Orang Indonesia, khususnya di Jawa, memiliki tradisi kerokan. Ini biasanya untuk mengobati sakit “masuk angin”, dengan cara mengerok menggunakan uang logam pada punggung, dada, atau leher, yang dilumuri minyak. Uniknya, segala penyakit dapat dibilang masuk angin. Punggung, pundak atau leher yang pegal-pegal dibilang masuk angin. Begitu juga batuk pilek, sakit kepala, bahkan diare. Dan obatnya kerokan. Anehnya, sembuh!. Kalau lama tidak juga sembuh baru pergi ke dukun pijat, baru ke dokter.
Dalam dialektika yang lain, “masuk angin” biasanya digunakan untuk mengiaskan suatu kebijakan yang tidak kunjung diputuskan, sehingga menjadi tidak up to date lagi. Tidak sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi terkini. Dengan kata lain, ini untuk menggambarkan keputusan yang sudah kehilangan momen. Nah, masuk angin jenis ini tidak dapat disembuhkan dengan kerokan, tapi mungkin kritikan.
Beberapa waktu lalu terbetik berita bahwa untuk melanjutkan operasi di Blok Rokan, Pertamina membutuhkan formula bahan kimia untuk melakukan produksi tahap lanjut, atau yang biasa disebut sebagai Enhanced Oil Recovery (EOR). Formula ini dibuat oleh Chevron sebagai operator blok tersebut yang sudah diputuskan pemerintah untuk diserahkan kepada Pertamina di Agustus 2021.
Namun dalam berita tersebut ditambahkan bahwa dari empat formula yang dipegangnya, Chevron enggan memberikan satu formula kunci. Berita ini mendapat reaksi beragam dari kalangan pemerhati migas, khususnya yang menaruh perhatian pada peralihan operator Blok Rokan.
Bagi saya, perlakuan menahan rahasia data lapangan yang berakhir masa kontraknya dengan pemerintah merupakan tindakan aneh. Kecuali memang saat melakukan uji laboratorium dan percobaan di lapangan menggunakan dana sendiri (sole risk), sehingga KKKS tersebut tidak memasukkan semua biaya penelitiannya dalam cost recovery. Semua itu mudah dilacak benar-tidaknya argumentasi yang disampaikan. Kalaupun terasa ada dispute, masing-masing merasa benar, jalan terbaiknya adalah diputuskan melalui pengandilan artibtrase.
Dengan mengesampingkan masalah legal, kiranya kejadian ini menjadi pelajaran penting bagi pemerintah ( SKKMigas ) bahwa transisi alih kelola wilayah kerja migas harus melalui prosedur yang baku. Blok-blok migas yang sekarang diserahkan ke Pertamina memang tidak semua menguntungkan BUMN migas ini. Lapangan-lapangan penginggalan KKKS pada umumnya sudah disedot habis, dan mewariskan sumur-sumur tua yang lebih banyak memproduksikan air dan tekanan resevoir yang sudah rendah, peralatan yang sudah tua yang memerlukan biaya pemeliharaan tinggi, dengan produksi rata-rata sudah di ambang nilai keekonomiannya.
Lihat saja Blok Mahakam dan Blok Sanga-sanga. Jika mereka tidak mendapatkan insentif khusus untuk dapat melakukan pemboran yang masif, tidak lama lagi mereka akan memutuskan lebih baik menutup sumur-sumurnya karena harga gas bumi sekarang ini rendah. Celakanya, kalau produksi dari kedua blok, Mahakam dan Sanga-sanga, ini turun maka imbasnya Kilang Badak LNG pun akan “batuk-batuk”.
Meskipun sebagian besar pekerja di blok alih kelola ini berasal dari operator sebelumnya, namun bisa jadi karena masa “ambil-alih” operasi dilakukan tanpa masa transisi yang memadai maka tidak sedikit pekerjaan-pekarjaan yang dimulai agak terlambat. Misalnya, rencana perbaikan fasilitas, pengadaan barang, perbaikan kontak barang dan jasa, penempatan orang, standard operating procedures (SOP), dan lain-lain. Ketidaklancaran masa transisi menyebabkan penurunan produksi dari blok-blok alih kelola cukup signifikan.
Kembali ke Blok Rokan. Di blok migas yang ditemukan dan dikembangkan pada 1940 – 1970-an ini terdiri dari beberapa lapangan minyak. Yang menjadi primadona blok ini adalah Lapangan Minas, Duri, dan Bekasap. Blok ini memiliki kurang lebih 90 lapangan yang sebagian besar adalah lapangan minyak. Beberapa lapangan berukuran sedang, seperti Kotabatak, Bangko, dan Balam merupakan lapangan andalan berikutnya.
Di tahun 1980-an, Lapangan Minas sendiri pernah berproduksi hingga 1 juta barrel minyak per hari (bopd). Namun sekarang lapangan ini sudah tua, produksinya jauh di bawah 100 ribu bopd, meskipun sudah dibantu dengan injeksi air (water flooding). Demikian juga Lapangan Duri yang terkenal dengan Duri Steam-flood (DSF), produksinya juga sudah jauh menurun. Kedua lapangan andalan Blok Rokan ini kabarnya masih menyimpan cadangan minyak yang lumayan besar namun harus didorong dengan injeksi bahan kimia (surfaktan dan polimer) untuk dapat membersihkan sisa-sisa minyak yang ada di pori-pori batuan.
Dikarenakan kontrak wilayah kerja ini akan berakhir di Agustus 2021, dan pemerintah tidak lagi memperpanjangnya, maka sejak 2018 Chevron tidak lagi melakukan investasi usaha penaikan produksi yang signifikan.
Sejak lebih dari sepuluh tahun yang lalu, Chevron telah mencoba melakukan kajian dan penyeleksian (screening) beberapa metoda EOR yang cocok untuk beberapa lapangan di Blok Rokan. Termasuk untuk Lapangan Minas yang sudah diinjeksikan air. Mereka menguji dengan injeksi surfaktan untuk kondisi low resistivity, karena sejumlah lapangan memang sudah penuh dengan injeksi air yang menyebabkan kondisi seperti itu.
Inilah yang kemudian menjadi isu. Bahwa Chevron yang telah melakukan kajian EOR belasan tahun dengan harapan masih mendapatkan perpanjangan kontrak wilayah kerja Blok Rokan ini akhirnya pupus, setelah pemerintah memutuskan akan menyerahkannya kepada Pertamina.
Masa transisi yang diharapkan oleh operator baru pun belum berjalan mulus. Padahal masa transisi ini sangat penting untuk dapat menahan penurunan produksi. Misalnya, melakukan pemboran dan mengganti fasilitas produksi, pipa, tanki, dan infrastruktur lainnya yang sudah digunakan selama ini. Masa transisi ini juga diperlukan untuk serah-terima hasil kajian EOR yang merupakan andalan utama lapangan-lapangan tua di Blok Rokan.
Di tahun 2020 ini, Chevron Indonesia menargetkan produksi migas (target WP&B) dari Blok Rokan sebesar 161 ribu barel per hari (bph), atau turun sekitar 18% dibandingkan realisasi 2019 yang sebesar 190 bph.
Penurunan produksi itu akan terus terjadi. Inilah yang dikhawatirkan. Masa transisi yang dilakukan seharusnya bisa lebih awal dan direncanakan dengan lebih baik lagi, agar ketidaksempurnaan proses alih kelola yang terjadi di Blok Mahakam dan Sanga-sanga tidak terulang kembali.
Penurunan produksi Blok Rokan sudah pasti akan terjadi sesaat setelah diserah-terimakan. Apalagi dengan adanya isu bahwa Pertamina harus mengkaji ulang formula EOR yang akan diterapkan di beberapa lapangan di Blok Rokan. Jika itu terjadi, sudah dipastikan Pertamina akan “kerokan” di Blok Rokan karena kebijakan yang diambil sudah sempat “masuk angin”.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.