Isu mengenai pajak penghasilan (PPh Pasal 21) anggota DPR yang disebut ditanggung negara belakangan memicu kontroversi. Banyak pihak menilai hal ini tidak adil, terutama di tengah kondisi masyarakat yang sedang kesulitan ekonomi. Sejumlah ekonom mencoba meluruskan persoalan ini dari perspektif yang berbeda.

Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menegaskan aturan pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 262 Tahun 2010 mewajibkan seluruh pejabat negara, termasuk anggota DPR, membayar pajak penghasilan. Namun, beberapa instansi memberikan kebijakan tambahan berupa tunjangan pembayaran PPh.

“Kesannya memang seperti dibayarkan oleh negara, tetapi sesungguhnya ini kantong kiri dan kantong kanan saja bagi pemerintah,” kata Wijayanto kepada Katadata.co.id, Senin (25/8).

Menurut Wijayanto, sistem ini justru menjamin kepatuhan pembayaran pajak sekaligus lebih sederhana.

“Misalnya, pendapatan 100 tetapi membayar pajak 20. Sama saja dengan pendapatan 80 tetapi tidak perlu membayar pajak karena pajak sudah dibayarkan oleh instansi sebesar 20,” ujarnya.

Permasalahan muncul ketika kebijakan wajar tersebut disampaikan dengan salah, sehingga memicu protes masyarakat, apalagi bersamaan dengan kenaikan tunjangan anggota DPR yang dianggap “bombastis”.

Bersumber dari APBN dan APBD

Dari sisi keadilan, Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menjelaskan bahwa secara nominal gaji anggota DPR dipotong pajak yang bersumber dari APBN dan APBD.

“Jadi mereka sebenarnya dipotong pajak, namun karena sama-sama dari uang negara, jatuhnya memang ditanggung pemerintah,” ujar Huda.

Menurut Huda, penghapusan fasilitas PPh 21 DTP tidak akan menghemat APBN karena ini hanya memindahkan pos anggaran yang kembali ke kas negara. Yang lebih penting adalah transparansi pembayaran pajak.

“Sebagai individu yang mampu, anggota DPR seharusnya mengurus pajaknya secara mandiri agar terlihat transparan seperti wajib pajak lainnya,” katanya.

Penerapan Pajak di Luar Negeri

Fenomena ini juga dibandingkan dengan praktik internasional. Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi menekankan bahwa di banyak negara demokrasi, pejabat publik membayar pajak secara mandiri dari gaji bruto. Contohnya, di Amerika Serikat, Internal Revenue Service (IRS) memotong PPh anggota Kongres.

Di Inggris, HM Revenue and Customs memotong pajak anggota parlemen dan praktik transparansi diperkuat setelah skandal belanja 2009 melalui publikasi slip gaji dan audit. Begitu pula di Australia, anggota parlemen menerima gaji bruto langsung dikenai pajak tanpa fasilitas khusus.

“Praktik-praktik ini memperlihatkan bahwa transparansi fiskal bukan sekadar administrasi, tetapi juga simbol keadilan di hadapan publik,” kata Syafruddin.

Ia menambahkan, jika DPR tetap mempertahankan tunjangan PPh 21, citra ketidakadilan fiskal akan terus melekat di mata masyarakat. Wakil rakyat terlihat menikmati gaji bersih sementara masyarakat harus menanggung pajak penuh.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Reporter: Rahayu Subekti