Jalan Panjang dan Berliku Memburu Pajak Digital Asing

Katadata/123rf
Ilustrasi. Jalan Panjang dan Berliku Memburu Pajak Digital Asing
5/6/2020, 07.15 WIB

Jika benar perusahaan-perusahaan tersebut yang nanti ditetapkan sebagai pemungut PPN oleh DJP, maka mereka bisa menanggung besaran 10% pajak atau membebankannya ke konsumen yang berarti penambahan harga.

(Baca: Kurs Pajak 20 Mei-2 Juni, Rupiah Kembali Ditetapkan Menguat)

Halaman selanjutnya: Potensi Besar PPN Digital

Potensi Besar Penerimaan PPN Digital

Kemenkeu telah memetakan potensi pendapatan dari PPN digital berdasarkan tujuh jenis transaksi barang digital dalam naskah akademik RUU Omnibus Law perpajakan yang rampung Februari lalu. Pertama, dari transaksi sistem perangkat lunak dan aplikasi yang bernilai Rp 14,06 triliun. Kedua, dari layanan gim, video, dan music yang mencapai Rp 880 miliar.

Jenis ketiga adalah dari penjualan film yang bernilai Rp 7,65 triliun. Keempat dari transaksi perangkat lunak khusus semisal perangkat desain yang mencapai Rp 1,77 triliun. Kelima, dari transaksi perangkat lunak gawai senilai Rp 44,7 triliun. Keenam, dari transaksi hak siar layanan televisi berlangganan sebesar Rp 16,49 triliun. Terakhir, dari media sosial dan layanan OTT senilai Rp 17,07 triliun.

Total dari ketujuh jenis transaksi elektronik tersebut senilai Rp 104,4 triliun. Sehingga, potensi PPN 10% adalah sebesar Rp 10,4 triliun.

Potensi tersebut sangat mungkin bertambah karena, seperti data eMarketer pada 2018, penonton/pengunduh video digital di Indonesia diproyeksikan terus bertambah mencapai 100,4 juta orang pada 2021. Besar kemungkinan pengguna Netflix dan penyedia VoD lain akan tumbuh.

(Baca: Transaksi GoPay Naik, Gojek Ungkap 3 Strategi Jaga Keamanan Pengguna)

Data ITU pada 2019 pun memperkirakan nilai transaksi digital perdagangan elektornik di Indonesia akan mencapai US$ 82 miliar pada 2025. Lebih tinggi dari Vietnam yang dproyeksikan mencapai US$ 23 miliar, juga Thailang yang sebesar US$ 18 miliar pada 2025.

Merujuk data Kemenkeu, penerimaan pajak periode Januari sampai April 2020 lebih rendah 3,1% dari periode sama di tahun sebelumnya, yakni sebesar 376,7 triliun. Realisasi ini baru mencapai 30% dari target penerimaan 2020 berdasarkan Perpres 54 tahun 2020 sebesar Rp 1.254 triliun. Penerimaan PPN tercatat sebesar Rp 132,8 triliun.

Dari sini dapat dimengerti alasan pemerintah memasukkan komponen pajak digital dalam Perppu Nomor 1 tahun 2020, yakni untuk membantu mendongkrak pendapatan dari sektor pajak di tengah ekonomi yang tak menentu akibat covid-19.

 

Terancam Diganjal AS

Hanya, upaya Indonesia memungut PPN digital belum sepenuhnya mulus meskipun telah memiliki dasar hukum. Kemarin (3/6), Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) mengatakan akan menginvestigasi aturan pajak digital yang diterapkan di 10 negara termasuk Indonesia.

“Presiden Trump khawatir banyak mitra dagang kami mengadopsi skema pajak yang dirancang untuk menargetkan perusahaan kami secara diskriminatif,” kata perwakilan USTR Robert Lighthizer, melansir Reuters.

Robert menyatakan, pemerintah AS siap mengambil tindakan apapun untuk membela bisnis digital yang berasal dari Paman Sam dari diskriminasi peraturan pajak. Ia pun menyatakan USTR telah mengirimkan agen untuk berbicara dengan pemangku kebijakan di 10 negara itu dan akan segera memutuskan perlakuan mereka masuk akal atau diskriminatif.

Saat ditanya mengenai hal ini dalam konferensi pers melalui video conference usai ratas kabinet di Istana Negara, kemarin (3/6), Menkeu Sri Mulyani enggan menjawabnya. “Nanti yang jadi headline malah pajak digital,” kata dia.

Kami pun telah menghubungi Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Dirjen Pajak Hestu Yoga Saksama melalui telepon dan pesan WhatsApp untuk menanyakan hal ini, kemarin (3/6). Namun, sampai berita ini ditulis belum mendapatkan jawaban.

Research Manager Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar menilai pernyataan USTR tak perlu dirisaukan karena tak berkaitan dengan PPN digital. “Beda kasus itu, PMK 48 terkait PPN. USTR tadi terkait PPh/PTE,” katanya kepada Katadata.co.id, Rabu (3/6).

(Baca: Hasil Investigasi Ungkap 86% Serangan Siber Terkait Pencurian Uang)

Senada, Peneliti Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji menyatakan PPN digital yang diterapkan pemerintah untuk pelaku PMSE asing tak berpotensi diskriminatif. Pasalnya telah terdapat konsensus global bahwa dalam transaksi lintas yuridiksi, negara lokasi dikonsumsinya barang atau jasa berhak memungut PPN.

“Prinsip ini dikenal dengan destination,” kata Bawono kepada Katadata.co.id, Rabu (3/6).

Bawono menjelaskan, kekhawatiran AS atas diskriminasi karena sejauh ini belum ada kesepakatan global tentang PPh digital yang adil. Hal ini mendorong negara-negara melakukan kebijakan sepihak atau unilateral melalui digital service tax (DST)Umumnya DST hanya dikenakan bagi perusahaan digital yang memiliki peredaran bruto di atas nilai tertentu dan banyak perusahaan AS.

PMK 48/2020 menurut Bawono telah dibuat dengan baik dari sisi pengaturan mendasar atas pemungutan PPN, bai katas objek, subjek, saat terutang, tarif, hingga kewajiban rekapitulasi data. Dari sisi administrasi pun telah diatur akan berada di bawah KPP Badan dan Orang Asing yang telah mempunyai dasar hukum melalui Perdirjen Pajak Nomor Per-07/PJ/2020.

Respons Penyedia PMSE

Respons pelaku usaha digital atas PPN 10% pun mayoritas baik. Ketua Bidang Ekonomi Digital Asosiasi e-commerce Indonesia (idEA) Bima Laga menilai peraturan ini membawa kesetaraan bagi pelaku PMSE lokal dan asing.

“PMK ini bisa mewujudkan kesetaraan perlakuan atau level-playing field antara pelaku usaha luar negeri dengan kami,” kata Bima kepada Katadata.co.id, Rabu (3/6).

Akan tetapi, Bima masih menganggap implementasi pajak digital e-commerce perlu ditunda sampai 2021, karena regulasi saat ini belum siap mengakomodasi pelaksanaan penarikan pajak. Misalnya terkait pengawasan atas transaksi di media sosial.

Ketua Asosiasi Modal Ventura Indonesia, Jefri Sirait menilai PPN memang semestinya melekat ke setiap usaha perdagangan digital dan bisa menjadi sumber penerimaan baru bagi negara. “Pajak ini kan penggunaannya juga kembali untuk masyarakat,” kata dia kepada Katadata.co.id, Rabu (3/6).

PEMUNGUTAN PPN PRODUK DIGITAL IMPOR (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/hp.)

Namun, menurut Jefri, pemerintah perlu mensosialisasikan peraturan ini dengan lebih baik. Terutama di kondisi pandemi seperti sekarang agar memastikannya tepat sasaran. “Peraturan turunannya juga mestinya segera dibuat agar memberi kepastian,” kata Jefri.

Pelaku usaha lain yang menyambut baik adalah Google. Head of Corporate Communication Google Indonesia Jason Tedjasukmana kepada Katadata.co.id kemarin (3/6) menyatakan perusahaan “mematuhi ketentuan pajak di semua negara tempat kami beroperasi dan terus melakukannya seiring dengan perubahan ketentuan pajak yang ada.”

(Baca: Mengincar Pajak dari Streaming Video dan Musik)

Country Head Viu Indonesia Varun Mehta pada Jumat (29/5) lalu menyatakan perusahaannya belum bisa menjabarkan skema pemungutan PPN kepada konsumen. Namun, tetap berkomitmen untuk menyediakan layanan dengan tarif kompetitif di Tanah Air.

“Viu memiliki komitmen memberikan value yang menarik bagi pelanggan, pada titik harga yang atraktif bagi konsumen. Selain itu, sejalan dengan rencana bisnis jangka panjang kami untuk pasar Indonesia,” kata Mehta kepada Katadata.co.id. Sedangkan Netflix belum mau merespons terkait hal ini. 

Halaman:
Reporter: Cindy Mutia Annur, Fahmi Ahmad Burhan