Para pelaku bisnis baru sedikit bernapas lega ketika pemerintah memutuskan masa transisi atas pembatasan sosial berskala besar atau PSBB. Dengan wajib mengikuti protokol kesehatan, sejumlah perkantoran dan pusat belanja di Jakarta kembali beraktivitas sejak pertengahan bulan lalu. Namun, sepekan terakhir, kasus positif Covid-19 kembali melejit.

Lonjakan orang yang terinfeksi corona ini cukup mengkhwatirkan seiring dengan beberapa daerah yang melakukan pelonggaran di masa transisi menuju normal baru. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pun mengancam bakal kembali “mengurung” masyarakat di rumah jika penularan virus corona  di wilayahnya tak bisa dikendalikan.

Tren kasus Covid-19 di Ibu Kota memang tengah meningkat. Pada Minggu (12/7) pasien baru bertambah 404 orang. Ini merupakan rekor tertinggi tambahan harian, walaupun angkanya kembali turun menjadi 281 orang pada Senin (13/7) dan 268 pada Selasa (14/7) hari ini.

Anies menyebutkan, positivity rate atau rasio kasus positif dibanding jumlah pemeriksaan spesimen di Jakarta meningkat drastis hingga 10,5%. Menurutnya, angka tersebut merupakan yang tertinggi selama masa transisi diterapkan sejak awal Juni 2020. Saat itu, positivity rate di Jakarta ada di bawah 5%, sesuai rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bagi wilayah yang hendak melonggarkan karantina.

“Hari ini Jakarta mengalami lonjakan kasus tertinggi. Saya ingatkan pada semua warga jangan sampai situasi ini jalan terus sehingga kami harus menarik rem darurat atau emergency break policy,” kata Anies dalam video yang diunggah akun YouTube resmi Pemprov DKI Jakarta, Minggu (12/7).

Jika kebijakan itu diambil, warga akan dipaksa berkegiatan kembali ke rumah, seperti saat PSBB. Akibatnya, kegiatan ekonomi, agama, dan sosial terhenti. “Kita semua yang akan merasakan kerepotannya,” ujarnya.

(Baca: 4 Klaster Baru Penyumbang Lonjakan Kasus Corona di Indonesia)

Tingginya jumlah kasus baru di Ibu Kota juga menjadi perhatian Presiden Joko Widodo. Dalam rapat terbatas penanganan corona di Istana Merdeka, Senin (13/7), Jokowi meminta para menteri memberikan perhatian bagi kasus corona di Jakarta. “Saya harapkan yang disampaikan bukan laporan, tapi apa yang harus dikerjakan, problem lapangannya apa,” ujar Jokowi.

Hadir dalam rapat tersebut Wakil Presiden Ma'ruf Amin, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, serta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Ada pula Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Kapolri Jenderal Idham Azis, serta Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo. 

(Baca: Kasus Naik, Jokowi Minta Gugus Tugas Kendalikan Covid di 8 Provinsi)

Jokowi memperkirakan penularan virus corona di Indonesia masih terus terjadi dan baru akan mencapai puncaknya dalam dua bulan ke depan. “Kalau melihat angka-angka, memang perkiraan puncaknya ada di Agustus atau September, perkiraan terakhir,” katanya.

Sebelumnya, pemerintah pernah memprediksi puncak penularan virus corona di Indonesia akan terjadi pada Mei 2020 dan terus melandai hingga Juli 2020. Prediksi itu meleset. Dan Jokowi juga menyadari bahwa prediksinya kali ini juga bisa kembali meleset. “Oleh sebab itu, saya minta pada para menteri untuk bekerja keras.”

Jauh dari Normal

Sekitar dua bulan lamanya kegiatan usaha, termasuk mal harus tutup selama PSBB di berbagai daerah. Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) menyatakan kerugian yang diderita mencapai Rp 9,8 triliun. Lalu, bagaimana kondisinya kini?

Di Jakarta, pusat-pusat perbelanjaan bisa dibuka pada 15 Juni 2020 atau 10 hari sejak dimulainya masa transisi. Namun, beberapa tenant seperti bioskop dan tempat pijat yang lazim beroperasi di mal baru boleh dibuka pada 29 Juli 2020 mendatang.

Saat ini, rata-rata jumlah pengunjung pada hari kerja hanya 30%. Sedangkan pada akhir pekan meningkat sampai 40%. “Kami lihat di sini bahwa semakin kelas atas konsumennya semakin susah untuk datang ke mal karena ketakutannya semakin besar,” kata Ketua Umum APPBI Stefanus Ridwan.

PERSIAPAN PEMBUKAAN KEMBALI SENAYAN CITY (ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/foc.)

(Baca: Pengelola Mal Sebut Pengunjung Sepi Karena Takut Tertular Covid-19)

Dengan jumlah pengunjung yang minim, pengusaha juga dibebani oleh tambahan biaya operasional. Sebab, pembukaan mal disertai protokol kesehatan yang ketat. Di antaranya, membatasi pengunjung hingga 50% dari kapasitas, menyediakan fasilitas cuci tangan atau hand sanitizer, hingga penggunaan disinfektan.

Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) memperkirakan beban operasional perusahaan naik sekitar 30%. “Seperti hand sanitizer, disinfektan kemudian menjaga kebersihan seluruh area dan memberi vitamin karyawan,” kata Ketua Umum Aprindo Roy Mandey beberapa waktu lalu.

Kondisi serupa dialami pengusaha hotel. Sekjen Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengatakan, tingkat okupansi perhotelan secara nasional baru mencapai 10%. “Karena okupansi baru sedikit, serapan tenaga kerja belum banyak,” kata dia saat dihubungi Katadata, beberapa waktu lalu.

(Baca: Okupansi Rendah, Pengusaha Hotel Menjerit Biaya Protokol Kesehatan)

Ia mengatakan, serapan tenaga kerja sulit dimaksimalkan bila fungsi hotel hanya digunakan sebagai penginapan, bukan sebagai tempat penyelenggaraan acara atau pertemuan. Sebab, pendapatan hotel terbesar saat ini berasal dari penjualan makanan dan minuman, dengan kontribusi 30-40% terhadap total pendapatan.

Oleh karena itu, sembari melakukan pengetatan operasional, Maulana berharap pandemi segera berakhir. Biasanya, penyewaan ruangan oleh pemerintah akan meningkat jelang akhir tahun. “Jadi kami melakukan efisiensi. Kalau tidak, pengusaha tidak bisa survive sampai Desember,” ujar dia.

(Baca: Pengusaha Hotel Keluhkan Tak Ada Subsidi Listrik bagi Industri)

Tapi mungkinkah pandemi akan berlalu pada akhir tahun? Ahli epidemiologi dari Griffith University Australia Dicky Budiman memperkirakan kasus positif corona di Pulau Jawa akan memasuki fase rawan dengan memperhitungkan tatanan normal baru.

Menurut Dicky, dalam kondisi tersebut mobilitas orang akan meningkat seiring pembukaan aktivitas ekonomi. “Saya memperkirakan untuk Jawa, fase paling rawan kita di periode Juli hingga September,” kaya Dicky ketika dihubungi Katadata.co.id, beberapa waktu lalu.

Dicky menyatakan sulit memperkirakan kapan puncak penyebaran corona di Indonesia selama masa tersebut. Sebab, pengujian spesimen corona yang masih terbatas. Laporan hasil tes juga memakan waktu lama.“Sehingga kasus yang dilaporkan tidak mencerminkan kasus pada hari tersebut,” kata Dicky.

(Baca: Cegah Terkena Corona, Warga Diminta Tak Terlalu Lama di Ruang Tertutup)

Harapan Pengusaha

Meski ada kemungkinan penularan virus corona masih meningkat dalam beberapa bulan ke depan, pengusaha berharap pemerintah tidak kembali menerapkan karantina. Disiplin masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan saat berkegiatan di luar rumah yang harus ditingkatkan.

“Yang terpenting adalah semua orang disiplin untuk menaati protokol kesehatan. Kerja di luar rumah tidak masalah kalau menggunakan alat pelindung diri yang memadai,” Ketua Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sutrisno Iwantono.

Ia bahkan mengusulkan agar pemerintah memberikan bantuan berupa masker dan face shield bagi pekerja. Dengan begitu, mereka tak punya alasan untuk tidak mengenakannya saat berkegiatan di luar rumah. Sanksi pun bisa ditegakkan.

Bagaimanapun, ia juga mengingatkan agar pemerintah berfokus pada aspek Kesehatan dalam penanganan pandemi ini. “Karena sesungguhnya persoalannya bukan ekonomi tapi pandemi ini. Jadi kalau pandemi corona ini tidak selesai, ekonominya juga akan sulit.”

Lalu, strategi apa yang akan diambil oleh pemerintah? Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo menyatakan, sejak awal pemerintah tidak melakukan lockdown. Sekarang pun Langkah itu tidak akan diambil.

Menurutnya, sesuai arahan Jokowi, petugas hanya akan membatasi kerumunan di suatu daerah jika terjadi peningkatan kasus corona. “Jadi kalau ada kasus yang meningkat, maka silakan direm, tapi bukan berarti semua kegiatan harus ditutup secara total,” kata Doni.

(Baca: 3.606 Orang Tewas, Gugus Tugas Kecewa Ada yang Sebut Corona Konspirasi)

Reporter: Tri Kurnia Yunianto, Dimas Jarot Bayu