Transisi Energi Berkeadilan: Janji JETP vs Realitas Lapangan

Katadata/ Bintan Insani
Penulis: Muhammad Abqori Gunawan
23/12/2025, 07.05 WIB

Belém di Brasil kini kembali ke ritme kesehariannya. Kota yang sebulan lalu dipenuhi delegasi, negosiator, dan pakar dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-30 (COP30) telah meninggalkan hiruk-pikuk pertemuan global tersebut. Di tengah lambannya kemajuan dan berlarutnya perbedaan pandangan antarnegara, Indonesia menjadi sorotan usai menerima predikat “Fossil of the Day”, sebuah sindiran atas ketertinggalan komitmen dalam agenda iklim global.

Transisi energi di Indonesia sejak awal memang tidak sederhana. Meski negeri ini kaya potensi energi terbarukan, perekonomian nasional masih sangat bergantung pada batu bara, baik dari sisi lapangan kerja, kepentingan ekonomi, maupun pengaruh politik. Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (Just Energy Transition Partnership atau JETP), yang diluncurkan pada 2022 dengan antusiasme tinggi, dipandang sebagai penopang kemajuan transisi energi nasional. Namun, hingga kini JETP masih menghadapi tantangan serius dalam menegakkan aspek keadilan. Padahal, keadilan bukan sekadar kata, melainkan roh utama kemitraan ini, yang kini berisiko terpinggirkan dalam praktik implementasinya.

Titik Buta dalam Transisi Energi

Pengembangan energi terbarukan memang krusial, tetapi transisi energi memiliki titik buta mendasar. Transisi bukan sekadar mengganti batu bara dengan sumber energi yang lebih bersih, melainkan juga menyangkut manusia, wilayah, dan keberlanjutan mata pencaharian. Daerah penghasil batu bara selama ini sangat bergantung pada royalti untuk membiayai sekolah, fasilitas kesehatan, dan layanan publik dasar. Di Kalimantan Timur, misalnya, sekitar 62% pendapatan pemerintah provinsi masih bersumber dari sektor batu bara. Ribuan pekerja menggantungkan hidup pada rantai nilai batu bara, sementara masyarakat yang tinggal di sekitar tambang dan pembangkit listrik selama puluhan tahun menyerap manfaat ekonomi dari aktivitas tersebut.

Transisi yang berkeadilan seharusnya melindungi kelompok-kelompok ini. Namun, dalam praktik saat ini, prinsip keadilan belum benar-benar diimplementasikan untuk memastikan pekerja yang terdampak memiliki jaring pengaman yang kuat dan peningkatan kapasitas agar tetap relevan dalam mendukung program transisi energi. Meski tercantum dalam berbagai dokumen, konsep keadilan belum secara nyata membentuk arah kebijakan yang memiliki daya dorong yang efektif untuk memastikan prinsip keadilan bisa berjalan. Hal ini disebabkan karena Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP), yang memuat kerangka keadilan dalam implementasi JETP, belum dilembagakan sebagai sebuah kebijakan yang mengikat.

Tantangan ini diperumit oleh pandangan sejumlah penyandang dana utama dalam kelompok kerja JETP yang tidak menganggap biaya yang timbul akibat pekerja batu bara yang terdampak sebagai bagian dari tanggung jawab program. Padahal, rantai pasok batu bara sangat panjang, mencakup pertambangan, pencampuran, penimbunan, pengadaan, logistik, hingga distribusi ke pembangkit listrik atau pasar ekspor. Walaupun pengembangan energi terbarukan berpotensi menciptakan lapangan kerja baru, banyak di antaranya tidak sesuai dengan keterampilan pekerja batu bara yang terdampak, sehingga proses peralihan menjadi semakin sulit direalisasikan.

Tanpa perencanaan yang matang, distribusi beban dan manfaat transisi energi berisiko menjadi timpang. Wilayah penghasil batu bara dapat mengalami penurunan pendapatan, para pekerja kesulitan membangun kembali mata pencaharian, dan masyarakat sekitar menghadapi tekanan sosial.

Tantangan Kelembagaan dan Sinkronisasi Target

Transisi berkeadilan juga menuntut institusi yang kuat dan stabil untuk mampu merencanakan kebijakan jangka panjang serta mengoordinasikan lintas sektor. Namun, struktur tata kelola JETP di Indonesia masih menjadi tantangan. Sekretariat JETP belum memiliki dasar hukum yang kuat karena hanya dibentuk melalui Surat Keputusan Menteri Koordinator. Basis hukum ini jauh lebih lemah dibandingkan Peraturan Presiden atau Keputusan Presiden, sehingga kewenangannya terbatas.

Kondisi tersebut membuat Sekretariat JETP tidak memiliki kekuatan untuk memastikan Kementerian atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengikuti jalur transisi yang disepakati, maupun menjamin keselarasan antara rencana nasional dan komitmen internasional. Pada praktiknya, keputusan Sekretariat sangat bergantung pada dinamika internal pemerintah Indonesia dan International Partners Group.

Masalah lain yang tak kalah krusial adalah target yang tidak tertanam dalam kebijakan nasional. JETP menargetkan bauran energi terbarukan sebesar 34% pada 2030. Namun, target ini tidak tercermin dalam dokumen kebijakan yang mengikat seperti Kebijakan Energi Nasional (KEN), Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), maupun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). PLN sebagai aktor utama sektor ketenagalistrikan tetap berpegang pada Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), yang belum sepenuhnya mencerminkan ambisi JETP. Akibatnya, Indonesia seolah menjalankan dua jalur transisi secara paralel: tampak progresif di tingkat internasional, namun  cenderung mencari aman di tingkat domestik.

Mengubah JETP Menjadi Aksi Nyata

Transisi energi bukan lagi pilihan bagi Indonesia. Ketergantungan berkelanjutan pada bahan bakar fosil diperkirakan dapat menyebabkan sekitar 156 ribu kematian dini dan kerugian ekonomi hingga USD 109 miliar akibat polusi udara dari 2026 hingga pembangkit terakhir berhenti beroperasi pada 2050. Peralihan menuju energi bersih menjadi keniscayaan. Namun, mengabaikan aspek keadilan justru berpotensi memicu resistensi, memperlebar ketimpangan, dan melemahkan kepercayaan publik.

Paket pendanaan JETP senilai US$19,6 miliar menghadirkan peluang penting di tengah meningkatnya kebutuhan pembiayaan transisi energi Indonesia. Agar benar-benar transformatif, tata kelola dan pembiayaan JETP harus lebih koheren. Sekretariat dan kerangka keadilan perlu diperkuat secara hukum, sementara target JETP harus terintegrasi penuh ke dalam kebijakan nasional yang mengikat. Pembiayaan juga tidak boleh hanya terfokus pada proyek pembangkit skala besar, tetapi perlu menjangkau inisiatif energi terbarukan berbasis komunitas agar manfaat ekonomi dapat dirasakan lebih awal oleh wilayah penghasil batu bara dan daerah dengan akses energi terbatas.

Pada saat yang sama, dimensi manusia tidak boleh terpinggirkan. Pekerja dan masyarakat lokal membutuhkan program peningkatan keterampilan dan penguatan kapasitas agar mampu beralih ke lapangan kerja hijau yang mulai tumbuh. Wilayah yang selama ini bergantung pada batu bara memerlukan strategi diversifikasi ekonomi yang terstruktur, disertai perlindungan sosial yang memadai. Hal ini menuntut koordinasi yang lebih erat antara pemerintah dan tim JETP untuk menyempurnakan rencana transisi serta memastikan sumber daya dialokasikan secara tepat di tingkat tapak. Di sisi lain, setiap proyek energi terbarukan juga harus menerapkan standar perlindungan sosial dan lingkungan yang ketat agar transisi energi tidak sekadar mengganti sumber energi, tetapi juga menghindari reproduksi ketimpangan lama.

Pada akhirnya, pasca-COP30, pertanyaan tentang keadilan dalam transisi energi Indonesia masih terbuka. Keputusan yang diambil hari ini akan menentukan apakah JETP mampu menjadi instrumen perubahan yang adil, atau justru menambah jurang ketimpangan. Satu hal yang jelas, keadilan tidak bisa ditempatkan di akhir proses; ia harus menjadi fondasi sejak langkah pertama.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Muhammad Abqori Gunawan
Konsultan Public Affairs di Kiroyan Partners

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.