Industri Tekstil RI saat Pandemi: Sudah Jatuh, Tertimpa Tangga

123RF.com/Thodonal
Ilustrasi. Industri tekstil terkena dampak pelemahan kinerja tahun ini akibat anjloknya permintaan karena pandemi corona.
Penulis: Sorta Tobing
Editor: Yura Syahrul
28/4/2020, 14.01 WIB

Perlambatan kinerja neraca perdagangan tersebut dipicu kebijakan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 64 Tahun 2017 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil. Peraturan ini dinilai mendorong pertumbuhan impor sehingga menyebabkan surplus neraca perdagangan turun.

Padahal, pada tahun itu pakaian jadi menjadi salah satu produk andalan ekspor nonmigas Indonesia. Nilainya terbesar ketiga setelah batu bara dan sawit. Negara tujuan utamanya adalah Amerika Serikat, Jepang, dan Jerman.

(Baca: Pengusaha Sebut Gangguan Rantai Pasok Akibat PSBB Sulit Pulih)

Pada kuartal I tahun ini, nilai ekspor pakaian dan aksesorinya mencapai US$ 856,6 juta atau anjlok 12,97% dibandingkan periode sama tahun lalu. Secara lebih spesifik, nilai ekspor produk ini pada Maret lalu sebesar US$ 258 juta atau turun 11,9% dibandingkan bulan sebelumnya.

Berbeda dengan ekspor barang tekstil jadi lainnya, yang sebenarnya menunjukkan geliat pada awal tahun ini. BPS mencatat, ekspor barang tekstil periode Januari - Maret 2020 mencapai US$ 134 juta atau melonjak 189% dibandingkan periode sama tahun lalu.

Namun, tren penurunan mulai terlihat pada Maret lalu. Nilai ekspor barang tekstil pada Maret 2020 sebesar US$ 33 juta, anjlok 60% dibandingkan bulan sebelumnya. Kondisi ini seiring meluasnya penyebaran Covid-19 sehingga banyak negara melakukan karantina negara atau kota (lockdown).

Selanjutnya: Produksi APD, Diversifikasi Industri Tekstil untuk Bertahan Hidup

Ketua API Provinsi Jawa Barat Chandra Setiawan meminta pemerintah segera memproteksi produk garmen dalam negeri. Peraturan yang ada selama ini lebih banyak berpihak untuk produk impor.

Terlebih industri tekstil Tiongkok mulai bangkit setelah mati suri terimbas pandemi corona. Banjir produk impor tak pelak akan masuk ke Indonesia. "Untuk importasi banyak fasilitas. Tapi untuk penggunaan produk dalam negeri belum ada," ucapnya.

Sejak produksi terganggu akibat Covid-19, asosiasi telah menemukan 17 kontainer produk tekstil masuk dari Tiongkok. Jumlah tersebut berpotensi bertambah dengan adanya penyelundupan ilegal, yang sebagian besar merupakan barang jadi. Industri dalam negeri akan semakin sulit menjual barang.

(Baca: Banyak Industri Terdampak Corona, Otomotif dan Tekstil Paling Berat)

Ilustrasi pembuatan masker kain. (ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/foc.)

Diversifikasi dengan Produksi APD 

Kementerian Perindustrian memetakan industri yang terdampak virus corona. Tekstil masuk dalam kategori yang terkena pukulan berat. “Beberapa industri mengalami hard hit," kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dalam keterangan resminya pada 8 April lalu.

Di tengah keterpurukan itu, masih ada celah bagi industri tekstil untuk bertahan hidup, yaitu dengan memproduksi alat pelindung diri (APD). Dalam periode Januari-Februari 2020 terjadi lonjakan signifikan terkait pemberian izin usaha di sektor keseahtan, termasuk produk APD dan masker nonmedis.

Kebutuhan APD medis diperkirakan mencapai 16 juta potong per bulan. Sebanyak 36 perusahaan tekstil yang akan memproduksinya. Pada Mei 2020 kapasitas akan bertambah menjadi 18 juta potong APD medis per bulan.

(Baca: Penuhi Kebutuhan Domestik, Pan Brothers Bidik Produksi 100 Juta Masker)

Industri tekstil saat ini juga banyak yang memproduksi masker. Terdapat 34 perusahaan industri tekstil yang memproduksi masker medical grade dan berbahan kain (washable). Kementerian berharap 50 juta masker dapat diproduksi per minggu. Rinciannya 20 juta berstandar medis dan 30 juta berbahan kain.

Kementerian juga mengusulkan stimulus untuk mendukung industri terdampak. Pemberian soft loan atau pinjaman lunak dari pemerintah dapat membantu cashflow perusahaan. Lalu, pinjaman dana talangan untuk tunjangan hari raya (THR), pemberian relaksasi kepada pelaku usaha untuk membayar utang, serta keringanan penurunan bunga termasuk dalam usulan itu.

“Industri mengusulkan diberikan ruang untuk mendapatkan pinjaman lunak dari bank dengan tenor yang bisa diperpanjang agar mereka dapat membayar THR,” ucap Agus.

(Baca: Kejar Kebutuhan APD, Kemenperin Targetkan Produksi 3 Juta per Minggu)

Upaya industri tekstil untuk menyelamatkan dirinya dengan memproduksi APD, ternyata tak terlalu berpengaruh dari sisi ketenagakerjaan. Pasalnya, diversifikasi produksi tersebut, hanya mampu menyerap 3% dari total tenaga kerja yang bekerja pada sektor industri tekstil dan produk tekstil.

Pertumbuhan industri juga diperkirakan tidak akan terdongkrak signifikan. “Kalau membantu pertumbuhan sepertinya tidak, tapi sedikit mengisi kekosongan utilisasi,” kata Rizal.

Halaman:
Reporter: Ekarina, Tri Kurnia Yunianto, Muchammad Egi Fadliansyah, Antara