Menjelang akhir tahun, harga beras terus merangkak naik seiring berkurangnya pasokan ke Pasar Induk Beras Cipinang. Pemerintah berencana menggelar operasi pasar dan memburu pedagang 'beras premium palsu' yang dituding sebagai penyebab melejitnya harga. Padahal, problem utamanya ada di kesalahan pemerintah dalam menghitung produksi gabah dan kebijakan yang merusak tata niaga beras.

Data dari Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC), harga rata-rata beras pada Oktober lalu mencapai Rp 10.143 per kilogram (Kg). Meski sedikit melandai dibandingkan harga rata-rata awal tahun 2018, harga tersebut sudah di atas harga beras rata-rata bulanan sepanjang 2017.

Rata-rata harga beras medium misalnya, sudah menyentuh kisaran Rp 9.300-an per Kg. Meski masih di rentang ketentuan HET, itu sudah jauh di atas kisaran normal harga beras medium yang sekitar Rp 8.800-Rp 9.000 per Kg. Beras medium adalah jenis yang paling banyak diminati, dengan porsi permintaan mencapai 70% dari total pasar beras nasional.

Direktur Utama PT Food Station Tjipinang Jaya (FSTJ) Arief Prasetyo mengungkapkan, harga beras medium merangkak naik karena pasokannya ke PIBC terus berkurang. Sampai Oktober lalu, pasokan beras yang masuk terdiri dari 90% beras premium dan 10% medium. Padahal, akhir tahun lalu, komposisi pasokan beras masih 70% premium dan 30% medium.

(Baca: Pasokan Banyak, Mentan Tak Bisa Jelaskan Anomali Kenaikan Harga Beras)

(Katadata)
 

Membengkaknya suplai beras premium diduga akibat faktor musiman. Sebab, kualitas gabah hasil panen pada musim kemarau lebih baik dibandingkan saat musim hujan sehingga menghasilkan tingkat pecahan beras yang lebih kecil. Alhasil, "Beras yang dihasilkan banyak yang berkualitas premium," katanya.

Sebagai antisipasi terus turunnya pasokan serta membantu stabilitas harga, FSTJ telah mengajukan permohonan pengiriman beras medium stok milik Perum Bulog. Surat permintaan tersebut dikirim melalui Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk diteruskan kepada Menteri Perdagangan (Mendag).

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengaku telah mengirim surat kepada Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk memberi penugasan operasi pasar kepada Perum Bulog selaku BUMN bidang pangan. Operasi pasar dinilai perlu digelar untuk mengantisipasi lonjakan harga beras di pasar.

Surat kepada Menteri BUMN tersebut sudah dikirim sejak September lalu, sesuai keputusan Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Rakortas sudah sepakat untuk menjaga harga beras medium untuk di Pulau Jawa Rp 9.450 per Kg sesuai dengan ketentuan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 27/M-DAG/PER/5/2017 tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen.

(Baca: Jaga Harga Beras, Mendag Surati Menteri BUMN untuk Operasi Pasar Bulog)

Lonjakan harga beras menjadi perhatian serius pemerintah lantaran bisa memicu naiknya angka kemiskinan. Menurut Ekonom Senior Bank Dunia Vivi Alatas, kenaikan harga beras sekitar 10% saja akan memunculkan 1,2 juta orang miskin baru. Ini lantaran porsi pengeluaran keluarga miskin untuk beras mencakup seperempat atau 25% dari total pengeluaran.

Problem lainnya, tiga perempat dari penduduk Indonesia adalah konsumen bersih (net consumer) dari beras. Artinya, penduduk Indonesia lebih banyak yang membeli daripada memproduksi beras. Sehingga, kenaikan harga beras akan menyebabkan naiknya porsi pengeluaran keluarga miskin. Ini, menurut estimasi Bank Dunia, akan membuat 1,2 juta orang penduduk terjerumus masuk ke bawah garis kemiskinan.

Hitungan Badan Pusat Statistik (BPS), per Maret 2018 jumlah orang miskin di Indonesia sebanyak 25,95 juta orang atau setara 9,82% dari total penduduk. Jumlah ini turun sebesar 633.000 dibanding posisi September 2017 yang sebesar 26,58 juta orang.

Namun, Menteri Pertanian Amran Sulaiman menilai, ada anomali dari kenaikan harga beras medium saat ini. Sebab, stok beras di gudang milik Bulog dan PIBC dinilainya cukup. Harga beras medium saat ini, meski merambat naik, juga masih di rentang harga HET. Apalagi, masa panen yang akan berlangsung pada Januari 2019 mendatang juga akan menambah stok beras.

"Kami ingin yakinkan publik, pangan aman. Jangan digoreng kesana kemari," kata Amran saat meninjau PIBC, Kamis (8/11).

Ia menuding, anomali harga beras terjadi lantaran banyak pedagang yang mengubah spesifikasi beras dari medium ke premium. Amran sudah meminta Satuan Tugas (Satgas) Anti Mafia Pangan lintas instansi untuk turun tangan mengatasi anomali harga beras tersebut.

Tudingan serupa juga diungkapkan Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso. Ia mencurigai adanya oknum pedagang yang mengoplos beras medium menjadi premium. Bulog sebenarnya sudah menggelontorkan sekitar 60% stok beras medium lewat operasi pasar namun harganya masih tetap merangkak naik.

Kepala Satgas Anti Mafia Pangan Polri Inspektur Jenderal (Irjen) Setyo Wasisto menyatakan, berdasarkan pengalaman, siklus naik dan turun harga selalu terjadi pada akhir tahun. Karena itu, Satgas Pangan akan terjun ke pasar-pasar dan melakukan pengecekan kualitas beras yang ada di lapangan. Tujuannya, memastikan beras medium memang sesuai dengan kriteria yang ada, begitu juga dengan premium.

"Dalam Rakortas sudah diputuskan untuk menggelar operasi pasar. Satgas akan mengawal dan mengamankan stabilisasi pangan ini. Lewat operasi pasar, kami harapkan harga bisa sesuai dengan yang ditetapkan sehingga terjangkau oleh masyarakat," ujar Setyo. Ia sudah menginstruksikan Satgas Pangan di daerah untuk segera berkoordinasi dengan pemangku kepentingan (stakeholder) terkait untuk menjaga stabilitas harga beras.

Pedagang beras sendiri membantah tudingan Menteri Pertanian yang menyebut kenaikan harga beras medium disebabkan perilaku curang. Menurut Ketua Umum Koperasi Pasar Induk Beras Cipinang Zulkifli Rasyid, beras premium dan medium mudah dibedakan secara kasat mata sehingga mustahil bagi pedagang untuk menipu pembeli.

(Baca: Bank Dunia: Tiap Harga Beras Naik 10 Orang Miskin Bertambah 12 Juta)

Seorang pekerja sedang memasukan beras di sebuah gudang Bulog di Pekan Baru, Riau. (Antara Foto / Rony Muharrman)
 

Salah satu perbedaan yang cukup mencolok adalah persentase butir patah untuk beras medium maksimal sebesar 25%. Sedangkan untuk beras premium sebesar 15%. Selain itu, warna beras medium juga lebih buram karena masih ada butir yang berwarna kuning.

Menurut Zulkifli, kenaikan harga beras medium dalam satu bulan terakhir terjadi karena kualitas dan harga gabah di daerah yang sudah meningkat. Dengan begitu, tidak mungkin bagi pedagang menjual beras medium dengan harga normal. "Kalau di daerah hasil panen bagus, gabah dijual Rp 5.500 per Kg. Dengan demikian, harga berasnya Rp 10.500 - Rp 11.000 per Kg. Sudah bukan medium," katanya.

Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa mengakui, pergeseran porsi beras medium dan premium di pasar terjadi karena kenaikan harga gabah. Peningkatan harga gabah terjadi akibat produksi padi sebenarnya tak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Ketika permintaan lebih besar dibanding suplai, harga pun naik.

Berdasarkan rilis terbaru BPS dengan metode Kerangka Sampel Area (KSA), perkiraan produksi beras sepanjang 2018 hanya 32,4 juta ton. "Data riil BPS untuk produksi beras itu jelas lebih kecil 30% dibanding estimasi Kementerian Pertanian," kata Dwi.

(Baca: Dampak Aturan HET, Pasokan Langka Pedagang Pilih Jual Beras Premium)

Artinya, surplus hanya terjadi pada semester pertama. Karena itu, kenaikan harga gabah otomatis terjadi akibat defisit neraca beras pada semester II-2018. Menurut data BPS, harga gabah kering panen terus meningkat sejak Mei seharga Rp 4.642 per kilogram menjadi Rp 4.937 per kilogram pada Oktober lalu.

Penyebab lainnya produksi beras menurun adalah Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 27/2017. Beleid ini membuat takut petani menjual berasnya kepada pihak-pihak yang ingin membeli beras petani di atas harga acuan sehingga berpotensi menghambat proses kemitraan petani dengan perusahaan swasta.

Menurut Project Officer Komisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Hariadi Propantoko, kesimpulan ini didapat setelah KRKP menggelar penelitian di daerah penghasil beras seperti Subang dan Karawang, Jawa Barat, serta Sragen, Jawa Tengah. Padahal, petani bisa mendapat untung lebih besar dengan sistem kemitraan dengan perusahaan.

Reporter: Michael Reily