Hilirisasi, Penciptaan Nilai Tambah, dan Pertumbuhan Ekonomi

Ilustrator: Joshua Siringo Ringo | Katadata
Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Ekonomi dan Peneliti Senior LPEM FEUI
Penulis: Mohamad Ikhsan
15/11/2022, 10.28 WIB

Hilarisasi merupakan topik yang menarik untuk didiskusikan (lagi). Pertama, tren transisi energi membuka kesempatan bagi banyak negara, termasuk Indonesia, untuk menjadi negara pelopor bukan follower dari siklus industri untuk meningkatkan nilai tambah dengan memanfaatkan sebagai negara yang memiliki sumber daya alam.

Kedua, bagi Indonesia, kesempatan ini untuk membalikkan tren deindustrialisasi yang terjadi sejak tahun 2000. Ketiga, perang dagang Amerika Serikat-Cina yang terjadi dewasa ini telah mendorong friendshoring atau reshoring.

Hal ini membuka peluang bagi Indonesia mengambil kesempatan berpartisipasi sebagai “negara netral” dalam bentuk baru global supply chain. Indonesia dapat bersikap sebagai negara opportunistic dengan memanfaatkan peluang kerja sama dari kedua pihak yang bertikai.

Namun demikian, timbul pertanyaan apakah upgrading dari suatu value chain dalam bentuk proses hilirisasi akan selalu memberikan dampak yang positif terhadap peningkatan kesejahteraan atau pertumbuhan ekonomi suatu negara? Tidak selalu (Patunru, 2015).

Sejarah ekonomi menunjukkan banyak negara penghasil sumber daya alam yang memilih untuk tetap mengekspor bahan mentah dibandingkan mengolahnya lebih lanjut di dalam negeri. Bagi kita, pertanyaan ini sangat relevan karena banyak pihak mendesak pemerintah untuk mendorong hilirisasi di dalam negeri – dalam kasus industri pertambangan – atau memaksa “swasembada” untuk setiap proses dalam value chain – seperti dalam kasus hortikultura, pangan, dan peternakan.

Kedua, secara empiris Prospera (2022) dalam kasus pengembangan kawasan industri pengolahan nikel di Morowali memberikan dampak yang mendua (ambiguous). Secara makro, dampaknya cenderung positif dalam peningkatan ekspor industri pengolahan nikel dan akselerasi pertumbuhan PDRB di kabupaten Morowali dan Provinsi Sulawesi Tenggara.[3]

Tetapi dampak “foreign exchange” ini tergolong minimal karena perusahaan pengolah biji nikel melakukan transfer kembali penerimaan devisa ke perusahaan induknya. Dengan kata lain, dalam perspektif neraca perdagangan akan terlihat positif tetapi dalam konteks neraca transaksi berjalan, surplusnya tergolong minimal.

Lebih jauh lagi efek “backward linkages” cenderung tidak menguntungkan. Penambang nikel (umumnya perusahaan lokal) tidak dapat menikmati kenaikan harga di pasar internasional karena ada larangan ekspor. Pasar nikel berubah menjadi pasar lokal di mana bargaining position industri lebih kuat sehingga menekan harga nikel di pasar lokal 30 % lebih rendah dibandingkan dari pasar internasional.

Secara teoritis, potensi nilai tambah dapat diperoleh dari dua sumber lainnya yaitu penerimaan pajak, royalti, dan pungutan lain oleh pemerintah dan penerimaan upah dan gaji dari pekerja. Yang terakhir karena industri pengolahan nikel ini tergolong padat modal sehingga nilai tambah dari tenaga kerja tergolong rendah.

Bagaimana dengan penerimaan pemerintah? Dari royalti dampaknya juga cenderung mendua. Harga jual nikel yang lebih rendah (dibandingkan pasar ekspor) menyebabkan penerimaan royalti menurun dibandingkan seandainya larangan ekspor tidak diberlakukan. Tetapi di lain pihak, larangan ini menghilangkan ekspor ilegal biji nikel yang marak terjadi menjelang penerapan larangan ekspor.

Secara empiris, resultan keduanya masih cenderung positif. Tambahan lagi, karena sebagian besar industri pengolahan nikel ini mendapatkan fasilitas tax holiday maka penerimaan pajak perusahaan cenderung rendah. Namun secara agregat, penerimaan pajak penghasilan masih meningkat pada 2021 dibandingkan sebelum kawasan Morowali dikembangkan.

Kawasan Industri Morowali (Katadata - Ihya Ulum Aldin)

Bagaimana Sebaiknya Mengevaluasi Proses Hilirisasi?

Penciptaan nilai tambah dalam suatu rantai nilai harus dilihat dalam konteks yang luas. Kegiatan penciptaan nilai tambah akan menimbulkan aktivitas di sisi hulu (downstream) atau backward linkages dan di sisi hilir (upstream) atau forward linkages. Proses penciptaan nilai tambah ini tidak hanya dalam suatu rantai kegiatan suatu sektor atau subsektor tetapi juga antar-sektor (misalnya sektor pertanian dan manufaktur, sektor manufaktur dan sektor jasa, atau melibatkan ketiga sektor tersebut).

Bahkah dengan hyper-spesialization dan globalization yang terjadi dewasa ini, proses penciptaan nilai tambah ini melibatkankan banyak negara. Yang terakhir ini dikenal dengan fenomena global supply chain.

Karena itu, idealnya evaluasi terhadap pemilihan kebijakan untuk meningkatkan nilai tambah harus didasarkan pada analisis biaya-manfaat yang harus melihat apakah pilihan kebijakan ini layak secara ekonomis dalam jangka pendek maupun jangka panjang dan melihat dampak ekonomi secara luas.

Analisis ini pada akhirnya akan menjawab apakah proses upgrading ini akan menghasilkan peningkatan pertumbuhan ekonomi (kesejahteraan masyarakat) atau tidak? Lebih luas lagi, kadangkala analisis ini juga perlu dilengkapi dengan melihat dampaknya terhadap lingkungan hidup dan penurunan kemiskinan serta distribusi pendapatan.

Penggunaaan analisis biaya-manfaat ini pun memunculkan perdebatan karena perhitungan analisis ini didasarkan pada data masa lalu. Ekonom seperti Profesor Dani Rodrik dari Harvard atau Pemenang Nobel Ekonomi Profesor  Michael Spence dari Stern Business School NYU, percaya keunggulan komparatif tidak bersifat statik melainkan dinamis.  Artinya, keunggulan komparatif tidak bisa sekadar didasarkan pada sumber daya (endowment) yang dimiliki saat ini.

Halaman selanjutnya: Apa Saja Faktor Keberhasilan Program Hilirisasi

Halaman:
Mohamad Ikhsan
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.