Kedatangan Vaksin Corona dan Harapan Pemulihan Ekonomi di 2021

123RF.com/lightwise
Ilustrasi.
Penulis: Happy Fajrian
Editor: Yuliawati
10/12/2020, 12.00 WIB

Sebanyak 1,2 juta dosis vaksin virus corona buatan Sinovac Biotech Ltd. tiba di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Minggu (6/12). Selanjutnya, 1,8 juta dosis akan datang akhir Desember 2020. 

Pemerintah memang mengandalkan Tiongkok untuk pengadaan vaksin. Bahan baku untuk 45 juta dosis vaksin pun didatangkan dari Negara Panda dalam dua gelombang, yakni 15 juta dosis pada Desember ini, dan sisanya 30 juta dosis pada Januari 2021. Bahan baku vaksin ini nantinya akan diproses oleh Bio Farma.

Kedatangan jutaan dosis vaksin ini membawa harapan baru dalam perang melawan pandemi virus corona di tanah air. Hingga Rabu (9/12) sebanyak 592.900 orang terkonfirmasi Covid-19, dengan 18.171 orang meninggal dunia.

Pandemi yang berjalan sembilan bulan ini menyebabkan resesi dan membuat jutaan orang kehilangan pekerjaan. Indonesia telah masuk ke dalam jurang resesi setelah pertumbuhan ekonominya terkontraksi selama dua kuartal secara berturut-turut, yakni 5,32% pada kuartal II, dan 3,49% pada kuartal III.

Jalan Panjang Pemulihan Ekonomi dari Pandemi

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan bahwa kedatangan vaksin Sinovac menyuntikkan optimisme terhadap pemulihan ekonomi. BI pun optimistis ekonomi pada 2021 akan tumbuh di 4,8 - 5,8%.

“Vaksin merupakan prasyarat dalam prospek pemulihan ekonomi RI. Pemerintah akan mulai melakukan vaksinasi dalam waktu dekat,” kata Perry, Senin (7/12).

Ekonom sekaligus Menteri Keuangan periode 2013 - 2014 pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Muhammad Chatib Basri, optimistis perekonomian Indonesia akan kembali positif pada kuartal I 2021, dengan syarat tidak terjadi gelombang kedua pandemi.

“Akan ada perbaikan, tapi lambat. Kuartal IV masih akan terkontraksi, tapi polanya semakin naik dan mendekati nol. Akan mulai positif di kuartal I 2021,” ujarnya dalam Mandiri Webinar Series: Dunia Pasca Pandemi yang bekerja sama dengan Katadata, Rabu (2/12).

Tanda-tanda pemulihan ekonomi pun sudah terlihat. Salah satunya dari Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur indonesia yang terus mengalami kenaikan hingga ke level ekspansi pada November 2020 yakni sebesar 50,6 atau naik dari level Oktober sebesar 47,8.

Kenaikan tersebut sejalan dengan pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB), salah satunya di Jakarta pada pertengahan Oktober. Perusahaan pun mulai meningkatkan produksi. Permintaan juga meningkat meski belum terlalu kuat.

Perkembangan PMI Manufaktur dapat dilihat pada databoks berikut.

Meski demikian perekonomian belum akan beroperasi secara penuh dengan masih berlakunya protokol kesehatan. Chatib memperkirakan dalam kondisi tersebut ekonomi hanya bisa beroperasi di level 70% dari normal sepanjang 2021.

“Lima tahun terakhir rata-rata pertumbuhan Indonesia sebesar 5%. Kalau ekonomi beroperasi 70%, berarti pertumbuhan ekonomi antara 3,5 – 4%,” ujar Komisaris Utama Bank Mandiri ini.

Berikut adalah databoks proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 2021 menurut Office of Chief Economist (OCE) Bank Mandiri.

Menurutnya proyeksi pertumbuhan tersebut sangat rasional. Karena disamping proses vaksin yang masih panjang, selama pandemi berlangsung masih akan ada testing, tracing, isolasi, dan pakai masker. Sehingga dia memprediksi perekonomian baru akan benar-benar pulih ke kondisi sebelum pandemi pada 2022.

Selama ini motor utama perekonomian nasional yaitu konsumsi dan pembentukan modal tetap bruto (PMTB) atau investasi. Tingkat konsumsi diperkirakan masih lemah mengikuti daya beli masyarakat yang turun.

Pada kuartal II dan III tahun ini konsumsi terkontraksi masing-masing sebesar 5,52% dan 4,04%. Di saat yang sama investasi terkontraksi sebesar 8,61% pada kuartal II dan 6,48% pada kuartal III.

Pelaku usaha akan berpikir dua kali untuk menambah investasinya. Karena mereka masih harus mematuhi protokol kesehatan seperti menjaga jarak, dan hanya boleh beroperasi 50% dari kapasitas penuh. Apalagi permintaan juga minim, mengikuti daya beli. 

“Pengusaha akan berpikir buat apa menambah investasi kalau kapasitas yang ada tidak terpakai selama protokol kesehatan masih dijalankan. Masih ada social distancing, kapasitas dibatasi 50%, tidak bisa 100%,” kata Chatib.

Ini terkait dengan skala ekonomi usaha. Chatib membeberkan, menurut hasil riset OCE Bank Mandiri, sektor usaha harus beroperasi pada level tertentu untuk mencapai titik impas atau break even point.

Industri hotel misalnya, memiliki titik impas jika kapasitasnya terisi 46%, restoran 68%, retail FMCG (fast moving consumer goods) 32%, retail non-FMCG 42%, dan industri semen 54%.

“Jika kurang dari itu, maka perusahaan akan merugi dan menjadi perusahaan zombie. Jadi keputusan untuk menambah investasi sangat tergantung dari protokol kesehatan diterapkan atau tidak. Protokol kesehatan baru akan beres kalau pandeminya selesai,” ujar dia.

Tapi bukan berarti pada 2021 tidak akan ada investasi. Seperti pada 2020 yang masih ada investasi terutama oleh pihak yang bisa melihat niche market seperti bisnis resort, obat-obatan online, jualan data telekomunikasi. Menurutnya untuk menangkap niche market tersebut hanya dibutuhkan inovasi dan kreativitas.

"Membuat ide-ide baru yang bisa membuat investasi datang lebih datang lebih cepat. Makanya dibutuhkan kreativitas," kata dia.

Sementara sumber pertumbuhan lainnya yaitu perdagangan internasional atau ekspor-impor tidak bisa menjadi diandalkan dengan kondisi eksternal yang juga masih lemah. Apalagi selama ini Indonesia lebih sering mencatatkan defisit neraca perdagangan.

Baru pada 2020 ini Indonesia mencatatkan surplus neraca perdagangan selama enam bulan berturut-turut, sejak Mei hingga Oktober. Namun surplus tersebut lebih disebabkan impor yang turun lebih kencang dibandingkan ekspor.

Data BPS menunjukkan, nilai ekspor 10 bulan pertama 2020 mencapai US$ 131,54 miliar, turun 5,58% secara tahunan atau year on year (yoy). Sedangkan impor sebesar US$ 114,46 miliar, turun 19,07% yoy. Dengan demikian surplus neraca perdagangan sebesar US$ 17,07 miliar. Adapun pada Oktober Ri mencatatkan surplus US$ 3,61 miliar.

Selengkapnya bisa dilihat pada databoks berikut:

Belanja Pemerintah Jadi Tumpuan

Pemerintah pun harus memutuskan antara mendorong konsumsi atau investasi melalui pengeluaran belanjanya. Chatib merekomendasikan agar pemerintah memfokuskan anggaran belanjanya untuk mendorong daya beli masyarakat sehingga bisa mendongkrak konsumsi, daripada digunakan untuk menggenjot investasi.

Berdasarkan simulasi yang ia lakukan, jika pemerintah meningkatkan daya beli, peningkatan konsumsi akan mampu mengundang investasi yang signifikan.

Sebaliknya jika investasi yang digenjot, dengan daya beli masyarakat yang masih lemah, peningkatan produksi hanya akan menambah persediaan barang di gudang dan tidak signifikan mendorong konsumsi.

“Sebaiknya yang didorong itu konsumsi rumah tangga dengan memberikan bantuan langsung tunai (BLT) atau cash transfer yang lebih superior mendorong investasi,” ujarnya.

Lalu siapa yang harus dibantu? Menurut Chatib, kelompok yang paling parah terkena dampak pandemi Covid-19 ini adalah pengusaha yang pendapatannya turun sekitar 14% di bawah normal dibandingkan sebelum pandemi, dan pekerja sektor informal yang pendapatannya turun sekitar 30% menjadi 70,9%.

Dengan turunnya tingkat pendapatan, maka level konsumsi ikut menurun. Data OCE Bank Mandiri menunjukkan bahwa konsumsi kelompok masyarakat bawah (low income) turun sekitar 16%, kelompok menengah (middle income) turun 27% dan kelompok atas (high income) turun 31%.

"Jadi yang mesti dilakukan adalah membantu kelompok yang bawah ini bisa tetap belanja dengan bantuan sosial, kemudian mendorong yang menengah atas untuk belanja,” kata Chatib.

Selain itu juga terjadi perubahan pola konsumsi pada kelompok menengah atas yang mengurangi belanja barang non-kebutuhan pokok seperti traveling. Ini karena pandemi membuat masyarakat lebih banyak tinggal di rumah.

Menurut dia kebijakan ini cukup berhasil dalam memperbaiki kinerja konsumsi dari terkontraksi 5,52% pada kuartal II menjadi kontraksi 4,04%. Chatib menilai ini lantaran program bantuan tunai yang diberikan pemerintah.

Alasannya berbagai upaya sudah dilakukan dari sisi moneter dengan tingkat suku bunga acuan yang kini berada pada level terendah sepanjang sejarah Indonesia. Namun tetap saja penyaluran kredit bank masih seret, dan likuiditas bank semakin berlimpah.

“Yang membuat ekonomi turn around ternyata adalah belanja pemerintah yang sebagian besar adalah social assistance seperti BLT, PKH (program keluarga harapan), sembako. Tidak banyak orang yang pinjam dari bank,” ujarnya.

Kemudian agar bank berani mengucurkan kredit Chatib menyarankan pemerintah memberikan penjaminan kredit, subsidi bunga. “Ini programnya sudah ada. Ketika aktivitas ekonominya normal, baru kasih insentif pajak.

Pertumbuhan belanja pemerintah pada kuartal III tahun ini memang naik hingga 9,76% dibandingkan kuartal II yang terkontraksi 6,9%. Perkembangan belanja pemerintah dapat dilihat pada databoks berikut.

Menurut dia transfer BLT sangat efektif membuat konsumsi membaik walau masih terkontraksi. “Jump start-nya adalah stimulus fiskal. Kalau permintaan sudah naik baru kita akan melihat adanya dampak terhadap investasi. Karena investasi akan merespon naik kalau sudah ada permintaan,” kata Chatib.

Adapun realisasi anggaran perlindungan sosial dalam program penanganan virus corona Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional telah mencapai Rp 200,18 triliun atau 98,2% dari pagu Rp 203,9 triliun per 30 Oktober 2020. Selengkapnya dapat dilihat pada databoks berikut:

Senada, pendiri Ancora Group, dan mantan Menteri Perdagangan periode 2011 – 2014 pada masa pemerintahan Presiden SBY, menilai pemulihan ekonomi dan daya beli masyarakat pada 2021 bergantung pada secepat dan sedalam apa bantuan yang dapat diberikan untuk mendorong permintaan.

Kemudian apakah pemulihan ini dapat lebih meluas akan tergantung pada secepat apa pemerintah bisa melakukan vaksinasi dan menjamin ketersediaan vaksin. Pelaksanaan tes Covid-19 yang baru sekitar 2,1% dari total populasi masih belum menggambarkan kondisi pandemi secara keseluruhan untuk pengambilan keputusan.

Dia menilai ketidakpastian akibat risiko kesehatan ini masih akan berlangsung 2 hingga 3 tahun ke depan. “Sektor retail itu tidak bisa lepas dari bagaimana kita menempatkan dana untuk mendorong daya beli masyarakat,” ujar Gita pada acara webinar yang sama.