Bos BI Sebut Skema Burden Sharing untuk Program Prabowo Beda dengan Era Covid-19

ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/rwa.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo (tengah) didampingi Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti (kiri) dan Deputi Gubernur BI Juda Agung memberikan paparan saat rapat kerja bersama Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (22/9/2025). BI menyatakan siap menanggung sebagian beban bunga untuk sejumlah program strategis pemerintah khususnya yang berkaitan dengan penguatan ekonomi kerakyatan.
23/9/2025, 04.48 WIB

Bank Indonesia (BI) menegaskan skema pembagian beban bunga (burden sharing) untuk mendukung program pemerintah kali ini berbeda dengan kebijakan saat pandemi Covid-19. Pasalnya, bank sentral tidak lagi diperkenankan membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar primer.

Selain itu, BI juga akan mengganti istilah burden sharing, sesuai masukan dari Komisi XI DPR RI. Pergantian istilah bertujuan agar tidak menimbulkan kebingungan publik dan menegaskan perbedaan skema ini dengan era pandemi.

“Jadi beda sekarang (tidak sama dengan era Covid-19). Terima kasih, Pak Ketua Komisi XI, supaya jangan disamakan dengan kesepakatan sebelumnya pada 4 September 2025. Tidak ada kaitannya dengan masalah berapa beli SBN (di pasar primer),” ujar Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR RI di Jakarta, Senin (22/9).

Perry menjelaskan, saat pandemi Covid-19, skema burden sharing diberlakukan karena kondisi luar biasa (extraordinary condition). Kala itu, defisit fiskal melewati 3% dari PDB dan pemerintah kesulitan menjual SBN dengan bunga tinggi. Melalui Perppu dan aturan lainnya, BI diperkenankan membeli SBN di pasar perdana selama tiga tahun.

“Itu saat Covid-19, di mana memang ada dana pembelian SBN dari pasar perdana dan juga ada beban bunga. Tapi dasarnya adalah extraordinary condition. Sekarang zamannya sudah normal, defisit fiskal tidak lebih dari 3%, BI juga tidak boleh beli SBN dari pasar perdana,” kata Perry.

Dalam skema kali ini, BI tidak membeli SBN di pasar perdana, melainkan tetap melakukan pembelian di pasar sekunder untuk mendukung ekspansi likuiditas moneter.

Sementara pembagian beban dilakukan dengan membagi rata biaya atas realisasi anggaran untuk program Presiden Prabowo Subianto, seperti Perumahan Rakyat dan Koperasi Desa Merah Putih (KDMP). Setelah itu dikurangi imbal hasil dari penempatan pemerintah di lembaga keuangan domestik.

“Masalah tambahan bunganya sesuai UU karena BI sebagai pengelola kasnya pemerintah dan ada bunga yang akan kami berikan. Sehingga dasarnya adalah UU dan Keputusan Bersama (KB) pada 4 September 2025 dengan Menteri Keuangan,” kata Perry.

Istilah Baru Agar Tak Salah Paham

Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun juga menekankan pentingnya istilah baru agar masyarakat tidak salah paham.

“Ini perlu diberikan titling baru, judul baru. Supaya orang tidak bingung. Seakan-akan ketika kita bicara burden sharing itu sama dengan saat krisis Covid-19. Padahal sekarang keadaannya sudah normal,” kata Misbakhun.

Sejalan dengan kebijakan moneter, BI sudah membeli SBN di pasar sekunder hingga Rp217,10 triliun per 16 September 2025. Dari jumlah itu, Rp160,07 triliun merupakan bagian dari program debt switching dengan pemerintah.

Posisi instrumen moneter SRBI juga diturunkan dari Rp916,97 triliun pada awal 2025 menjadi Rp716,62 triliun per 15 September 2025.

Selain itu, BI menggelontorkan Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) sebesar Rp384 triliun hingga pekan pertama September 2025. Insentif ini diberikan kepada perbankan yang menyalurkan kredit ke sektor prioritas.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Reporter: Antara