Permainan Harga yang Membuat Peternak Ayam Merugi

KATADATA | Ajeng Dinar Ulfiana
Penulis: Safrezi Fitra
2/7/2019, 12.36 WIB

Baru beberapa bulan lalu peternak ayam mengeluhkan harga pakan yang mahal. Sepanjang 2018, harga pakan ayam naik tiga kali lipat akibat pasokan jagung yang minim. Kini para peternak kembali mengeluh menderita kerugian akibat harga jual ayam yang rendah.

Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 96 Tahun 2018, harga acuan ayam hidup (live bird) sebenarnya telah dipatok sebesar Rp 18 ribu – 20 ribu per kilogram (kg). Namun, di Jawa Tengah dan Jawa Timur harga dari peternak sudah menyentuh Rp 8 ribu – 10 ribu per kg. Padahal, di tingkat konsumen harga rata-rata daging ayam mencapai Rp 35 ribu – 40 ribu per kg.

Peternak ayam merugi. Sekjen Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (Gopan) Sugeng Wahyudi memperkirakan kerugian peternak ayam akibat anjloknya harga ini mencapai Rp 700 miliar per bulan. Biaya yang dikeluarkan mencapai Rp 18 ribu per kg, tapi terpaksa harus menjual dengan harga yang jauh lebih rendah. Di Bogor jumlah peternak ayam sudah berkurang dari 150 peternak pada 2017, menjadi hanya 30 peternak saat ini. 

(Baca: Harga Ayam Jatuh, Peternak Kecil Gulung Tikar)

Para peternak pun melakukan protes terhadap anjloknya harga ayam ini. Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) membagikan puluhan ribu ayam gratis kepada masyarakat di sejumlah daerah di Jawa Tengah (Jateng)  yakni Semarang, Klaten, dan Solo, serta Daerah Istimewa Yogyakarta.

Ketua Pinsar Jateng, Pardjuni, mengatakan pembagian ayam gratis ini merupakan sedekah dari peternak sekaligus bentuk protes kepada pemerintah. Sebab saat ini harga jual di tingkat peternak sangat rendah. "Penyebabnya jumlah bibit ayam yang beredar terlalu banyak sehingga over supply, harga ayam anjlok. Daripada kami buang, lebih baik disedekahkan kepada masyarakat," katanya di sela-sela pembagian ayam di Kecamatan Jebres, Solo, Jawa Tengah.

Menurut analisa Pinsar, anjloknya harga merupakan akibat dari adanya kelebihan pasokan bibit ayam. Mengutip Republika.co.id, Ketua Umum Pinsar Singgih Januratmoko mengatakan saat ini pemerintah membuka keran impor yang melebihi kuota tahun-tahun sebelumnya. Seharusnya pemerintah tetap memberikan kuota, sehingga suplai bibit ayam tidak berlebih seperti sekarang.

(Baca: Harga Ayam Anjlok, Peternak Ditaksir Rugi Rp 700 Miliar per Bulan)

Anjloknya harga ayam ini sebenarnya sudah terjadi sejak tahun lalu. Pada Maret 2019, harga ayam di tingkat peternak sudah merosot hingga Rp 16 ribu per kg, dari harga normalnya Rp 20 ribu - Rp 22 ribu per kg. Para peternak pun melakukan unjuk rasa di depan Istana Presiden, Jakarta pada Selasa (5/3).

Saat itu Kementerian Pertanian mengatakan anjloknya harga terjadi akibat turunnya permintaan.“Tidak ada kelebihan pasokan Day Old Chicken (DOC). Ini terjadi semata-mata karena permintaan yang turun pada bulan ini," kata Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan, I Ketut Diarmita, Rabu (6/3).

Sama halnya dengan Ketua Gabungan Pengusaha Pembibitan Unggas (GPPU) Achmad Dawami, yang  menyatakan penurunan daya beli masyarakat memicu kejatuhan harga daging ayam. Usai Lebaran, konsumen dinilai mulai berhitung lagi akan kondisi keuangannya. "Setelah Lebaran banyak pembeli daging ayam, lalu masyarakat mulai berpikir untuk menata kembali keuangannya. Artinya daya beli menurun," kata dia kepada katadata.co.id, Kamis (20/6).

Kini Kementerian Pertanian mengubah pernyataannya, sama seperti analisa peternak. Pemerintah mulai berani menyatakan ada mafia yang mempermainkan harga ayam, yang mematikan usaha para peternak mandiri atau peternak rakyat.  (Baca: Kementan Sebut Harga Ayam Turun karena Kurangnya Permintaan)

Halaman: