Bahodopi dan Lelilef: dari Desa ke Kota Baru Indonesia

Katadata/ Bintan Insani
Penulis: Ridaya Laodengkowe
12/9/2025, 07.05 WIB

Tulisan opini saudara Robie Kholilurrahman di Katadata (10 September 2025) berjudul “Morowali, Enclave Hijau?” memberi cermin berharga bagi kita. Ia mengurai dinamika Bahodopi, Morowali, Sulawesi Tengah, yang berubah seketika menjadi magnet urbanisasi akibat hadirnya kawasan industri berbasis nikel.

Apa yang beliau tuliskan sesungguhnya juga sedang, bahkan lebih besar lagi, terjadi di Halmahera Tengah, Maluku Utara. Bedanya hanya soal nama dan skala. Tinggal ganti “Bahodopi” dengan “Lelilef”, “Bungku” dengan “Weda”, dan “IMIP” dengan “IWIP”. Jenis masalahnya persis sama: ketertinggalan infrastruktur dasar untuk menopang limpahan manusia yang datang dalam jumlah masif.

Urbanisasi Masif dengan Infrastruktur Desa

Mari kita lihat datanya.

Kecamatan Bahodopi di Morowali berpenduduk hanya sekitar 49.777 jiwa (BPS Morowali 2023). Namun menurut data Pemkab Morowali, jumlah pekerja di kawasan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) sudah lebih dari 80.000 orang, belum termasuk keluarga, pedagang, dan penyedia jasa. Artinya, sebuah kecamatan yang awalnya desa nelayan dan perkebunan kini menanggung beban populasi lebih dari dua kali lipat kapasitas aslinya.

Kondisi lebih mencolok terjadi di Lelilef, Kecamatan Weda Tengah, Halmahera Tengah. Data BPS Halmahera Tengah 2023 mencatat jumlah penduduk asli Weda Tengah hanya sekitar 16.000 jiwa. Namun laporan PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) menyebutkan pekerja di kawasan tersebut sudah mencapai lebih dari 100.000 orang per 2024, sebagian besar tinggal di desa-desa sekitar, termasuk Lelilef.

Bayangkan, satu desa yang semula berpenduduk ribuan, mendadak harus melayani ratusan ribu orang.

Fenomena ini sejatinya adalah urbanisasi masif. Namun yang terjadi bukan urbanisasi dengan daya dukung kota, melainkan urbanisasi dengan daya dukung infrastruktur desa: jalan terbatas, air bersih minim, perumahan tidak layak, drainase dan sanitasi substandard, layanan kesehatan terbatas, sekolah tidak cukup, sampah menumpuk, dan sanitasi darurat.

Kondisi ini jelas bukan sekadar tanggung jawab pemerintah kabupaten. Dengan kemampuan fiskal terbatas, mustahil mereka mampu membangun infrastruktur setara kota besar. APBD Kabupaten Morowali tahun 2025 tercatat hanya sekitar Rp 1,68 triliun (BPKAD Sulteng, 2025), sementara APBD Kabupaten Halmahera Tengah 2025 sekitar Rp 1,23 triliun (BPKAD Malut, 2025).

Bahkan di level provinsi, kapasitas fiskalnya masih relatif kecil dibanding skala persoalan. APBD Provinsi Sulawesi Tengah 2025 sebesar Rp 6,42 triliun, sedangkan APBD Provinsi Maluku Utara hanya Rp 3,72 triliun. Jika dibandingkan dengan beban populasi baru ratusan ribu jiwa plus kebutuhan infrastruktur perkotaan skala besar, angka-angka tersebut jauh dari memadai.

Tanpa intervensi serius dari pemerintah pusat, kita berisiko menciptakan “enclave kumuh” baru di balik kilauan industri nikel.

 

Momentum Mewujudkan Pusat Pertumbuhan Baru

Bulan Juli lalu, dalam Rakornas Informasi Geospasial, Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan  Agus Harimurti Yudhoyono menyampaikan pidato penting: “Pemerintah mendorong tumbuhnya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru.”

Sesungguhnya, kita tidak perlu lagi mencari jauh-jauh di peta. Dua desa raksasa itu—Bahodopi di Morowali dan Lelilef di Halmahera Tengah—sudah nyata menjadi pusat pertumbuhan baru. Populasi sudah terkonsentrasi, kegiatan ekonomi tumbuh pesat, pasar tenaga kerja terbentuk, dan ekosistem jasa pendukung mulai menggeliat.

Dengan sedikit keberanian kebijakan, Bahodopi dan Lelilef bisa segera take off menjadi kota-kota mandiri. Yang diperlukan bukan hanya regulasi, melainkan belanja fiskal negara untuk mempercepat penyediaan infrastruktur dasar perkotaan: jalan raya, perumahan layak, air bersih, drainase, sanitasi, sekolah, rumah sakit, ruang publik, serta pengelolaan sampah dan lingkungan.

Mengapa Penting Bertindak Cepat?

Pertama, Daya Dorong Ekonomi Nasional. Nilai ekspor produk hilirisasi nikel dari IMIP dan IWIP sudah mencapai lebih dari USD 33 miliar (2023, Kementerian Perindustrian). Tanpa kota yang sehat dan tertata, produktivitas kawasan industri yang menopang perekonomian nasional ini bisa terganggu.

Kedua, Ketahanan Sosial. Urbanisasi tanpa infrastruktur memicu ketegangan sosial: kenaikan harga tanah, konflik dengan warga lokal, kriminalitas, hingga tekanan terhadap layanan publik.

Ketiga, Keberlanjutan Ekologi. Ledakan populasi tanpa tata kelola lingkungan berisiko menciptakan pencemaran air, sampah menumpuk, banjir, serta degradasi ekosistem laut dan darat. Biaya pemulihannya kelak akan jauh lebih mahal.

Arah Kebijakan yang Dibutuhkan

Agar Bahodopi dan Lelilef tidak sekadar menjadi “enclave industry”, ada beberapa langkah kebijakan yang bisa segera diambil:

Pertama, intervensi fiskal pusat berupa Dana Alokasi Khusus (DAK) tematik untuk infrastruktur perkotaan di kawasan industri strategis.

Kedua, perencanaan tata kota terpadu dengan menyusun masterplan pengembangan kota baru, melibatkan Pemda, perusahaan industri, dan masyarakat.

Ketiga, skema Public-Private Partnership (PPP) yang mendorong IMIP dan IWIP ikut berinvestasi pada infrastruktur publik, bukan hanya fasilitas internal kawasan.

Keempat, penguatan layanan dasar—pendidikan, kesehatan, air bersih, perumahan layak, ruang publik—agar kualitas hidup warga meningkat.

Kelima, penataan lingkungan hidup dengan menerapkan prinsip kota hijau: pengelolaan sampah, ruang terbuka hijau, drainase, dan energi terbarukan.

Menatap ke Depan

Indonesia sedang membangun Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur sebagai simbol peradaban baru. Namun di timur Indonesia, dua desa bernama Bahodopi dan Lelilef diam-diam sudah berevolusi menjadi embrio kota baru. Jika diberi dukungan kebijakan yang tepat, keduanya bisa menjadi model transformasi desa-industri menjadi kota modern, sehat, dan berkelanjutan.

Daripada membiarkan urbanisasi tak terkendali, lebih baik kita arahkan menjadi pembangunan perkotaan yang terencana. Dengan begitu, Morowali dan Halmahera Tengah bukan hanya penyumbang devisa lewat nikel, tetapi juga teladan bagi bagaimana Indonesia mengelola bonus urbanisasi secara bijak.

Pertumbuhan Bahodopi dan Lelilef bukan sekadar peringatan, melainkan ajakan optimistis. Mari kita lihat kedua desa besar ini bukan sebagai “beban infrastruktur”, melainkan sebagai peluang emas untuk melahirkan kota-kota baru Indonesia.

Yang diperlukan hanyalah keberanian kebijakan: fiskal, tata ruang, dan kemitraan multi-pihak. Jika itu dilakukan, maka dalam waktu tidak lama kita akan menyaksikan dua desa raksasa ini bertransformasi menjadi kota mandiri—sehat secara lingkungan, tangguh secara sosial, dan berdaya saing secara ekonomi.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Ridaya Laodengkowe
Penasihat Senior Article 33 untuk Tata Kelola Industri Ekstraktif yang Berkelanjutan

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.