AS vs Cina, Pertarungan di Laut Cina Selatan di Tengah Covid-19

ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
KRI Tjiptadi-381 mengikuti sailing pass di Laut Natuna, Rabu (15/1/2020). Dalam kesempatan tersebut, Menkopolhukam Mahfud MD meninjau alutsista yang tergabung dalam Operasi Siaga Tempur Laut Natuna 2020 yang melakukan operasi pengendalian wilayah laut, khususnya di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) laut Natuna Utara.
Penulis: Sampe L. Purba
24/4/2020, 14.02 WIB

Cengkeraman Kuku Cina di Laut Cina Selatan

Laut Cina Selatan adalah kawasan strategis bagi Cina. Tidak kurang dari 10 negara mengelilingi lautan semi tertutup seluas tiga setengah juta kilometer persegi tersebut. Kawasan tersebut kaya energi dan sumber daya perikanan.

Badan Informasi Energi Amerika Serikat memperkirakan di sana tersimpan cadangan minyak bumi terbukti sebesar 7,7 miliar barel dengan perkiraan total sebesar 28 miliar barel, serta gas alam hingga 190 triliun kaki kubik. Sumber daya perikanannya juga sangat kaya. Lebih dari 3.000 jenis spesies ikan ada di sana. Kawasan tersebut merupakan zona lima besar penghasil ikan di dunia.

Dari aspek geopolitik, jalur ini pun sangat strategis. Merupakan jalur armada kapal niaga kedua terbesar di dunia, menghubungkan Afrika, Asia Selatan, Timur Tengah ke kawasan Asia Timur. Mengangkut minyak, LNG ke arah Asia Timur, dan komoditas industri negara maju ke Arab dan  Afrika. Laut ini juga rute utama kemaritiman yang menghubungkan pelabuhan, perdagangan, logistik dan jalur armada militer, yang lazim disebut SLOC (sea lines of communication).

Di LCS terdapat gugusan pulau karang Spratly yang dipersengketakan Cina dengan enam negara lain di kawasan. Cina sudah membangun pulau reklamasi di Michief Reef. Fasilitas militer di pulau karang tersebut meliputi stasiun radar, stasiun peluncuran misil peluru kendali, hingga landasan pesawat tempur. Pulau buatan seluas hampir 600 hektare. Seperti kapal induk yang tidak mungkin ditenggelamkan.

Cina menarik sembilan garis putus-putus (nine dash line) menjorok ke selatan, menerabas batas batas Zona Ekonomi Eksklusif berbagai Negara. Filipina protes hingga membawa kasusnya ke Permanent Court of Arbitration di Den Haag. Pada tahun 2016 Arbitrase memutuskan bahwa Mischief Reef adalah bagian dari landas kontinental dan ZEE Filipina, sejalan dengan konvensi hukum laut (UNCLOS 1982) di mana Cina juga ikut menandatangani.

China tidak menggubris. Tidak bergeming. Cina juga paham bahwa UNCLOS tidak memiliki perangkat dan kekuatan hukum memaksa. Filipina yang mengelus dada tidak dapat berbuat banyak, maksimal mengganti nama Laut Cina Selatan di batas ZEE-nya menjadi Laut Filipina Barat.

Di tengah badai virus corona, pada 4 April 2020, kapal nelayan Vietnam yang mendekat, langsung ditenggelamkan Cina. China menuduh kapal tersebut memasuki zona larangan.

Amerika Serikat yang bukan penandatangan UNCLOS ikut teriak. Bagi Amerika Serikat, LCS adalah milik bersama umat manusia di mana ada kebebasan berlayar (freedom of navigation). Res communios humankind common heritage.

Posisi Indonesia di Tengah Pertarungan Dua Gajah

Provokasi Cina tidak berhenti dengan Filipina. Kapal-kapal pengawal pantai (coast guard) Cina berpatroli sepanjang 9 dash line, sambil mengawal para “nelayannya”.

Ketika Presiden Jokowi sudah memegang kekuasaan, Cina juga ingin test the water. Pada 2016, kapal-kapalnya berseliweran di sekitar dash line. Presiden Jokowi yang baru memegang kekuasaan menunjukkan perlawanannya. Sinyalnya simbolis. Terbang ke Natuna, di atas KRI Imam Bonjol-383 bersama sejumlah menteri, Presiden Jokowi menggelar rapat. Presiden tidak terima klaim Cina di nine dash line atas dasar traditional fishing ground nelayan Cina zaman baheula.

Seraya memberi beberapa petunjuk termasuk percepatan pembangunan di Natuna sebagai gerbang terdepan, organisasi tentara pun direstrukturisasi. Dibentuk tiga Komando Gabungan Wilayah Pertahanan yang merupakan komando utama operasi Markas Besar TNI yang langsung berada di bawah Panglima TNI. Di bawahnya tiga matra basis TNI seperti Korem, Pangkalan TNI AL, dan Pangkalan TNI AU. Diharapkan selain untuk mengintegrasikan kekuatan, hal ini akan  memberikan detterent effect, efek penggentar. Sambil tidak lupa mengganti nama laut sekitar ZEE Indonesia menjadi Laut Natuna Utara. Seperti yang dilakukan Filipina.

But is that enough?

Tidak. Bahwa Cina setelah itu agak mengurangi provokasinya, barangkali juga sedang menerapkan strategi perang Sun tzu yaitu perdaya langit untuk melewati samudera (strategi nomor 1) dikombinasikan dengan strategi terakhir nomor 36, menghindarlah untuk bertempur di kemudian hari.

Buktinya? Akhir 2019 dan awal tahun 2020, hal yang sama terulang kembali. Kita semua kalang kabut. Pak Jokowi ke Natuna lagi. Apakah provokasi Cina akan berhenti? Wallahu alam. Adanya pandemi virus corona agak menenggelamkan berita Natuna, di sisi Indonesia.

Bagaimana Indonesia Sebaiknya Mencermati Hal Ini?

Marilah bercermin dari kasus Ambalat. Di perairan Ambalat lepas pantai Pulau Sebatik, Indonesia menelan pil pahit kekalahan sengketa perbatasan dengan Malaysia di mahkamah internasional (international court of justice - ICJ). Akibatnya, Pulau Sipadan dan Ligitan lepas pada 2002.

ICJ memenangkan Malaysia atas dasar doktrin effectivity yaitu rangkaian pengurusan efektif secara administratif dan  regulatif sejak zaman kolonial. Residunya hingga hari ini belum tuntas. Ada blok migas Indonesia yang tumpang tindih dengan klaim Malaysia. Juga belum ada usaha nyata di lapangan.

Natuna Tidak Boleh Dibiarkan Terlantar.

Terdapat setidaknya tiga wilayah kerja eksplorasi migas Indonesia di ZEE Natuna Timur yang masuk dalam peta klaim garis putus putus (dash line) RRC, antara garis nomor empat dan lima. Termasuk di dalamnya adalah Blok Natuna Timur, yang diperkirakan mengandung cadangan gas raksasa terbukti sebesar 46 triliun kaki kubik, yang ditemukan tahun 1980. Tidak ada operasi migas yang berarti di daerah yang tumpang tindih tersebut.

Sebelumnya Blok Natuna Timur adalah di bawah operatorship ExxonMobil, suatu perusahaan yang berbasis di Amerika Serikat. Dengan mendapat dukungan luas termasuk para pengamat dan politisi nasionalis ala Indonesia, kontrak dengan ExxonMobil berhenti di tahun 2007.

Selanjutnya wilayah kerja tersebut diberikan ke operatorship Pertamina. Pertamina kembali mengajak ExxonMobil sebagai mitra. Kemitraan ini penting mengingat tingginya kadar CO2 dan besarnya biaya yang diperlukan untuk mengusahainya. Tetapi setelah melewati rangkaian diskusi komersial yang panjang, Exxon memutuskan mundur dari blok tersebut pada 2017.

Pintar-pintarlah kita meniti buih, dan mendayung di antara berbagai karang. Bukan rahasia umum lagi, Cina yang sudah maju di bidang ekonomi, ingin juga menjadi kekuatan utama menantang hegemoni raksasa AS, setidaknya di kawasan Laut China Selatan (LCS) hingga ke Afrika.

Efek penggentar yang kita coba bangun diperhadapkan dengan kekuatan Cina tentu tidaklah efektif. Yang efektif adalah pengurusan nyata di lapangan. Bukan sekadar patroli udara atau jelajah kapal pengawal pantai secara sporadis. Pendekatan seperti itu mahal, tidak efektif, dan  dan tidak smart.

Tidak ada salahnya kita meminjam prinsip strategi perang Sun Tzu. The enemy of my enemy is my friend. Musuh dari musuhku adalah temanku. Menjaga kepentingan warga negara, dan investasi warga negaranya adalah termasuk dalam kepentingan Amerika Serikat. Kita memerlukan perkongsian atau kerja sama dengan perusahaan perusahaan Amerika. Termasuk di perbatasan itu.

Pertimbangannya tidak boleh ekonomi melulu. Mengalah untuk menang. Boleh mengalah dalam satu pertempuran, asal dapat memenangkan peperangan. Kepentingan nasional kita yang utama adalah menjaga keutuhan wilayah RI, integritas wilayah, serta perlindungan terhadap masyarakat.

Apakah Cina akan bereaksi? Bisa jadi. Kita juga dapat mengajak perusahaan Cina bekerja sama di perbatasan. Mungkin di bidang industri penangkapan dan pengolahan ikan, pembangunan infrastruktur atau juga di bidang energi. Berkongsi sekaligus dengan perusahaan berasal dari Amerika Serikat dan Cina. Mengapa tidak? Kita dapat bersahabat sekaligus dengan kedua pihak yang bersaing ini. Jadilah sahabat bagi semua orang. Meminjam istilah Bung Hatta, mendayung di antara dua karang.

IMF memperkirakan dalam 10 tahun ke depan, GDP Cina akan yang tertinggi di dunia. Amerika Serikat, India, dan Indonesiapun termasuk dalam 10 besar.

Jangan sampai kita ketinggalan kereta, dan proyeksi tersebut tidak terwujud. Kita negara besar. Mari kita biasakan dengan mentalitas bekerja dengan orang-orang dan negara negara besar. Berhentilah sinis atau curiga berlebihan dengan menyebut-nyebut asing atau aseng.

Cina adalah realitas baru di bidang ekonomi, teknologi, dan peradaban. Kita perlu bekerja sama dengannya. Tentu dengan cerdas. Ada take and give. Bukankah menuntut ilmu sampai ke negeri Cina itu termasuk anjuran yang pernah diriwayatkan orang berilmu?

Pasca-pandemi virus coronaini, kemitraan strategis perlu kita revisit dan pertegas kembali. Termasuk di Natuna.

Halaman:
Sampe L. Purba
Praktisi Energi Global. Managing Partner SP-Consultant

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.