“Semakin maju suatu negara maka peranan sektor pertanian terhadap GDP akan semakin menurun”. Teori patterns of development dari Chenery & Syrquin tersebut merupakan ironi bagi kebanyakan negara berkembang yang perekonomiannya didominasi sektor pertanian, tapi belum mampu bersaing bahkan masih bergantung pada negara maju.
Saat ini, Indonesia dapat dikatakan rawan pangan,utamanya beras. Kerawanan ini salah satunya disebabkan terlalu bergantung pada beras impor dari Vietnam, Thailand, Pakistan, dan India. Berdasarkan data Trade Map dalam dua dekade terakhir, Indonesia masuk 10 besar negara importir beras terbesar di dunia dengan rata-rata sekitar 857.354 ton per tahun. Jumlah impor tiap tahunnya fluktuatif tergantung kondisi produksi dalam negeri.
Data BPS 2022 menunjukkan bahwa 75% sentra produksi beras terdapat di tujuh provinsi, yaitu Jawa Timur (17,44%), Jawa Barat (17,32%), Jawa Tengah (17,17%), Sulawesi Selatan (9,56%), Sumatera Selatan (4,94%), Lampung (4,77%), dan Sumatera Utara (3,81%). Jumlah produksi beras pada 2022 mencapai 32.074.044 ton, dimana 97,33% dikonsumsi sebagai bahan makanan, 0,17% untuk pakan, dan tercecer sekitar 2,50%.
Kenaikan Harga Beras
Beras merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia. Maka itu, persediaannya perlu diatur agar masyarakat dapat mengaksesnya dengan mudah dan murah.
Apalagi saat ini dunia dihadapkan pada penurunan produksi pangan akibat El Nino dan alih fungsi lahan pertanian. El Nino menyebabkan turunnya produksi serealia (padi, jagung, sorgum, dan gandum) yang dapat mengurangi produksi beras sebesar 3-6% (Kompas, 12 Oktober 2023).
Berkurangnya produksi menyebabkan harga beras naik signifikan. Menurut publikasi BPS (1 November 2023), secara akumulatif selama tahun 2023 beras menyumbang andil inflasi terbesar yaitu sebesar 0,49% (year to date /ytd) Oktober 2023. Salah satu strategi mengatasi kenaikan harga yaitu dengan cara impor, namun impor memberikan disinsentif kepada para petani untuk menanam padi dan sulit mewujudkan kemandirian pangan.
Diversifikasi Pangan
Upaya lain untuk mengantisipasi dampak kenaikan harga beras adalah diversifikasi pangan seperti saran dari Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Menurut saran Tito Karnavian, diversifikasi dapat dilakukan dengan mengonsumsi papeda, sagu, jagung, talas, yam, ubi jalar, sorgum, dan sukun (Tempo, 3 Oktober 2023)
Imbauan diversifikasi pangan juga dikemukakan Wakil Presiden Ma'ruf Amin dengan menganjurkan makan dua buah pisang. Nilai gizi dua buah pisang disebut-sebut setara dengan satu porsi nasi seberat 100 gram (Detik, 3 April 2022).
Dari semua opsi diversifikasi pangan di atas, pisang merupakan buah yang tidak termasuk dalam makanan pokok sumber karbohidrat. Satu porsi nasi setara dengan 100 gram mengandung 175 kilo kalori, 4 gram protein, dan 40 gram karbohidrat. Jika dibandingkan dengan dua buah pisang setara dengan 100 gram, hanya mengandung 80 kilo kalori dan 20 gram karbohidrat (Permenkes 41/2014).
Dalam menentukan diversifikasi jenis pangan yang dikonsumsi setidaknya tergantung tiga hal, yaitu:
1. Ketersediaan Pangan
Pengembangan pangan alternatif dapat dirasionalisasikan dengan melihat jumlah produksi dan tingkat persebaran suatu komoditas. Dari data BPS dan Kementan pada 2022, produksi komoditas pangan yang paling banyak di Indonesia adalah beras, jagung, ubi jalar, kentang, sagu, dan sukun.
Sebagian besar sentra produksi komoditas tersebut terdapat di wilayah Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Spesifik sagu, produksi terbesar di provinsi Riau (71,58%) dan Papua (18,52%).
2. Pola Konsumsi dan Faktor Harga
Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2022, sekitar 64-70% pengeluaran penduduk miskin digunakan untuk makanan. Dari jumlah tersebut, sebesar 22%-40% berupa padi-padian (sereal).
Berdasarkan nilai garis kemiskinan (GK) menurut BPS pada September 2022 sebesar Rp 535.547 per kapita per bulan, maka pengeluaran masyarakat kurang dari Rp 17.851 per hari dikategorikan ke dalam kelompok miskin atau di bawah garis kemiskinan. Dari perhitungan itu, didapatkan data jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 26,36 juta orang.
Kenaikan harga beras tentu saja sangat berdampak terhadap 26,2 juta penduduk miskin tersebut. Apalagi, pembelian pangan berupa beras menempati proporsi dominan dari pengeluaran untuk bahan makanan mereka.
Kelompok dengan pengeluaran per kapita lebih rendah dari Rp 150 ribu, misalnya. Pengeluaran terbesar dari kelompok ini adalah untuk membeli bahan pangan, yaitu sebesar Rp 98,576 atau 70% dari total pengeluaran. Dari jumlah tersebut, sebesar Rp 33.627 atau sekitar 34,11% adalah untuk membeli padi-padian.
Sebab itu, diversifikasi pangan mutlak diperlukan dengan memperhatikan daya beli dan keterjangkauan harga.
3. Kandungan Energi dan Zat Gizi
Rata-rata angka kecukupan energi masyarakat Indonesia sebesar 2.100 kilo kalori per orang per hari (Permenkes 28/2019). Jika tidak memenuhi angka tersebut, tubuh mudah lelah, kekebalan menurun, serta kekurangan gizi.
Untuk memenuhi kebutuhan energi itu, perlu diperhatikan batas konsumsi nasi putih per hari, maksimal 300-400 gram (3-4 centong nasi). Apabila dikonsumsi dengan jumlah lebih besar, berpotensi menimbulkan obesitas dan diabetes.
Menurut Permenkes 41/2014, terdapat 30 pangan alternatif sumber karbohidrat yang dapat menggantikan satu porsi nasi setara dengan 100 gram, antara lain: (1) 8 sendok makan tepung sagu, 50 gram; (2) 3 buah jagung segar ukuran sedang, 125 gram; (3) ½ biji talas ukuran sedang, 125 gram; (4) 1 biji ubi jalar kuning ukuran sedang, 135 gram; dan (5) 3 potong sukun ukuran sedang, 150 gram.
Jika dibandingkan, tepung sagu memiliki harga yang paling murah, sedangkan nasi relatif masih lebih murah daripada jagung, talas, sukun, dan ubi jalar.
Artinya, terdapat tantangan diversifikasi pangan dari sisi harga. Untuk memenuhi angka kecukupan energi, tiap rumah tangga perlu menyesuaikan pendapatan yang dimiliki dengan berbagai kombinasi makanan yang akan dikonsumsi.
Kebijakan Mendorong Diversifikasi Pangan
Untuk mengubah pola konsumsi masyarakat Indonesia yang dibiasakan makan nasi sejak kecil, membutuhkan gebrakan besar yang dihadapkan pada constrain waktu dan anggaran. Sembari mengurangi konsumsi beras secara agregat, perlu terus didorong inovasi dan riset pengembangan produk olahan pangan selain beras. Sehingga ketika sudah difortifikasi harganya tetap terjangkau dan angka kecukupan energinya juga setara dengan makan nasi.
Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan memberikan insentif (seperti pajak, fasilitasi bimbingan teknis, pendampingan, permodalan, dll) kepada para pelaku usaha (termasuk UMKM) di sektor makanan dan minuman, dalam memformulasikan kombinasi pangan alternatif selain beras yang berbasis keunggulan lokal.
Misalnya, jagung yang diolah menjadi seperti beras (beras jagung), atau pangan lain seperti beras singkong dan beras porang (fukumi) yang memiliki indeks glikemik lebih rendah dan lebih sehat. Tujuannya untuk menambah opsi dan variasi makanan dengan harga terjangkau.
Pemerintah sebaiknya lebih serius mendorong diversifikasi pangan secara masif, termasuk melibatkan influencer untuk mengubah mindset masyarakat: beras itu bukan lagi satu-satunya makanan pokok. Target awalnya yaitu masyarakat menengah ke atas, yang memiliki daya beli lebih tinggi untuk mengonsumsi non beras dibandingkan masyarakat miskin yang sebagian besar pengeluarannya untuk membeli beras.
Terkait optimalisasi dan efisiensi produksi beras, diperlukan kebijakan yang tepat dan berkelanjutan. Pemerintah sebagai regulator perlu menyiapkan proses transformasi struktural yang ekosistemnya terintegrasi dari hulu ke hilir, dimana sektor manufaktur dan jasa harus tetap bertumpu pada sektor pertanian dan sebaliknya sektor pertanian mendukung sektor manufaktur dan jasa.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.