Tantangan inflasi yang dihadapi dunia menyebabkan paruh pertama tahun 2022 ini diwarnai dengan berbagai berita pengetatan moneter berbagai negara, terutama dua negara yang berpengaruh signifikan dalam perekonomian global, yaitu Amerika Serikat dan Inggris. Kedua negara melakukan pengetatan kebijakan moneter.
Pada awal Mei ini, The Federal Reserve (the Fed) dan Bank of England (BoE) kembali menaikkan suku bunga acuan guna mengatasi lonjakan inflasi tertinggi dalam empat dekade terakhir.
The Fed menaikkan target Fed Fund Rate sebesar 50 bps menjadi 0,75 - 1%. Ini merupakan kenaikan kedua berturut-turut dan terbesar sejak tahun 2000. Gubernur the Fed, Jerome Powell, bahkan menegaskan komitmennya bahwa dalam jangka waktu dekat tidak akan ragu kembali menaikkan Fed Fund Rate hingga tingkat inflasi AS terkendali.
Inflasi memang tengah menjadi sorotan utama tak hanya bagi perekonomian Amerika Serikat, tapi juga dunia.
Dalam kolomnya di Wall Street Journal, mantan Menteri Keuangan Amerika Serikat Lawrence H. Summers menyatakan Amerika Serikat berpotensi berada dalam kondisi resesi ketika tingkat inflasi berada di atas 6% sementara tingkat pengangguran di bawah 4%. Pada April 2022, tingkat inflasi tahunan AS mencapai 8,3% sementara tingkat pengangguran di bawah 3,6%.
Kebijakan serupa juga diambil bank sentral Inggris. Pada pekan yang sama, BoE menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 1% melalui kenaikan empat kali berturut-turut. Di sisi lain, Presiden Bank Sentral Eropa Christine Lagarde menulis dalam blog-nya bahwa kebijakan normalisasi akan terus dilanjutkan dan ECB akan meninggalkan zona suku bunga negatif di kuartal ketiga tahun ini.
Selain meningkatkan Fed Fund Rate, the Fed akan mengurangi neraca bank sentral berupa Quantitative Tightening yang akan dimulai 1 Juni 2022. Quantitative Tightening tersebut rencananya akan dilakukan melalui roll-off bulanan atas instrumen Treasuries dan Mortgage-Backed Securities (MBS) sebesar US$ 47,5 miliar per bulan dengan rincian: Treasuries US$ 30 miliar dan MBS US$ 17,5 miliar selama tiga bulan pertama.
Jumlahnya akan meningkat menjadi US$ 95 miliar, dengan rincian: Treasuries US$ 60 miliar dan MBS US$ 35 miliar per bulan mulai September 2022. Hal ini mengejutkan karena lebih besar dibandingkan periode Quantitative Tightening 2017-2019 dengan pengurangan US$ 50 miliar per bulan.
Reuters memperkirakan dampak pengurangan neraca The Fed pada Quantitative Tightening 2022 ini akan jauh lebih besar hingga mencapai US$ 3 triliun dalam tiga tahun ke depan. Bandingkan dengan periode Quantitative Tightening 2017-2019 yang mengurangi neraca The Fed sebesar US$ 650 miliar.
Kenaikan suku bunga akan mengurangi jumlah uang beredar di pasar uang. Dampak dari kontraksi uang beredar ini akan tertransmisi ke sektor riil melalui kanal investasi sejalan Keynesian Transfer Mechanism.
Fenomena ini akan mengubah perilaku investasi korporasi-korporasi besar (produsen) yang bergerak di perekonomian sektor riil. Mulai dari pelaku industri real estate hingga retailer. Pada akhirnya, fenomena ini juga akan mempengaruhi perilaku konsumen.
Dengan kata lain, perubahan rezim kebijakan moneter negara maju dari posisi longgar (expansionary) menjadi ketat (contractionary) diharapkan dapat meredakan dampak dari aktivitas ekonomi yang ekstrem (overheated), sehingga dapat menurunkan tingkat harga.
Di sisi lain, perubahan rezim moneter ini membawa dampak bagi sektor keuangan maupun sektor riil. Lebih tingginya tingkat suku bunga dan berkurangnya Neraca Bank Sentral dapat mengurangi likuiditas. Hal ini dapat menyulitkan pendanaan untuk membeli instrumen keuangan maupun melakukan kredit untuk menggerakkan sektor riil.
Kebijakan The Fed tersebut direspons bursa Wall Street yang anjlok (bearish) terpanjang sejak awal pandemi 2020. Penyesuaian kebijakan tentu dapat menimbulkan volatilitas sementara yang dapat kembali kepada ekuilibrium.
Dalam kondisi ekstrem, ekonom James Galbraith menyebutkan bahwa tingginya cost of fund (biaya dana) karena tren suku bunga tinggi yang berkelanjutan dapat memicu kebangkrutan dunia usaha dan menambah jumlah pengangguran. Perbedaan elastisitas pengetatan kebijakan moneter tidak hanya sektoral, tapi juga antarkelas sosio-ekonomi.
Bagi masyarakat berpendapatan menengah ke atas, tingginya tingkat suku bunga membuat mereka menabung dan menempatkan dana berlebih pada instrumen deposito maupun obligasi. Tingginya tingkat keuntungan karena bunga yang tinggi menjadi alasan utama mereka.
Hal berbeda terjadi pada masyarakat berpendapatan menengah ke bawah. Dengan pemasukan yang kecil (disposable income), kelompok ini sulit untuk menabung. Mereka bahkan justru terbebani oleh semakin tingginya biaya konsumsi maupun memulai usaha.
James Galbraith menekankan perlunya mewaspadai dampak kebijakan kenaikan suku bunga The Fed dan BoE ini terhadap tingginya beban biaya yang ditanggung oleh pelaku sektor primer, seperti industri pertanian dan para petani, UMKM, rumah tangga, atau pekerja yang sedang mencicil kredit perumahan dan/atau kredit konsumsi.
Dampak perubahan rezim moneter ini tidak hanya terisolasi di negara-negara pencetus kebijakan tersebut. Seiring semakin terintegrasinya sistem keuangan dan perdagangan dunia, rezim moneter ketat global turut merambat pada negara berkembang dengan laju bervariasi.
Sejak diumumkannya kenaikan Fed Fund Rate, indeks dolar AS (DXY) berada pada tren menguat mencapai nilai di atas 100, tertinggi sejak tahun 2016. Hal serupa terjadi pada yield US Treasury 10 tahun yang sempat mencapai tingkat di atas 3%.
Terapresiasinya Dolar AS serta meningkatnya yield US Treasury tentunya dapat mempengaruhi kondisi perekonomian negara berkembang. Seluruh indikator aset keuangan negara berkembang (nilai tukar, yield obligasi, maupun indeks saham) melemah pasca-pengetatan kebijakan moneter global.
Di Indonesia misalnya, terjadi tren depresiasi nilai tukar rupiah, yang pada pertengahan Mei sudah kembali menguat. Perlemahan nilai tukar dapat meningkatkan cost of fund pembiayaan, baik bagi APBN maupun pelaku ekonomi lain.
Indikator makro dan sektor keuangan Indonesia dalam kategori cukup baik mengingat tantangan global yang cukup tinggi, terutama jika dibandingkan dengan periode Taper Tantrum 2013.
Dengan mulai berubahnya rezim moneter negara maju, perekonomian dunia dan domestik tentu perlu beradaptasi. Amerika Serikat sendiri memiliki instrumen untuk meredam kejutan dampak kebijakannya (smoothing), seperti mengurangi tekanan transisi perubahan rezim moneter. Salah satunya adalah melalui Standing Repo Facility (SRF).
Peran kerja sama multilateral pun semakin esensial. Khususnya, dalam mencari solusi agar akar pemicu inflasi global, seperti gangguan rantai pasok (supply chain) serta perang Rusia-Ukraina, dapat segera terselesaikan.
Di tengah tantangan capital outflows bagi negara berkembang, perlu dilakukan upaya peningkatan investasi langsung asing (Foreign Direct Investment) dan kemudahan investasi dalam skala besar.
Di tengah real yield negara maju yang negatif (karena tingginya inflasi), Indonesia masih memiliki real yield positif sehingga berpotensi merebut peluang mendapatkan capital inflow melalui pinjaman maupun suntikan modal, salah satunya melalui sovereign wealth fund.
Bagaimanapun, arus aktivitas perdagangan dan sektor keuangan kita tidak terisolasi dari perkembangan dinamika ekonomi negara-negara yang memiliki hubungan signifikan dengan Indonesia.
Salah satu hal yang perlu diwaspadai adalah arah perkembangan transisi rezim moneter secara global: Apakah searah atau divergen? Tiongkok misalnya, masih berencana mengimplementasikan kebijakan moneter longgar. Divergensi arah kebijakan moneter ini menjadi salah satu hal krusial dalam pemantauan perekonomian domestik.
Dari sisi domestik, peran kebijakan fiskal dan moneter diperlukan untuk menghadapi divergensi ini. Untuk meredam fluktuasi yield SBN (Surat Berharga Negara), perlu melakukan diversifikasi investor sehingga pasar SBN domestik tidak bergantung pada aliran modal asing.
Beberapa penelitian seperti Ebeke dan Kyobe (2015) menunjukkan bahwa tingginya fluktuasi yield pasar SBN suatu negara dipengaruhi oleh besarnya porsi kepemilikan asing dalam struktur pasar SBN. Oleh karena itu, peran investor domestik semakin diperlukan untuk memperkuat pasar SBN, terutama dengan memperhatikan kebijakan burden sharing yang akan berakhir tahun ini.
Dengan adanya tren penguatan indeks Dolar AS, skema Bilateral Currency Swap menjadi salah satu instrumen penting untuk mengurangi risiko currency mismatch mata uang dollar AS bagi perdagangan antarnegara dan mengurangi tekanan depresiasi Rupiah.
Hal-hal ini menjadi amat penting bagi para pemegang kebijakan perekonomian di Indonesia. Semua perkembangan dinamika perekonomian global ini harus dimitigasi demi kepentingan dan kesejahteraan bangsa.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.