Menangkap Momentum Pasar Karbon Global untuk Indonesia Emas 2045

Katadata/ Bintan Insani
Penulis: Prama Wiratama
26/12/2025, 06.05 WIB

Selama seperempat abad terakhir, perekonomian Indonesia terjebak dalam pertumbuhan sekitar 5%—level yang tidak cukup untuk melompat dari status middle-income country. Ketergantungan pada sektor bernilai tambah rendah dan produktivitas yang terbatas menjadi akar masalah. 

Untuk mencapai Indonesia Emas 2045, dibutuhkan akselerasi pertumbuhan menuju 6-8% dalam lima tahun mendatang, sekaligus menghindari risiko “transisi setengah jalan” dengan inisiatif yang terfragmentasi tanpa koordinasi nasional. Dalam konteks ini, carbon finance bukan sebagai alternatif, melainkan sebagai instrumen strategis yang mampu mengakselerasi transisi hijau sekaligus menjadi mesin pertumbuhan baru.

Akselerasi Pertumbuhan Inklusif dan Berkelanjutan

Pada hakikatnya, carbon finance adalah terobosan paradigma ekonomi yang mengubah konservasi lingkungan dan pengurangan emisi menjadi aset keuangan yang likuid. Mekanisme ini memberikan nilai moneter pada setiap ton karbon dioksida yang berhasil dicegah atau diserap dari atmosfer, kemudian mengemasnya menjadi kredit karbon—komoditas baru yang permintaannya terus meningkat di pasar global.

Aktivitas yang sebelumnya dipandang sebagai beban biaya atau kewajiban moral—seperti restorasi hutan, rehabilitasi lahan gambut, atau transisi energi terbarukan—kini bertransformasi menjadi sumber pendapatan yang viable. Sektor swasta, dari korporasi multinasional hingga UMKM, dapat mengakses pendanaan ini melalui pengembangan proyek-proyek terverifikasi. Dengan demikian, carbon finance berfungsi sebagai insentif finansial langsung yang mendorong inovasi hijau dan investasi berkelanjutan dalam skala yang sebelumnya sulit tercapai.

Revolusi Kualitas di Pasar Karbon Global

Tren global menunjukkan pergeseran fundamental dalam pasar karbon: integritas kini menjadi penggerak nilai utama. Data terkini dari Sylvera mengungkapkan bahwa harga kredit karbon berkualitas tinggi mencapai rekor pada kuartal ketiga 2025, dengan kredit untuk afforestation, reforestation, dan revegetation (ARR) mencapai US$24 per ton—melonjak dari rata-rata US$14 di awal tahun.

Fenomena ini mencerminkan perubahan pola pikir pembeli korporat. Perusahaan-perusahaan global tidak lagi membeli kredit karbon sekadar untuk memenuhi komitmen semata. Mereka kini secara selektif mencari proyek-proyek yang membuktikan dampak nyata dan hasil terukur. Sebanyak 57% kredit karbon yang “diretire” pada paruh pertama 2025 memiliki peringkat BB atau lebih tinggi, meningkat dari 52% pada 2024. Ini menunjukkan pergerakan jelas menuju kredit berkualitas tinggi yang dapat dipertahankan secara publik untuk mendukung tujuan net-zero.

Sementara permintaan meningkat—dengan retirement kredit mencapai 128,15 juta secara year-to-date, salah satu total tertinggi yang pernah tercatat—pasokan justru melambat. Issuance kredit turun menjadi 63,2 juta pada kuartal III, dari 76,9 juta pada kuartal II. Kondisi pasar yang ketat ini, di mana permintaan melampaui pasokan baru, menciptakan lingkungan yang ideal bagi pemain dengan kredit berkualitas tinggi untuk memperoleh premi harga yang signifikan.

Pasar global semakin membedakan antara kredit karbon avoidance (penghindaran emisi) dan removal (penghilangan karbon). Kredit removal seperti penangkapan udara langsung (direct air capture) yang dilakukan Climeworks di Islandia, dapat diperdagangkan pada kisaran US$170-500 per ton karena permanensinya. Sementara kredit nature-based seperti konservasi hutan umumnya berada di kisaran US$7-24 per ton.

Pembagian ini penting bagi strategi Indonesia. Dengan potensi karbon biru, restorasi lahan gambut, dan rehabilitasi hutan, Indonesia dapat mengembangkan portofolio kredit karbon yang beragam—mulai dari kredit nature-based dengan ko-manfaat biodiversitas hingga proyek-proyek removal yang lebih bernilai tinggi. Pasar sukarela global, yang diperkirakan tumbuh dari US$4,04 miliar pada 2024 menjadi US$50-100 miliar pada 2030, memberikan ruang yang cukup bagi Indonesia untuk memposisikan diri sebagai pemain kunci.

Menciptakan Ekosistem Ekonomi Karbon

Lanskap kebijakan iklim global sedang mengalami konsolidasi signifikan. Di satu sisi, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Persetujuan Paris telah membangun kerangka aturan utama, termasuk persetujuan metodologi pertama di bawah Pasal 6.4 (Paris Agreement Crediting Mechanism). Sistem ini dirancang untuk menciptakan standar global yang kredibel dengan mengatasi kelemahan pasar karbon sebelumnya melalui pencegahan double-counting dan peningkatan transparansi.

Di sisi lain, Uni Eropa meluncurkan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang berfungsi sebagai instrumen kebijakan perdagangan untuk menyetarakan kondisi persaingan antara produsen domestik dan importir. Analisis terbaru menunjukkan bahwa meskipun dampak finansial langsung CBAM terhadap mitra dagang relatif terbatas, efek strategisnya justru lebih menonjol. Mekanisme ini mendorong negara-negara pengekspor untuk mengadopsi atau memperkuat sistem harga karbon domestik.

Konvergensi kedua kekuatan global ini menciptakan suatu ekosistem dimana karbon memiliki nilai ekonomi yang terinternalisasi dalam sistem perdagangan dan produksi. Bagi Indonesia, situasi ini bukan sekadar tekanan eksternal, melainkan suatu window of opportunity untuk melakukan restrukturisasi ekonomi secara fundamental.

Infrastruktur Regulasi Domestik

Potensi Indonesia di bidang carbon finance sangat besar, mencakup hutan tropis, lahan gambut, hingga karbon biru di wilayah pesisir—dengan potensi pasokan kredit karbon mencapai 577 juta ton CO2e. Namun, potensi ini selama ini terbentur pada kurangnya infrastruktur regulasi yang dapat memfasilitasi pengakuan dan perdagangan di tingkat global.

Peraturan Presiden Nomor 110 Tahun 2025 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK) hadir sebagai respons transformatif terhadap kesenjangan ini, dengan menghasilkan tiga perubahan fundamental. 

Pertama, perpres ini menyelaraskan kebijakan karbon dengan pondasi aktivitas ekonomi melalui penempatan pertumbuhan hijau di pusat perencanaan karbon Indonesia. Kerangka ini menetapkan komponen inti seperti Alokasi Karbon, Batas Atas Emisi, dan Kuota Emisi, sehingga menciptakan landasan bagi pasar karbon yang transparan dan accountable.

Kedua, regulasi ini menyederhanakan proses bisnis untuk mekanisme offset dengan mengakui standar dan metodologi internasional yang kredibel. Pengakuan langsung terhadap unit karbon yang disertifikasi oleh Independent Crediting Program (ICP) internasional—sebagai alternatif di samping Sertifikasi Nasional (disebut juga SPE-GRK)—memberikan fleksibilitas sekaligus menjamin integritas tinggi. Mekanisme ini memungkinkan perdagangan offset sepanjang tahun dengan proses berintegritas, dimana unit karbon hasil proyek mitigasi dapat dihitung untuk pencapaian NDC.

Ketiga, perpres ini membangun kerangka tata kelola yang tepat guna melalui desentralisasi implementasi NEK dengan pembagian peran yang jelas. Kementerian sektor memiliki kewenangan menyetujui proyek mitigasi dalam lingkup mereka, sementara Kementerian Lingkungan Hidup memegang kewenangan atas pencapaian NDC. Sistem Registri Unit Karbon (SRUK) dibentuk untuk memastikan transaksi bersifat transparan, dapat ditelusuri, dan interoperable dengan sistem registri internasional.

Infrastruktur Regulasi Domestik

Dengan infrastruktur yang kokoh ini, Indonesia tidak hanya mampu memposisikan diri sebagai pemain andal di pasar karbon global—dengan potensi menarik investasi senilai US$5,8 miliar—tetapi juga membangun dasar bagi industrialisasi hijau yang kompetitif. Integrasi registri dan pengakuan standar internasional memfasilitasi akses pasar yang lebih luas, sementara kewenangan sektoral yang jelas memastikan implementasi yang efektif di tingkat operasional.

Transisi menuju ekonomi hijau memerlukan koordinasi kebijakan yang komprehensif. Instrumen fiskal, regulasi sektor keuangan, dan kebijakan industri perlu terintegrasi untuk menciptakan sinergi yang mendorong transformasi struktural. Kebijakan mikroprudensial dan makroprudensial dari Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia telah mengarahkan aliran modal ke aktivitas ramah lingkungan. Langkah ini perlu diperkuat dengan insentif fiskal yang mendorong investasi hijau dan disinsentif bagi aktivitas ekonomi yang merusak lingkungan.

Carbon finance merepresentasikan lebih dari sekadar komitmen iklim—ini adalah strategi pembangunan yang cerdas untuk keluar dari middle-income trap. Dengan memanfaatkan arus pendanaan iklim global dan membangun infrastruktur pendukung yang tepat melalui Perpres 110/2025, Indonesia dapat mengakselerasi transisi menuju ekonomi hijau yang produktif, kompetitif, dan inklusif.

Seperti dikemukakan Allister Furey, CEO Sylvera: “The growing premium for high-quality credits demonstrates that integrity is now a key driver of value.” Pernyataan ini mencerminkan peluang emas Indonesia. Dengan potensi alam yang besar dan kerangka regulasi yang kini memenuhi standar integritas tertinggi, Indonesia tidak hanya dapat berpartisipasi dalam pasar karbon global, tetapi memimpin dalam era baru dimana kualitas mengalahkan kuantitas.

Tepatnya, carbon finance bukanlah tujuan akhir, melainkan instrumen untuk mencapai transformasi struktural ekonomi Indonesia menuju kemakmuran jangka panjang dan berkelanjutan—fondasi esensial Indonesia Emas 2045. Dalam ekonomi global yang semakin menghargai aksi iklim nyata, Indonesia memiliki semua kartu yang diperlukan untuk berubah dari pengekspor komoditas tradisional menjadi pemasok solusi iklim berkualitas tinggi.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Prama Wiratama
Analis Kebijakan Direktorat Kerja Sama Multilateral dan Keuangan Berkelanjutan, Kementerian Keuangan

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.