Tapi langkah penerbitan obligasi dalam mata uang asing ini bukan tanpa risiko. Nico Demus mengatakan, pinjaman dalam bentuk dolar, artinya beban bunga lebih tinggi. Pendapatan perusahaan yang dalam rupiah harus lebih besar untuk menutup hutang dolar tersebut.
Nah, perusahaan seperti Hutama Karya mungkin akan sulit melakukan hal tersebut. Pasalnya, bisnis konstruksi punya masalah besar yang kerap terjadi, yaitu keterlambatan pembayaran. Hal ini berisiko ke kondisi cashflow perusahaan. “Tapi kalau sampai gagal bayar, kami yakinlah pasti pemerintah akan bantu,” kata Nico Demus.
(Baca: Besok, Pemerintah Tarik Utang Lewat Lelang SUN Maksimal Rp 40 Triliun)
Direktur Anugerah Mega Investama Hans Kwee berpendapat krisis yang terjadi sekarang paling berisiko ke nilai tukar. “Kalau nilai tukar melemah, ada imported inflation, lalu menekan ekonomi,” katanya. Karena itu, dengan penerbitan global bond dapat membanjiri dalam negeri dengan dolar AS dan menambah cadangan devisa.
Para BUMN juga mencari kesempatan di tengah likuiditas global yang melonggar. Banyak bank sentral yang melakukan quantitative easing (pelonggaran kuantitatif). “Investor sedang mencari perusahaan dengan yield tinggi dengan risiko tertentu,” kata Hans Kwee. Bunga untuk global bond yang 4% sampai 6% juga jauh lebih murah ketimbang pendanaan dalam negeri yang berkisar di 8% sampai 12%.
Ia tak terlalu khawatir jika perusahaan kemudian kesulitan membayar utangnya. “Kalau melihat trend, in normal case, rupiah akan menguat karena perang dagang AS dengan Tiongkok akan lama,” ucapnya. Bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed), diperkirakan akan mencetak banyak uang untuk pelonggaran kuantitatif. Hal ini juga berpotensi menguatkan rupiah.
(Baca: Sri Mulyani Batal Terbitkan Surat Utang Khusus Pandemic Bond)
Tiga Skenario Selamatkan BUMN
Selain menyetujui penerbitan obligasi, Kementerian BUMN menyiapkan tiga skenario untuk perusahaan pelat merah yang terdampak pandemi corona. Total bantuannya mencapai Rp 153,7 triliun.
Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga mengatakan skenarionya terdiri dari pencairan utang pemerintah dengan total Rp 108,48 triliun, penyertaan modal negara (PMN) Rp 25,57 triliun, dan dana talangan Rp 19,65 triliun.
Untuk skenario pertama ada tujuh BUMN yang mendapatkannya. PLN menerima kompensasi Rp 48,46 triliun, Pertamina Rp 40 triliun, Pupuk Indonesia Rp 6 triliun, Kimia Farma Rp 1 triliun, Bulog Rp 560 miliar, KAI Rp 300 miliar, dan BUMN karya Rp 12,16 triliun.
(Baca: Tiga Skenario Pemerintah Selamatkan BUMN dari Pandemi Corona)
Skenario kedua, penyertaan modal negara dialokasikan kepada PLN Rp 5 triliun. Hutama Karya Rp 3,5 triliun, Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) Rp 270 miliar, dan Permodalaan Nasional Madani (PNM) Rp 1 triliun.
Skenario bantuan ketiga, yaitu pemberian dana talangan dalam bentuk investasi nonpermanen. Pemerintah membentuk special mission vehicle (SMV) Kementerian Keuangan dan penempatan dana pemerintah pada bank peserta.
Yang mendapat dana talangan adalah Garuda Indonesia Rp 8,5 triliun, Perkebunan Nusantara Rp 4 triliun, KAI Rp 3,5 triliun, Krakatau Steel Rp 3 triliun, dan Perum Pembangunan Perumahan Nasional (Perumnas) Rp 650 miliar.
(Baca: Cara Pemulihan Ekonomi Akibat Corona, 12 BUMN "Disuntik" Rp 155 Triliun)
Pengamat BUMN dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia Toto Pranoto menilai pemberian bantuan untuk BUMN ini sudah tepat. "Menurut saya, relatif sudah pas saja," ujarnya. Seluruh bantuan telah mencakup sektor-sektor penting.
Namun, ia mempertanyakan urgensi pemberian bantuan kepada ITDC. Sektor pariwisata memang perlu segera dipulihkan, dengan catatan pandemi corona telah berlalu. “ITDC harus segera bersiap sebelum wisatawan datang kembali. Jadi, PMN ini sebenarnya bisa dipahami," kata Toto.