Awal dekade 2020-an diwarnai dengan gejolak perekonomian global yang seakan tidak memberi ruang bagi para pelaku ekonomi untuk bernapas. Setelah kontraksi perekonomian global yang disebabkan pandemi COVID-19, terbitlah fenomena inflasi yang dapat mempengaruhi pemulihan ekonomi dunia.
Menurut VoxEU Centre for Economic Policy Research (CEPR), tingkat inflasi global sepanjang 2021 hingga triwulan I 2022 meningkat menjadi lebih dari 6%, tertinggi sejak Krisis Keuangan Global 2008.
Kenaikan inflasi global ini sudah melebihi target inflasi banyak bank sentral negara maju maupun berkembang. Inflasi IHK (Indeks Harga Konsumen) tahunan pada April 2022 di Amerika Serikat dan Belanda masing-masing telah mencapai 8,3% dan 9,6%. Sementara itu, inflasi IHK di Inggris (Maret 2022) mencapai 7%, tertinggi sejak periode akhir 1970 hingga awal 1990-an.
Beberapa negara berkembang pun tidak luput dari fenomena ini. Misalnya, Meksiko dan India yang inflasi IHK tahunannya masing-masing mencapai 7,7% dan 7,8% pada April 2022. Bahkan inflasi IHK tahunan Turki dan Sri Lanka masing-masing telah mencapai 69,9% dan 29,8% pada periode yang sama.
International Monetary Fund (IMF) bahkan memperkirakan inflasi pada 2022 di negara maju akan mencapai 5,7% dan di negara berkembang sebesar 8,7%, masing-masing 1,8% dan 2,8% lebih tinggi dari proyeksi WEO pada Januari 2022.
Fenomena peningkatan inflasi terjadi pula di Indonesia, meski masih dalam tingkat terkendali dibandingkan banyak negara lain. Pada April 2022, inflasi mencapai 3,47%, tertinggi sejak Agustus 2019. Namun, perekonomian Indonesia masih mencatatkan pertumbuhan solid dengan tumbuh 5,01% yoy pada triwulan I 2022 yang didukung oleh pertumbuhan konsumsi yang lebih tinggi dibandingkan periode sebelumnya (Q1-2022: 4,34%; Q4-2021: 3,55%). Selain itu, Outlook Indonesia dari lembaga pemeringkat S&P pun mengalami perbaikan menjadi “Stabil” dari sebelumnya dinyatakan “Negatif”.
Kembali ke inflasi global, tingginya inflasi disebabkan multifaktor, seperti gangguan rantai pasok sektor manufaktur secara konstan, melonjaknya harga komoditas pangan dan energi di tengah meningkatnya permintaan seiring peningkatan mobilitas penduduk, serta perang Rusia-Ukraina.
Kebijakan kontrasiklus, baik moneter maupun fiskal, yang digelontorkan secara maksimal untuk menyelamatkan perekonomian di masa pandemi ini berdampak pula pada inflasi. The Federal Reserve San Fransisco menulis bahwa besarnya stimulus fiskal Amerika Serikat dalam menghadapi pandemi menjadi faktor pendorong inflasi.
Para ekonom dan pengambil kebijakan masih memperdebatkan apakah inflasi global ini bersifat sementara atau jangka panjang. CEPR berpendapat bahwa dalam jangka menengah, jika gejolak perekonomian global mereda, inflasi diperkirakan akan kembali ke target yang diharapkan oleh otoritas-otoritas moneter di seluruh dunia. Sementara itu, IMF menyebutkan terdapat peningkatan risiko atas tidak menurunnya ekspektasi inflasi.
Bagaimana menurunkan inflasi? Dalam teori ekonomi standar tentu ini menjadi ranah otoritas moneter, terutama banyak otoritas moneter menganut rezim inflation targeting. Menurunkan inflasi dengan pengetatan tentu bukan tanpa biaya.
Seberapa besar resesi atau perlambatan yang harus dialami untuk menurunkan inflasi, tentu berbeda untuk tiap perekonomian bergantung pada elastisitas Phillips Curve masing-masing negara. Kurva Phillip menjelaskan hubungan ekonomi riil yang digambarkan dengan tingkat pengangguran dan inflasi.
Perlambatan ekonomi di saat harga-harga masih meningkat, atau disebut dengan stagflasi, perlu dihindari oleh seluruh negara secara bersama-sama. Pengetatan kebijakan moneter bukan satu-satunya instrumen untuk menahan inflasi, meskipun perannya termasuk utama.
Kerja sama antarnegara untuk memastikan rantai pasok dan arus barang tetap lancar dan terjangkau di masa pemulihan juga penting, sebab dampak kebijakan moneter akan dirasakan berbeda lintas kelas sosio-ekonomi. Karena itu, negara dapat memberi bantalan terhadap masyarakat, baik dengan subsidi, kebijakan yang mempengaruhi harga, maupun direct transfers kepada masyarakat rentan.
Jika berkepanjangan, inflasi dapat merambat pada isu sosio-ekonomi global. Mengutip pernyataan IMF Managing Director, Kristalina Georgieva dalam pertemuan IMF-WB Spring Meeting 2022, “In economic terms, growth is down and inflation is up. In human terms, people’s incomes are down and hardship is up”.
Otoritas-otoritas moneter di seluruh dunia tengah berhati-hati, bahkan cenderung divergen dalam menyikapi fenomena inflasi global. Amerika Serikat dan Inggris berupaya mempercepat peningkatan suku bunganya.
Pada Mei 2022, The Fed menaikkan target Fed Fund Rate terbesar sejak tahun 2000 menjadi 0,75% - 1%. Hal sama dilakukan Bank of England dengan menaikkan suku bunga acuannya menjadi 1%. Sementara itu, Jepang dan Tiongkok masih berencana menerapkan kebijakan moneter longgar di tengah inflasi produsen.
Opsi pengetatan kebijakan moneter ini menjadi hal yang sangat menantang dan dilematis bagi negara berkembang di saat perekonomian baru mulai menggeliat namun belum sepenuhnya pulih seperti prapandemi. Menurut Brookings Institute, CEPR, dan IMF, komunikasi kebijakan yang baik menjadi elemen yang krusial bagi negara berkembang dalam mengelola risiko inflasi. Dengan demikian, kepanikan dan ekses ekspektasi tidak menimbulkan hardship.
Laju inflasi di Indonesia masih dalam rentang aman di bawah laju pertumbuhan PDB. Dalam bahasa manusia, ini berarti pendapatan masih akan di atas hardship yang ditimbulkan inflasi jika kesejahteraan dari pertumbuhan ekonomi terdistribusi dengan baik.
PDB riil Indonesia membaik, kembali ke tingkat PDB riil pada 2019 sebelum pandemi. Tidak semua negara mengalami pembaikan seperti ini. Inflasi, di sisi lain, masih terkendali jika dibanding negara-negara peers di kelompok negara berkembang. Ini membuktikan Indonesia memiliki resiliensi. Namun, penurunan produktivitas sektor-sektor formal dan jurang produktivitas antarwilayah tetap perlu diwaspadai dan dicarikan solusi reformasi.
Di dalam kondisi badai besar perekonomian global ini, kerja sama multilateral menjadi komponen esensial. Prioritas pengendalian inflasi global adalah mengatasi akar masalah terkait rantai pasok, baik stabilisasi pasokan maupun harga komoditas, dan isu struktural. Upaya menghentikan perang dan meredakan pandemi adalah beberapa di antaranya.
Berhentinya perang diharapkan dapat memulihkan suplai komoditas pangan di Ukraina dan Rusia. Kedua negara ini merupakan produsen gandum, minyak nabati, dan energi yang signifikan. Sementara itu, terkendalinya pandemi dapat kembali membuka jalur perdagangan negara-negara yang memiliki kaitan rantai pasok global kuat seperti Tiongkok. Dengan demikian, teratasinya masalah rantai pasok diharapkan dapat mengurangi tekanan dari supply side.
Upaya multilateral lain adalah melalui penyediaan jaring pengaman sosial keuangan global (global financial safety net) oleh lembaga multilateral, yang dapat membantu negara berkembang yang rentan ketika dunia melakukan transisi pada kondisi kebijakan moneter yang lebih ketat. Menjalankan Presidensi G20, peran Indonesia semakin krusial dalam memimpin ikhtiar multilateral mencari solusi menghadapi tantangan ekonomi dunia saat ini.
Di tengah perbedaan pendapat dan konflik geopolitik global yang meruncing, Indonesia dalam Finance Ministers and Central Bank Governors Meeting (FMCBG) pada April 2022 berhasil memimpin para negara anggota G20 untuk mencapai konsensus mewujudkan perekonomian global yang lebih merata dan lebih kuat sesuai slogan “Recover Together, Recover Stronger”.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.