OPEC Plus, Jurus Lima Pendekar Flamboyan dalam Perang Minyak

Arief Kamaludin|KATADATA
Salah satu area kerja blok Mahakam di North Processing Unit (NPU) Kutai Kertanagara Minggu (31/12/2017). Sebelum serah terima pengelolaan ke Pertamina, Total & Inpex bekerja sama melakukan transisi dengan baik.
Penulis: Sampe L. Purba
15/3/2020, 06.00 WIB

Langkah Riskan Manuver Arab Saudi 

Apakah manuver Pangeran Mohammed akan berhasil atau malah menyeret negara OPEC lainnya ikut menaikkan produksi ke bunuh diri massal?

Kami berpendapat, tindakan Pangeran Mohammed, jika tujuannya untuk menghempang raksasa Rusia dan Amerika Serikat, tidak akan berhasil untuk jangka panjang. Paling hanya menimbulkan sensasi turbulensi, yang mudah diatasi para pendekar super sakti Putin atau Trump. Hal ini didasari setidaknya dengan tiga argumen.

Pertama, negara-negara OPEC bukan lagi penentu utama di pasar minyak. Memang betul OPEC masih mengontrol 75 % cadangan minyak dan memproduksinya 42 %. Tetapi di sisi lain, Amerika dan Rusia memproduksi 26 juta barel per hari. Itu setara dengan 32 % produksi dunia. Jadi kalau negara-negara OPEC hendak membanjiri atau mengurangi sepihak produksi, kedua negara tersebut dapat bertindak sebaliknya. Ini bukan lagi medan 1973-an, di mana negara-negara OPEC sangat menentukan.

Sepuluh Negara Terbesar Produsen Minyak Dunia (US Energy Information Administration, 2019)

Kedua, Rusia dan Amerika selain negara produsen juga sebagai importir dan konsumen terbesar energi termasuk minyak. Di sisi lain, negara-negara OPEC hanyalah eksportir minyak dengan konsumsi domestik yang sangat minimal. Sesuai hukum ekonomi dasar, harga tercipta sebagai interaksi supply and demand. Negara-negara OPEC hanya dapat berkiprah di sisi supply.

Sepuluh Negara Importir Minyak Terbesar Dunia (US Energy Information Agency, 2019)

Ketiga, Amerika adalah negara besar dengan kemajuan teknologi yang tidak terduga. Pada satu dekade yang lalu, biaya produksi per barel masih sekitar US$ 90, namun saat ini diperkirakan sekitar US$ 25 per barel.

Selain itu, hal penting lainnya yang mungkin luput dari perhitungan Pangeran Mohammed yaitu keberlangsungan perusahaan minyak Saudi Aramco yang juga banyak tergantung kepada negara-negara maju. Perusahaan tersebut mencari utang (obligasi) dan tambahan modal di pasar dunia. Teknologi dan pasarnya pun tidak independen. Sangat erat dengan dunia. Trump hanya akan mengizinkan manuver eksternal Pangeran Mohammed sejauh tidak membahayakan kepentingan strategis Amerika.

Lalu siapa yang diuntungkan dengan manuver Pangeran Mohammed yang oleh sebagian kalangan dianggap blunder tersebut?

Para importir minyak besar, seperti Cina, India, Jepang, dan Korea Selatan, yang mendapatkan windblow blessing seperti tiupan angin sepoi-sepoi yang menyejukkan di musim panas virus corona.

Pada 2018 tercatat 34 % pertumbuhan energi primer global merupakan kontribusi Cina. Presiden Xi Jin Ping bagaikan pendekar gurun pasir yang mampu memanfaatkan kekalutan lawan menjadi kekuatan pendikte. Sebagai raksasa ekonomi, konsumsi minyak Cina naik dari 4,6 juta barel per hari pada 2010 menjadi 13,9 juta barel per hari di 2018. Sementara kemampuan produksi domestiknya hanya di kisaran 4,8 juta barel per hari.

Cina dengan cerdik memainkan kartu posisi sentralnya sebagai salah satu pembeli utama minyak dunia, yang dapat memilih untuk berbelanja ke Arab Saudi, Rusia, atau negara-negara Atlantik. Presiden Xi Jin Ping –yang baru-baru ini berhasil mengkonsolidasikan dirinya untuk dimungkinkan sebagai presiden seumur hidup sejajar dengan Ketua Mao- di tengah-tengah kesibukannya mengatasi dampak coronavirus tetap tidak kehilangan arah.

Kontribusi Pertumbuhan Energi Primer 2018 (BP Statistical Review, 2019)

Jurus seruling silat yang mirip juga dipertontonkan Perdana Menteri Narendra Modi dari India. Dengan kepentingan geostrategis bersama untuk mengimbangi Cina di Samudera Hindia yang ekspansi dagang hingga ke Afrika, India meningkatkan hubungan dagang dan keamanannya dengan Amerika.

Sebesar 83% kebutuhan minyak India dipasok dari impor. Secara tradisional dan dengan mengingat jarak yang lebih dekat, Arab, Irak, dan Iran adalah pemasok minyaknya. Adanya sanksi Amerika ke Iran mengakibatkan posisi kosong tersebut diisi oleh Nigeria. Tentu saja hal ini tidak disukai Amerika.

Bulan Februari lalu, Perdana Menteri Modi menyediakan panggung stadion kriket penuh berkapasitas 125 ribu orang menyambut Trump. Sebuah sambutan kenegaraan terbesar sepanjang sejarah India. Diperlakukan bak artis konser, hati Trump berbunga-bunga, didampingi Ivanka isterinya yang cantik itu.

Pada 2017, pertama kalinya Amerika menembus ekspor minyak ke pasar Asia, India. Tercatat pada tahun itu 1,4 juta ton, yang meningkat terus hingga 6,4 juta ton di tahun berikutnya. India memanfaatkan romantika historis sebagai negara pertama yang menyediakan pintu pijakan bagi raksasa Amerika mengobok-obok pasar minyak Asia.

Perkembangan Produksi Minyak Amerika Serikat (EIA, Maret 2020)

Halaman selanjutnya: Peluang Indonesia dalam Perang Minyak

Halaman:
Sampe L. Purba
Praktisi Energi Global. Managing Partner SP-Consultant

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.