Menghitung Risiko Gagal Bayar Utang Pemerintah yang Dikhawatirkan BPK

rudall30/123RF
Ilustrasi.
Penulis: Agustiyanti
25/6/2021, 20.24 WIB
  • BPK khawatir pemerintah tak mampu membayar utang yang membengkak akibat Pandemi Covid-19.
  • Utang pemerintah mencapai per Mei 2021 mencapai Rp 6.4185 triliun.
  • Pemerintah memastikan utang terkelola dengan baik.

Kenaikan utang pemerintah mencapai lebih dari Rp 1.000 triliun selama Pandemi Covid-19. Kondisi ini membuat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) khawatir pemerintah tak mampu membayar utang dan bunga utang di masa depan. Hingga Mei 2021, total utang pemerintah mencapai Rp 6.418,5 triliun, melonjak 22% dibandingkan periode yang sama tahun lalu Rp 5.258,7 triliun.

Kekhawatiran BPK disampaikan usai merilis laporan pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat 2020 pada awal pekan ini. Audit yang dilakukan BPK setiap tahunnnya itu juga mencakup review atas kesinambungan fiskal yang secara sederhana menggambarkan dampak dari kebijakan fiskal pada kondisi fiskal saat ini dan masa depan.

"Tren penambahan utang yang jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan PDB memunculkan kekhawatiran penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang," kata Ketua BPK Agung Firmansyah dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa (22/6).

Berdasarkan data yang dipaparkan dalam laporan BPK, utang pemerintah telah naik lebih dari tiga kali lipat. Pertumbuhan utang pemerintah selalu berada di atas pertumbuhan PDB. Pertumbuhan terendah pada 2011 sebesar 7,57% dan tertingggi pada tahun lalu mencapai 27%.

Data pertumbuhan secara lengkap seperti tertulis dalam laporan BPK dapat dilihat di bawah ini.

Tahun2011201220132014201520162017201820192020
Utang Pemerintah1.8091.9782.3752.6093.1653.5113.9944.4664.7866.080
Kenaikan %7,57%9,33%20,11%9,82%21,33%10,93%13,76%11,81%7,17%27,02%

*Utang pemerintah dalam triliun rupiah

Adapun biaya utang yang terdiri dari pembayaran bunga utang dan cicilan pokok pemerintah mengalami tren yang berubah-ubah. Pertumbuhan bunga utang paling tinggi terjadi pada 2014, 2016, dan 2018 yang mencapai di atas 30%.

Sementara tahun lalu, biaya utang turun 8,4% dibanding 2019. Ini karena pelunasan pokok utang yang turun 18,83% menjadi Rp 456 triliun, sedangkan pembayaran bunga utang naik 14% menjadi Rp 456 triliun. 

Di sisi lain, tren pertumbuhan penerimaan negara dan Produk Domestik Bruto justru menurun dalam 10 tahun terakhir. Pada 2011, penerimaan negara dan PDB mampu tumbuh masing-masing 21,64% dan 15,08%. Namun pada tahun lalu, penerimaan negara dan PDB terkontraksi masing-masing minus 15,96% dan minus 2,52%.

BPK melihat terdapat ketidakkonsistenan antara pertumbuhan utang, pembayaran bunga utang, penerimaan perpajakan, dan pertumbuhan PDB harga berlaku. Ketidaksinkronan antara pertumbuhan utang dan bunga utang dengan penerimaan negara dan PDB, menurut BPK, memicu kekhawatiran kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang. Ketidaksinkronan tersebut juga menimbulkan adanya risiko gagal bayar di masa depan.

Kerentanan utang pemerintah, menurut BPK juga terlihat pada data-data utang pada tahun lalu yang sudah melampaui batas yang direkomendasikan Dana Moneter Internasional (IMF) dan/atau International Debt Relief (IDR).

Agung Firman menjelaskan, rasio debt service Indonesia terhadap penerimaan mencapai 46,77, melampaui rekomendasi IMF sebesar 25-35%. Rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan yang mencapai 19,06%, melampaui saran IDR sebesar 4,6-6,8% dan rekomendasi IMF sebesar 7-10%.

Lalu rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369% juga melampaui rekomendasi IDR sebesar 92-167% dan rekomendasi IMF 90-150%. Demikian pula dengan indikator kesinambungan fiskal tahun 2020 yang sebesar 4,27% melampaui batas yang direkomendasikan The International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 5411 – Debt Indicators, yaitu di bawah 0%.

Melihat kondisi-kondisi tersebut, BPK pun meminta pemerintah untuk berhati-hati dalam mengelola utang. Lembaga ini menenkankan, kesinambungan fiskal dapat mempengaruhi keadilan antargenerasi. "Menjaga utang pemerintah tetap terkendali dan kemampuan bayar sangat penting demi menjaga kelancaran fungsi ekonomi," demikian tertulis dalam laporan BPK.

Lonjakan Utang yang Tak Terhindarkan

Pemerintah melalui Undang-Undang Nomer 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk penanganan Pandemi Covid-19 telah mengatur pelonggaran defisit APBN diatas 3%. Tahun lalu, berdasarkan audit BPK, defisit anggaran mencapai Rp 947,7 triliun. 

Defisit terjadi karena belanja negara membengkak mencapai Rp 2.595,48 triliun, sedangkan penerimaan negara hanya sebesar Rp 1.647,78 triliun. Defisit anggaran yang melebar pun berdampak pada kenaikan utang.

 

Dirjen Pembiayaan dan Pengelola Risiko Luky Alfirman menjelaskan, pandemi merupakan kejadian luar biasa. Hampir semua negara mengambil kebijakan melawan siklus dengan menggelontorkan stilumus yang berdampak pada melebarnya defisit anggaran.

"IMF memberikan standar aman untuk rasio utang di kisaran 25% hingga 30% terhadap PDB, tetapi tidak ada negara yang rasio utangnya berada di kisaran itu," ujar Luky kepada Katadata.co.id, Kamis (24/6).

Rasio utang Indonesia pada tahun lalu yang mencapai 39,39% bahkan berada di bawah negara-negara sesama Asia maupun G20. Rasio utang Filipina mencapai 47,07%, Thailand 49,64%, Tiongkok 66,83%, Jepang 256,22%, dan Amerika Serikat 127,11%.

Berdasarkan data Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, rasio utang pemerintah pada 2019 dan 2020 bahkan berada di posisi tiga terendah di antara negara-negara G20. Rasio utang Indonesia hanya berada di bawah rusia yang mencapai 18,94% terhadap PDB dan Arab Saudi 33,42% terhadap PDB pada tahun lalu. Sementara negara lainnya seperti India memiliki rasio utang 89,33% terhadap PDB, Afrika Selatan 78,82% terhadap PDB, Brazil mencapai 108,03%.

Bersambung ke halaman berikut: Strategi Pemerintah Agar Tak Gagal Bayar

Halaman:
Reporter: Agatha Olivia Victoria