Pekan lalu, Indonesia bersama lebih dari 100 pemimpin negara menyepakati Leaders Declaration on Forests and Land Use. Salah satu komitmen Indonesia dalam deklarasi ini adalah mencapai net-sink emission atau sektor kehutanan dan pengunaan lahan (forestry and land use/FoLU) yang bebas emisi pada 2030.
Deklarasi Indonesia sejalan dengan rencana pemerintah dalam strategi jangka panjang rendah karbon dan ketahanan iklim (Long Term Strategi for Low Carbon and Climate Resilience 2050/LTS-LCCR). Target tersebut diharapkan dapat berkontribusi untuk meredam laju kenaikan suhu bumi di angka 2 derajat Celcius pada 2050.
Berdasarkan dokumen tersebut, strategi pemenuhan target net sink FoLU ditempuh melalui upaya pencegahan pelepasan karbon yang secara signifikan menyumbang emisi. Di antaranya adalah dekomposisi gambut (penguraian komponen organik), kebakaran gambut, dan deforestasi.
Komponen sektor kehutanan dan lahan sebenarnya juga dapat dimanfaatkan menjadi sumber penyerapan karbon. Caranya melalui regenerasi hutan sekunder (hutan alam yang tak utuh), pengembangan hutan tanaman industri, pengembangan tanaman perennial (tanaman tahunan seperti kelor, pepaya), serta penanaman hutan tanpa rotasi.
1. Restorasi lahan gambut
Guna menekan emisi dari proses dekomposisi dan kebakaran gambut ke titik nol, perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut sangat strategis. Sebab, angka emisi dari dekomposisi dan kebakaran gambut mencapai 50% dari total emisi kehutanan dan pertanian.
Dua hal tersebut dapat tercapai melalui restorasi lahan gambut minimum seluas 2,7 juta hektare pada tahun 2030. Upaya restorasi perlu dilakukan terintegrasi dengan perencanaan keseluruhan ekosistem gambut melalui Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG).
Melalui rencana tersebut, upaya pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, dan pengawasan ekosistem gambut dapat disusun secara komprehensif. Penyusunan dan pelaksanaan dokumen tersebut harus dilakukan secara terintegrasi dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat.
2. Menekan angka deforestasi di konsesi swasta
Komponen sumber emisi kedua adalah deforestasi. Dalam strategi jangka panjang sektor kehutanan, Indonesia menargetkan pencegahan lebih dari 3 juta hektare hutan dari deforestasi pada tahun 2030.
Target ini dapat dicapai jika Indonesia terus konsisten menekan angka deforestasi. Tren deforestasi yang menurun 75% selama 2019-2020 harus dilanjutkan pada tahun-tahun berikutnya.
Nah, peran swasta dalam mencegah deforestasi amat besar. Sebab, sekitar 9,8 juta hektare hutan alam Indonesia berada di dalam konsesi perusahaan dan kawasan areal penggunaan lain (APL) yang dikelola pemerintah daerah.
Implementasi prinsip pengelolaan hutan lestari menjadi isu penting yang harus dilaksanakan pemegang konsesi dari sektor perkebunan, pertanian, maupun hutan tanaman industri (HTI) seperti tanaman akasia. Pengusaha sektor HTI, misalnya, harus memastikan angka penebangan setiap tahunnya tidak melampaui tingkat pertumbuhan alami hutan tersebut.
3. Restorasi hutan sekunder
Regenerasi hutan dengan memulihkan hutan alam sekunder juga menjadi kunci keberhasilan penyerapan karbon. Hutan sekunder adalah hutan yang terbentuk secara alami setelah terjadi kerusakan ataupun perubahan bentangnya akibat aktivitas manusia.
Upaya restorasi menjadi penting karena berdasarkan catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, angka deforestasi hutan sekunder selama 2019-2020 mencapai 104,4 ribu hektare. Angka ini lebih tinggi dibandingkan kawasan hutan primer (hutan yang belum terdampak aktivitas manusia) dalam periode tersebut di Indonesia.
Indonesia membutuhkan setidaknya restorasi seluas 1,7 juta hektar hutan sekunder untuk mencapai kondisi bebas emisi sembilan tahun mendatang. Penanaman kembali pada area-area terdeforestasi dan terdegradasi baik ekosistem hutan dan non-hutan untuk memulihkan ekosistem, juga menaikkan angka penyerapan karbon.
4. Pendanaan negara maju
Langkah strategis lainnya untuk mendukung ambisi net-sinkadalah pengembangan kapasitas para pihak, serta menggalang pendanaan negara maju.
Pemerintah dapat mengembangkan model-model kemitraan internasional untuk mendapatkan pembayaran berbasis kinerja (result based payment) seperti program pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+).
Pola kemitraan yang adil pun mesti dijaga. Misalnya, mekanisme pembayaran yang dilakukan negara maju tidak bersifat tukar guling atas perhitungan karbon di Indonesia.
Adapun target yang ditetapkan Indonesia dalam strategi kehutanan LTS-LCCR masih bersifat umum. Pemerintah perlu melengkapinya dengan pedoman pelaksanaan yang lebih rinci yang dapat dievaluasi secara kuantitatif maupun spasial.
Berbagai strategi pengurangan emisi, terutama sektor kehutanan, juga harus diintegrasikan dengan perencanaan strategis lainnya. Misalnya, rencana tata ruang wilayah (RTRW), perencanaan pembangunan nasional di tingkat pusat, maupun perencanaan strategis dari institusi pemerintahan dan lembaga tertentu.
Agar sejalan dengan visi Indonesia 2045 menjadi negara maju, upaya pencapaian net sink sektor kehutanan dan lahan pada 2030 juga harus memberikan kontribusi ekonomi, serta mendorong transisi ke arah ekonomi hijau di tingkat nasional maupun di daerah-daerah.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.