biaya kredit lebih mahal. 

Reporter: Rahayu Subekti