Investasi industri teknologi finansial (fintech) pinjam-meminjam (lending) tumbuh cukup baik sepanjang tahun lalu. Industri ini masih menjadi primadona investor, meski kegiatan operasinya diusik oleh bisnis ilegal. Sejak Desember 2016, Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi telah memblokir 404 platform fintech lending ilegal.

Dalam Fintech Report 2018, DailySocial.id mencatat total pendanaan ke sektor fintech naik dari US$ 176,75 juta di 2017 menjadi US$ 182,3 juta di 2018. Sebanyak 57% diantaranya terkait sub sektor lending. "Prospek bisnis fintech lending itu menjanjikan," kata Ketua Harian Asosiasi Fintech (Aftech) Kuseryansyah kepada Katadata di Jakarta, Rabu (2/1).

Prospek bisnis fintech lending yang positif bisa dilihat dari besarnya kebutuhan pembiayaan di dalam negeri. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan kebutuhan pendanaan untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) mencapai Rp 1.700 triliun. Sementara, perbankan hanya mampu membiayai Rp 700 triliun.

(Baca: Fintech Pinjaman jadi Primadona Investor T2018)

(Dailysocial Annual Startup Report)

Optimisme itu terbukti dari besarnya investasi di sektor fintech lending. Dailysocial.id mencatat ada delapan fintech lending yang mendapat tambahan modal sejak Desember 2017. Pertama, DANAdidik mendapat pendanaan tahap awal (seed) senilai US$ 1 juta dari Plug and Play Indonesia pada Desember 2017.

Kedua, Modalku memeroleh pendanaan seri B senilai US$ 25 juta dari Softbank Ventures dan investor existing lainnya pada April 2018. Ketiga, Cicil mendapat pendanaan seri A senilai US$ 5 juta dari East Ventures dan lainnya pada Agustus 2018. Keempat, Koinworks dapat pendanaan seri A senilai US$ 15 juta dari Mandiri Capital Indonesia, Gunung Sewu, dan Convergence Ventures pada Agustus 2018.

Kelima, Akulaku yang mendapat pendanaan seri C senilai US$ 70 juta dari Fanpujinke Grup, BlueSky Venture Capital, dan Qiming Venture Capital pada Oktober 2018. Keenam, Awan Tunai mendapat pembiayaan seri A sebesar US$ 4,3 juta dari Global Brains dan Venox Venture Capital pada Oktober 2018.

(Baca: Serbuan Fintech Ilegal Mengepung Indonesia)

Ketujuh, Investree mendapat pendanaan Seri B dari SBI Holdings, Mandiri Capital Indonesia, Persada Capital, dan lainnya pada Juli 2018. Kedelapan, Kredivo yang memeroleh pendanaan seri B senilai US$ 30 juta dari Square Peg Capital, MEI Ventures, dan lainnya pada Juli 2018.

Hingga saat ini, sudah ada 78 fintech lending yang terdaftar di OJK. Mereka sudah menyalurkan pinjaman Rp 16 triliun kepada 2,8 juta peminjam sejak Desember 2016 hingga Oktober 2018. Pinjaman ini mendekati target OJK sebesar Rp 20 triliun hingga akhir 2018.

Direktur Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi menyatakan, fintech lending di Indonesia itu dibutuhkan oleh mereka yang tidak punya akun bank (unbanked) dan yang punya akun, tapi butuh dana cepat (underserve). "Tidak heran kalau tumbuhnya pesat," ujarnya, beberapa waktu lalu.

(OJK, diolah)

Bisnis fintech lending memang menarik. Selain potensi pasar yang besar, rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) sektor ini pun bisa dibilang rendah. NPL fintech lending secara bulanan sekitar 1% per November 2018. Besaran NPL itu masih lebih rendah ketimbang perbankan, sebesar 2,6% gross dan 1,2% nett per Oktober 2018.(Baca: Fintech Lending Sudah Salurkan Pinjaman Rp 16 Triliun per Oktober 2018)

Besarnya pasar fintech lending di Indonesia juga tak terbantahkan. Menurut Staf Khusus Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Lis Lestari Sutjiati, industri keuangan konvensional hanya bisa merengkuh 59% dari jumlah penduduk Indonesia. Padahal, pemerintah menargetkan inklusi keuangan 75% pada 2019. "Masih ada gap 16% atau 35 juta orang yang bisa digarap oleh fintech," kata dia.

Berdasarkan data OJK jumlah rekening pemimjam fintech pada Januari 2018 baru mencapai 330 ribu satuan akun. Jumlah tersebut melonjak hampir tujuh kali menjadi 2,3 juta satuan akun di akhir September. Rekening akun tersebut terdiri atas pemimjam dari Pulau Jawa sebanyak 1,97 juta satuan akun atau sebesar 85% dari total akun, sisanya berasal dari luar Jawa.

Adapun akumulasi nilai pinjaman Fintech P2P lending hingga akhir 2018 mencapai Rp 13,83 triliun, melonjak lebih dari 4 kali lipat dari Januari yang baru sekitar Rp 3 triliun. Pinjaman fintech hingga saat ini sangat likuid di mana yang masuk kategori lancar (s/d 30 hari) mencapai 96,73%. Sedangkan yang masuk kategori tidak lancar (30-90 hari) hanya 2,07% dan kategori macet (> 90 hari) sebesar 1,2%.

Menteri Kominfo Rudiantara mengatakan fintech lending merupakan sektor yang paling diminati investor. Dia mengetahui hal ini saat pertemuan dengan investor dalam The Next Indonesia Unicorn Summit (Nexticorn) di Bali, Mei lalu. Namun, tingginya optimisme investor terhadap fintech lending bukan tanpa hambatan.

Meski potensi pasarnya besar, Kuseryansyah mengatakan adanya fintech lending ilegal juga menjadi perhatian investor menanamkan modalnya di Indonesia. Kepastian bisnis termasuk langkah pemerintah untuk memberantas fintech lending ilegal juga menjadi perhatian investor. “Adanya fintech ilegal kan berarti kepastian hukum belum ditegakkan," kata dia. Untungnya, investor masih menilai kinerja fintech lending di Indonesia positif.

 (Baca: Satgas Waspada Investasi OJK Sudah Blokir 404 Fintech Ilegal)

Menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Sunu Widyatmoko, kehadiran fintech lending ilegal menimbulkan persepsi negatif masyarakat terhadap industri ini. "Yang merusak (industri ini) adalah mereka yang ilegal," ujarnya.

Sementara menurut Ekonom Indef Bhima Yudhistira, kehadiran bisnis ilegal lebih berpengaruh terhadap fintech lending yang skala bisnis masih kecil. “Bagi pemain baru menjadi agak sulit berkompetisi karena ada ketidakpercayaan,” ujar dia. “Sementara untuk fintech lending yang sudah punya nama dan pengalaman (meminjamkan dana) trennya masih positif.”

Selain itu, masyarakat yang berinvestasi di fintech lending belum terlalu besar. OJK mencatat, jumlah pemberi pinjaman di fintech lending mencapai 5,6 juta. Sebanyak 182 ribu diantaranya merupakan investor institusional, lalu mayoritas adalah retail atau individu.

Jumlah investor tersebut masih lebih rendah ketimbang rekening tabungan di perbankan yang mencapai 199,3 juta akun. "Padahal imbal hasilnya lebih tinggi dibanding deposito," ujar Project Leader ukmindonesia.id Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Dewi Meisari Haryanti.

Jumlah investor di fintech lending juga masih kalah dibanding di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang mencapai 509.842 investor. Investor fintech juga masih kalah dibanding investor reksa dana yang mencapai 566.234. (Baca: Pengutang Membeludak, Fintech Pembiayaan Masih Minim Investor)

Beralih ke Fintech Lending

Besarnya pasar fintech lending juga membuka mata pengusaha di sektor lain, masuk ke bisnis ini. Grup Astra misalnya, mendirikan fintech lending bernama PT Astra WeLab Digital Artha (AWDA) pada awal September 2018. "Indonesia jadi pasar yang sangat menarik untuk perusahaan yang memiliki fintech," kata Direktur PT Astra International Suparno Djasmin.

(Baca: Astra Hingga Go-Jek Berebut Rp 1.000 Triliun Pasar Fintech Lending)

AWDA menyediakan pinjaman yang diakses lewat aplikasi mobile bernama Maucash bagi konsumen retail dan korporasi. Ada dua produk yang diluncurkan yakni pinjaman darurat senilai Rp 1 - 3,5 juta untuk tenor 10 hari hingga sebulan, serta pinjaman Rp 2- 8 juta yang diangsur selama dua hingga delapan bulan.

Penyedia layanan on-demand Gojek juga bekerja sama dengan tiga perusahaan fintech lending, yakni Findaya, Dana Citra, dan Aktivaku. “Kami percaya kolaborasi yang kuat antara penyedia jasa keuangan dengan perusahaan teknologi bisa menjangkau lebih luas masyarakat yang belum mengakses layanan perbankan,” kata President Go-Jek Andre Soelistyo.

Pesaingnya, Grab lebih dulu meluncurkan fintech lending bernama Grab Financial Services di Asia pada Maret 2018. Layanan yang diberikan berupa pinjaman mikro dan asuransi kepada mitra pengemudi dan pebisnis yang menggunakan dompet digital GrabPay. Untuk menyediakan layanan ini, Grab menggandeng Credit Saison dari Jepang dan perusahaan asuransi AS, Chubb.

(Baca: Fintech Lending Bakal Makin Gencar Dekati Perbankan dan E-Commerce)

Selain itu, Djarum Group mengakuisisi saham minoritas perusahaan permodalan ventura asal Eropa, Finch Capital pada Cermati. Cermati adalah market agregator yang menyediakan platform daring guna  membantu konsumen memilih produk keuangan, dari mulai kartu kredit, memperoleh kredit kendaraan, kredit pribadi, dan kredit perumahan.

Sementara yang lainnya mulai berkolaborasi dengan fintech lending untuk menggaet pasar yang lebih besar. PT Bank Permata Tbk. misalnya, menggandeng PT Amartha Mikro Fintek (Amartha) dengan skema channeling. Bank Permata bisa menyalurkan kredit tanpa agunan melalui Amartha. PT Bank Mayapada Tbk juga melakukan hal serupa melalui unit usahanya, PT Pohon Dana Indonesia (Pohon Dana).