Transfer Berbasis Ekologis untuk Reformasi Pendanaan Hijau

Katadata/ Bintan Insani
Penulis: Rabin Ibnu Zainal
5/11/2025, 06.05 WIB

Krisis iklim mendesakkan urgensi tak terhindarkan untuk memacu upaya perlindungan hutan, kawasan gambut, dan mangrove. Namun, daerah yang memiliki kawasan ekologis strategis ini sering kali menghadapi keterbatasan pendanaan untuk membiayai pekerjaan pelestarian. 

Menjelang Konferensi Perubahan Iklim Dunia (COP 30) di Brasil pada 10 November mendatang, kebutuhan pendanaan iklim di tingkat tapak menjadi semakin nyata, terutama untuk mendukung komitmen Indonesia dalam mencapai target penurunan emisi (Nationally Determined Contribution atau NDC). 

Sayangnya, upaya pendanaan ini masih menghadapi tantangan berupa minimnya inovasi dalam kebijakan fiskal sektor lingkungan di tingkat nasional, sehingga mendorong kebutuhan mendesak untuk adanya instrumen pendanaan yang lebih cerdas dan berpihak pada lingkungan.

Untuk menutup kekurangan pendanaan tersebut, inisiatif Ecological Fiscal Transfer (EFT) telah diimplementasikan di berbagai daerah di Indonesia. EFT adalah inisiatif kebijakan hijau di tingkat daerah yang bertujuan memenuhi komitmen penurunan emisi. 

Konsep ini diadopsi dari praktik baik yang diterapkan di Brasil dan Portugal dengan menyuntikkan dimensi ekologis ke dalam transfer fiskal kepada daerah di bawahnya yang memiliki kawasan ekologi strategis.

Di Indonesia, skema EFT bermula dari inisiatif KMS-PE pada tahun 2018 dan kini telah bertransformasi dari rintisan menjadi praktik nyata. EFT di Indonesia adalah mekanisme transfer dana dari pemerintah yang lebih tinggi ke pemerintah di bawahnya sebagai insentif berdasarkan penilaian keberhasilan perlindungan lingkungan.  

Dalam praktiknya, EFT dikembangkan menjadi TAPE (Transfer Anggaran Provinsi Berbasis Ekologi), TAKE (Transfer Anggaran Kabupaten Berbasis Ekologi), ALAKE (Alokasi Anggaran Kelurahan Berbasis Ekologi), serta TANE (Transfer Anggaran Nasional Berbasis Ekologis), yang saat ini masih belum memiliki formula mengikat di level pusat.

Sejak kepeloporan Provinsi Kalimantan Utara pada 2018 , kini telah terdapat 48 pemerintah daerah di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota yang mengadopsi EFT, dengan total dana yang dimanfaatkan mencapai Rp529 miliar.

Provinsi Aceh menerapkan TAPE melalui Peraturan Gubernur Nomor 56 Tahun 2022, menjalankan mekanisme penyaluran bantuan keuangan yang didasarkan pada kinerja lingkungan kabupaten/kota. Pada 2024, Aceh mengalokasikan Rp5 miliar kepada 16 kabupaten/kota. Anggaran ini diperuntukkan untuk insentif kepada daerah yang berkinerja baik dalam pengelolaan wilayah pesisir, kualitas lingkungan, ruang terbuka hijau, dan pencegahan Karhutla.

Kabupaten Siak di Riau menjadi kabupaten pelopor dalam pengadopsian EFT. Implementasinya bermula dari penerbitan Peraturan Bupati Nomor 22 Tahun 2018 tentang Inisiatif Siak Hijau, sebagai respons terhadap analisis pemicu kebakaran hutan dan lahan. Regulasi ini memuat pengaturan zonasi tata ruang yang jelas untuk kawasan konservasi. Pemerintah Siak telah mengalokasikan anggaran Rp31,05 miliar hingga tahun ini. 

Selain itu, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, mengimplementasikan Transfer Anggaran Kabupaten Berbasis Ekologis (TAKE Bulungan Hijau). TAKE Bulungan telah dilaksanakan sejak 2022 dan menyalurkan insentif anggaran ke desa/kelurahan sekitar Rp9 Miliar kepada desa-desa yang memiliki kinerja dalam perlindungan lingkungan seperti Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA), Pengelolaan Tata Lingkungan dan Biota (PTLB), serta Pengelolaan Persampahan, yang menjadikannya contoh konkret reformasi fiskal yang berbasis kinerja di tingkat lokal.

Inovasi EFT telah menghasilkan dampak nyata, seperti peningkatan anggaran lingkungan, di mana daerah yang telah menerapkan EFT telah mengalokasikan pendanaan lingkungan yang signifikan. Selain itu, terjadi perubahan perilaku dan akuntabilitas Pemerintah Daerah dan komunitas lokal untuk serius mengukur dan melaporkan kinerja ekologis agar mendapatkan pendanaan dari insentif hijau ini. Selain itu, terlihat Kinerja Konservasi yang Terukur.  Implementasi EFT dapat secara efektif mendorong konservasi lingkungan hidup seperti kualitas udara, kualitas air, dan persentase tutupan hutan. Dan pada akhirnya, daerah dan masyarakat yang konsisten untuk tetap menjaga ekologi mendapatkan apresiasi dan pengakuan.

Dengan inovasi yang telah dilaksanakan di beberapa daerah, EFT kini telah menjadi bagian dari wacana reformasi transfer fiskal yang lebih luas. Namun, baru sekitar 8,9% daerah di Indonesia yang menjadikannya bagian dari alokasi anggaran. Sementara itu, potensi dana ekologis di Indonesia, menurut Indonesia Development Insight, diperkirakan mencapai Rp10,2 triliun per tahun.

Gagasan untuk menjadikan Ecological Fiscal Transfers (EFT) sebagai kebijakan mandatori sangat relevan untuk mendukung efisiensi anggaran dan komitmen Nationally Determined Contribution (NDC). Terdapat momentum nasional untuk mendorong ini, yang bahkan telah mulai terintegrasi dalam regulasi pusat seperti Peraturan Presiden (Perpres) tentang RPJMN 2025-2029 dan Permendagri tentang Pedoman Penyusunan APBD 2025.

Integrasi EFT ini juga dapat menjadi solusi di tengah kebijakan efisiensi anggaran karena mentransformasi dana transfer umum agar dialokasikan berdasarkan kriteria kinerja ekologis, untuk memastikan dana publik berdampak pada pembangunan dan pelestarian lingkungan. 

Dorongan ini harus diperkuat dengan memperbesar Alokasi Insentif Fiskal dalam Transfer Keuangan Daerah dan mengintegrasikan kinerja ekologis daerah seperti Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) dan/atau indikator kinerja ekologis lainnya (seperti tutupan hutan, kualitas air/udara, penanganan sampah, dan pengurangan risiko bencana) ke dalam perhitungan. Pendekatan ini memastikan transfer fiskal berfungsi sebagai alat untuk mencapai target nasional seperti Net Zero Emission, sekaligus mendorong akuntabilitas ekologis di tingkat daerah.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Rabin Ibnu Zainal
Direktur Pilar Nusantara

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.