Menjaga Stabilitas Rupiah dan Portofolio di Tengah Volatilitas Pasar Keuangan
Pepatah “setelah badai datang pelangi” tampaknya cukup menggambarkan bagaimana volatilitas yang terjadi di pasar keuangan global selama dua pekan terakhir. Kondisi ekstrem ini paling terasa pada “Black Monday” pada 5 Agustus 2024, ketika kekhawatiran resesi meningkat tajam akibat lonjakan nilai Sahm Rule Index setelah tingkat pengangguran di AS naik 0,2% menjadi 4,3% pada akhir Juli 2024.
Kekhawatiran ini semakin diperburuk oleh ketegangan geopolitik yang meningkat di Timur Tengah dan bergesernya 250 rudal balistik Korea Utara ke perbatasan Korea Selatan. Akibatnya, indeks Nikkei 225 dan Topix Jepang turun tajam lebih dari 12%, sementara Kospi Korea Selatan anjlok 8,8% pada hari yang sama.
Di Eropa, indeks Stoxx 600 turun 2,2%, DJIA turun 2,6%, S&P 500 merosot 3,0%, dan Nasdaq Composite jatuh 3,4%. Pada hari yang sama, Indeks Volatilitas CBOE (VIX), yang dikenal sebagai “fear gauge” melonjak ke 65 sebelum ditutup pada angka 38, level tertinggi sejak Black Monday 9 Maret 2020.
Berbeda dengan periode Black Monday sebelumnya, pasar mengalami rebound tajam pada hari berikutnya, yang oleh beberapa jurnalis disebut sebagai “Turnaround Tuesday.” Pembalikan ini terutama didorong oleh rilis data ekonomi AS pada malam Senin, khususnya ISM Non-Manufacturing PMI untuk Juli yang kembali ke zona ekspansi. Hal ini menandakan bahwa sektor jasa AS mungkin akan terus tumbuh di atas level kontraksi.
Selain itu, Indeks Optimisme Ekonomi Real Clear Markets (TIPP) untuk Agustus menunjukkan kenaikan 0,7% secara bulanan (MtM). Angka ini merupakan level tertinggi dalam tujuh bulan terakhir, sehingga meredakan kekhawatiran akan kontraksi ekonomi akibat melemahnya daya beli konsumen di AS.
“Turnaround Tuesday” ditunjukan oleh Nikkei 225 Jepang melonjak 3.217 poin, atau setara dengan kenaikan 10% dalam satu hari perdagangan. Sementara DJIA naik 0,8% pada hari yang sama. Nasdaq dan S&P 500 di AS juga berbalik arah, masing-masing naik sekitar 1% di satu hari setelah terjadinya Black Monday di 5 Agustus 2024.
Tren serupa juga terlihat di pasar Indonesia. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang anjlok 3,4% pada Senin, 5 Agustus 2024, pulih dengan kenaikan 1,0% pada keesokan harinya. Tidak hanya pasar saham yang pulih, pasar obligasi pemerintah juga merasakan dampaknya. Imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia 10 tahun (SUN), berbalik dari turun tajam 3,9 basis points (bps), menjadi naik 0,8 bps.
Menariknya, perubahan sentimen yang tiba-tiba dan meningkatnya volatilitas ini juga mendorong ekspektasi penurunan Fed Rate. Hal ini terutama ditopang oleh rilis inflasi produsen (PPI) dan konsumen (CPI) Juli 2024 yang dirilis pada minggu ketiga 2024 yang menunjukkan tren pelemahan, bahkan di bawah ekspektasi pasar.
Oleh karena itu, meskipun Jerome Powell sebagai Gubernur The Fed kerap menyatakan bahwa keputusan Fed Rate selalu bersifat “data-dependent”, tetapi pasar sudah mengantisipasi kemungkinan penurunan Fed Rate minimal 25 bps pada FOMC 18 September mendatang.
Di sisi lain, ekspektasi penurunan Fed Rate turut mendorong indeks USD (DXY) turut mengalami penurunan. Bahkan sejak awal Agustus hingga 15 Agustus 2024, indeks ini mengalami penurunan 1,89% month-to-date (mtd).
Pada saat yang sama, acuan pasar spot rupiah yakni JISDOR, mengalami apresiasi lebih kuat sebesar 3,70% mtd di periode yang sama. Namun, perlu dicatat bahwa dalam lelang Domestic Non Delivery Forward (DNDF) yang kadang dijadikan acuan rupiah berjangka, baik dalam rollover maupun lelang, tidak ada penawaran yang masuk dalam satu minggu terakhir atau sejak 13 Agustus 2024.
Untuk itu, meskipun apresiasi rupiah turut ditopang oleh peningkatan cadangan devisa Indonesia sebesar US$5,2 miliar di sepanjang Juli 2024, namun rilis surplus pada bulan yang sama hanya mencapai US$0,46 miliar yang merupakan nilai terendah sejak Mei 2023. Kondisi ini dikhawatirkan akan kembali mendorong pelaku pasar, terutama investor nilai tukar, beranggapan bahwa apresiasi rupiah dalam dua pekan terakhir terlihat agak tergesa-gesa.
Di sisi lain, Kementerian Keuangan tampaknya akan lebih cenderung menerbitkan SBN dalam denominasi rupiah di waktu mendatang guna mengurangi risiko nilai tukar di masa depan. Langkah ini sekaligus memanfaatkan momentum penurunan suku bunga.
Karenanya, harapan penerbitan global bond yang terkadang dijadikan sebagai salah satu bentuk operasi moneter untuk menarik capital inflow asing kemungkinan akan lebih jarang dilakukan. Artinya, peningkatan likuiditas domestik, baik dari sisi capital inflow maupun surplus perdagangan, harus semakin diperhatikan. Mengingat defisit fiskal Indonesia hingga akhir Juli 2024 meningkat menjadi 0,41% dari PDB, dan diperkirakan akan mendekati target defisit fiskal 2,7% pada akhir tahun 2024.
Hal ini seiring dengan kebutuhan pemerintahan baru dan meningkatnya kemungkinan terjadinya back-loading terhadap pembiayaan APBN atau dalam bentuk penerbitan SBN di akhir 2024 mendatang. Kondisi ini mengingat net-issuance SBN hingga 31 Juli 2024 baru mencapai 41,5% dari target di APBN 2024.
Karenanya dalam menghadapi pergerakan pasar yang sangat dinamis ini, pelaku pasar diimbau untuk tetap waspada dan sensitif terhadap data ekonomi, geopolitik, dan faktor terkait yang berkembang di tingkat global, regional, dan domestik.
Namun, pada saat yang sama, pelaku pasar harus menghindari bias perilaku yang umum terlihat di pasar keuangan, seperti herd behavior (ikut-ikutan), fear of missing out (FOMO), atau experiential bias (ketakutan akan terulangnya peristiwa masa lalu). Hal ini dapat dicapai melalui literasi keuangan yang lebih baik, akses informasi yang lebih luas, dan analisis risiko-imbalan yang disiplin.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.