PLTS Atap, Menyoal Komitmen Transisi Energi Indonesia

Katadata/Bintan Insani
Manajer Program Energi Terbarukan Trend Asia dan Mahasiswa Magister Sustainable Energy Engineering di KTH Royal Institut of Technology, Swedia
Penulis: Beyrra Triasdian dan Maulida Rahma
Editor: Dini Pramita
18/5/2024, 10.08 WIB

PLTS atap adalah salah satu solusi transisi energi yang menjanjikan. Bukan cuma meningkatkan bauran energi bersih, yang punya target ambisius mencapai 23% per 2025, PLTS atap juga dapat mendorong kemandirian energi masyarakat. Karena dibangun di atap bangunan, ia dapat dikembangkan tanpa pembukaan lahan baru, tidak seperti mayoritas pembangkit lain yang kerap mendorong berbagai masalah seperti perampasan lahan dan pengambilalihan fungsi hutan.

Jika dimanfaatkan oleh seluruh pihak, mulai dari kawasan residensial, bisnis, hingga industri, PLTS atap memiliki potensi maksimal hingga 32,5 GW di Indonesia. Bisa dibandingkan dengan produksi total listrik Indonesia di tahun 2022 sejumlah 38 GW. Wajar jika pemerintah menggadang-gadang PLTS atap sebagai solusi transisi energi.

Namun, keberadaan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 2 Tahun 2024 mengenai pembangkit listrik tenaga surya atap (PLTS atap), justru menimbulkan keraguan terhadap komitmen pemerintah pada pemanfaatan PLTS atap.

Perubahan dalam Permen

Ada beberapa poin perubahan utama. Pertama, hilangnya aturan ekspor-impor. Sebelumnya, pelanggan dapat “mengekspor” kelebihan produksi listrik mereka ke jaringan listrik PLN, yang akan menjadi potongan terhadap biaya listrik mereka. Penghilangan peluang itu akan mengurangi insentif warga untuk mengadopsi PLTS atap.

Kedua, penambahan faktor pembatasan kuota pemasangan PLTS atap; dari yang sebelumnya hanya ditentukan oleh kapasitas jaringan, menjadi ditentukan oleh KEN (Kebijakan Energi Nasional) dan RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik).

Padahal, dalam Rancangan Peraturan Pemerintah Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN) terbaru, target energi terbarukan sendiri dipangkas menjadi 17-19%. Hal ini dapat semakin membatasi kuota pemasangan bagi mereka yang berminat mengadopsi PLTS atap. Jika tidak transparan, kuota ini juga dapat menjadi celah baru untuk suap dan korupsi.

Poin ketiga adalah sulitnya permohonan izin pemasangan. Calon pelanggan harus melakukan permohonan izin pasang yang hanya diselenggarakan pada bulan Januari dan Juli. Hal ini akan menjadi satu lagi prasyarat yang mempersulit pelanggan, baik dalam skala rumahan atau industri kecil. Daftar di bulan yang ditentukan juga tidak menjamin pendaftar dapat serta merta memasang PLTS atap.

Keempat, pemasangan harus dilakukan oleh badan usaha tersertifikasi khusus. Selain menambah syarat pemasangan bagi masyarakat dan industri, hal ini dapat menjadi peluang korupsi dan kecurangan dalam proses sertifikasi. Bertambahnya syarat pemasangan dapat berpotensi membuat harga komponen peralatan PLTS atap tidak dapat bersaing sehat yang akan meningkatkan beban biaya listrik.

Kelima, adalah ancaman hukuman terhadap pelanggan yang melanggar peraturan. Konsekuensinya, apabila pelanggan tidak memahami penuh tahapan dan persyaratan pemasangan PLTS atap, mereka berisiko terkena denda hingga 240 kali kapasitas terpasang.

Keseluruhan perubahan tersebut menimbulkan satu pertanyaan: apabila pemerintah berniat serius menimbang PLTS atap sebagai solusi transisi energi Indonesia, mengapa begitu banyak perubahan yang membatasi, ketimbang mendorong angka pengadopsian PLTS atap?

Perubahan deskripsi tujuan peraturan dalam peraturan menteri ini semakin mengindikasikan berubahnya pandangan pemerintah tentang PLTS atap.

Tujuan peraturan diubah dari, “a. menghemat tagihan listrik Pelanggan PLTS Atap; b. mendapatkan listrik dari sumber energi terbarukan; dan c. berkontribusi menurunkan emisi gas rumah kaca,” menjadi “a. menghemat tagihan listrik Pelanggan PLTS Atap; b. mendapatkan listrik dari sumber energi terbarukan; dan/atau c. berkontribusi menurunkan emisi gas rumah kaca (pasal 3 Permen ESDM 2/2024).

Perubahan sederhana ini menunjukkan pergeseran pandangan pemerintah, dari PLTS sebagai upaya optimis untuk transisi energi dari bahan bakar fosil yang kotor, menjadi menjadi sekadar teknologi yang penuh batasan dan aturan yang menghambat.

Pembatasan bukan hanya terjadi di skala rumah tangga. Meski pemerintah berniat mempermudah pengadopsian di skala industri dengan penghilangan biaya kapasitas – yang akan membantu industri yang notabene punya konsumsi listrik lebih stabil dengan konsumsi besar - ia tetap dipenuhi prasyarat yang semakin pelik.

Dari peraturan sebelumnya saja, banyak pelaku industri yang mundur karena syarat-syarat yang memberatkan untuk pemasangan PLTS atap. Kini kapasitas listrik terpasang melebihi 500 KW perlu izin khusus untuk memasang PLTS atap. Untuk kepentingan industri yang lebih besar, bahkan diperlukan peralatan tambahan seperti prakiraan cuaca (weather forecast) yang terintegrasi dengan sistem Supervisory Control and Data Acquisition (SCADA)/smart grid. Hal tersebut tentu membebani industri, khususnya dalam biaya investasi awal.

Pelaku industri penyedia komponen PLTS juga mengeluhkan syarat pendaftaran badan usaha yang tidak transparan. Permen ini merunut standar tahapan penyediaan komponen secara sangat rinci.

Di satu sisi, ini dapat dilihat sebagai langkah baik untuk mendorong kesiapan penyediaan sistem dan keandalan produk. Namun, perlu dipastikan apakah standarisasi ini bukan sekadar pembatasan ruang partisipasi dan kompetisi industri. Situasi ini dapat berdampak bagi harga instalasi panel surya, sekaligus menjadi ceruk peluang praktek korupsi dan kolusi terkait penyediaan produk pendukung PLTS atap.

Lagi-lagi Salah Oversupply

Pembatasan pemasangan PLTS atap ini disinyalir berkaitan dengan adanya kelebihan kapasitas jaringan listrik Indonesia (oversupply) yang masih akan terjadi setidaknya hingga 2027. Padahal ini seharusnya menjadi alasan untuk berhenti membangun pembangkit berbahan bakar fosil dan beralih ke energi terbarukan di masa mendatang, bukan menghambat dukungan upaya pembangunan energi bersih di masyarakat.

Indonesia mengalami kelebihan energi listrik hingga 50%-60% dari kebutuhan. Kondisi oversupply ini disebabkan oleh sistem take-or-pay, ketika PLN sebagai pengelola tunggal dengan adanya Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) wajib membeli seluruh listrik yang disediakan oleh penyedia listrik independen (IPP).

Pertumbuhan konsumsi listrik yang tidak sesuai dengan kebutuhan menyebabkan oversupply dari tahun ke tahun semakin parah. Kondisi ini membuat PLN merugi. Anehnya, pemerintah malah merencanakan tambahan 13,8 MW listrik dari PLTU Batubara dalam RUPTL 2021-2030.

Kondisi oversupply Indonesia saat ini adalah akibat dari miskalkulasi pemerintah. Sedihnya, hal ini juga disertai dengan meningkatnya utang dan kewajiban sewa produsen listrik (IPP) ke PLN yang berimbas menyusutnya ruang bagi pertumbuhan energi terbarukan, terutama bagi pembangkit skala kecil seperti PLTS atap.

Hingga akhir 2023, 86,9% dari bauran energi Indonesia yang kelebihan beban ini berasal dari bahan bakar fosil seperti batubara. Terutama di bawah tekanan transisi energi, pemensiunan PLTU lama dan penghentian pembangunan PLTU baru seharusnya menjadi solusi yang didorong pemerintah. Bukan malah membatasi PLTS atap.

Namun oversupply lagi-lagi dibebankan kepada warga yang digiring untuk lebih konsumtif listrik. Sementara upaya warga untuk berdaya dan berdaulat dengan memproduksi energi sendiri, termasuk lewat PLTS atap, malah dibatasi.

Inkonsistensi ini menunjukkan masih lemahnya komitmen pemerintah untuk mendukung transisi energi yang adil dan demokratis.

 

Beyrra Triasdian dan Maulida Rahma
Manajer Program Energi Terbarukan Trend Asia dan Mahasiswa Magister Sustainable Energy Engineering di KTH Royal Institut of Technology, Swedia

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.