Nasib Film Indonesia Usai Terpukul Covid, Seperti Turah atau Gundala?

ANTARA FOTO/REUTERS/Edgar Su/FOC/dj
Ilustrasi. Pemutaran film luar ruangan di Singapura, Kamis, 7 Januari 2021.
Penulis: Maesaroh
30/8/2021, 08.20 WIB
  • Pandemi Covid-19 membuat bioskop berkali-kali ditutup.
  • Protokol kesehatan saat pandemi menurunkan jumlah penonton bioskop.
  • Pandemi semakin menyuburkan bisnis nonton film lewat platform online.

Seperti pergulatan Rama dalam The Raid 2: Berandal yang harus menghadapi serangan bertubi-tubi dari musuhnya di penjara, begitulah gambaran perfilman Indonesia selama pandemi Covid-19. Belum habis perjuangan melawan kebijakan monopoli film impor, perfilman Indonesia mesti berjuang melawan perlambatan ekonomi yang berujung ke daya beli,  pembatasan mobilitas, budaya streaming ilegal, serta puncaknya penutupan bioskop.

Menyusul pandemi corona merebak di Tanah Air, pemerintah memutuskan untuk menutup bioskop pada 23 Maret 2020. Padahal, sepanjang kuartal pertama tahun lalu, sejumlah film Indonesia tayang dan mampu menarik banyak penonton seperti Milea: Suara dari Dilan, Nanti Kita Cerita Hari Ini, Akhir Kisah Cinta Si Deol, Mangkujiwo, hingga Mariposa.

Data FilmIndonesia.or.id menyebutkan pada Januari-Maret 2020, ada 28 judul film Indonesia yang tayang di bioskop dengan jumlah penonton menembus 12,5 juta, sebuah angka yang memberikan rasa optimisme di awal tahun.
Di bulan Maret, produser dan rumah produksi juga tengah menyiapkan film-film terbaiknya untuk tayang pada periode lebaran (Mei).

Seperti diketahui, berbeda dengan film Hollywood yang mengandalkan musim panas sebagai pendulang cuan, maka periode Lebaran adalah masa emas bagi perfilman Indonesia untuk mendongrak pendapatan. Namun, badai pandemi kemudian datang dan meruntuhkan semua optimisme. 

Pemerintah membuka kembali bioskop pada akhir Oktober 2020 menyusul penurunan kasus Covid-19. Kendati sudah dibuka, minat penonton untuk kembali ke bioskop belum pulih. Selain karena pelemahan daya beli masyarakat, penurunan jumlah penonton terjadi lantaran aturan protokol kesehatan (prokes) yang ketat seperti larangan makan dan minum dan pembatasan kapasitas tempat duduk. Pilihan film yang sedikit juga membuat penonton enggan balik ke bioskop.

Beberapa film Indonesia hadir di bioskop pada Januari-Maret tetapi kurang mampu menarik penonton seperti Bangkitnya Mayit: The Dark Soul serta Saidjah dan Adinda.  Kerugian akibat penutupan bioskop dari jumlah tiket penonton selama tujuh bulan pada tahun 2020 diperkirakan mencapai hampir Rp 2 triliun.  Kerugian dipastikan membengkak jika menghitung penjualan makanan dan minuman.

Besarnya kerugian tercermin dari laporan keuangan PT Graha Layar Prima yang mengelola jaringan CGV. Perusahaan tersebut membukukan kerugian sebesar Rp 455,83 miliar pada 2020, berbalik dari untung Rp 83,34 miliar pada tahun sebelumnya.

Pada awal Maret 2021, insan perfilman bahkan menyurati  Presiden Joko Widodo untuk turun tangan dan membantu membangkitkan kembali perfilman Indonesia. Surat ini juga menjadi bagian dari keprihatian bersama menjelang Hari Perfilman Nasional yang jatuh pada 30 Maret. 

"lndustri film adalah bagian penting dari Indonesia. Para pembuat film harus terus berkarya dan membuat film-film yang dicintai penontonnya sendiri dan dihargai di mata dunia. Bioskop harus bisa bertahan karena di sanalah film-film kami dipertemukan dengan penontonnya," demikian salah satu kutipan dalam  surat insan perfilman yang ditujukan kepada presiden.

Memasuki musim Lebaran 2021,  perfilman Indonesia mulai menggeliat terbukti dengan jumlah penonton yang mulai naik. Beberapa film mampu mendatangkan penonton dalam jumlah yang cukup signifikan terutama Tarian Lengger Maut serta Kuyang: The Movie.

Daftar film tayang pada tahun 2021 (instagram/filmindonesia.or.id)




Ketika tengah berusaha bangkit, pemerintah kembali menutup bioskop  menyusul diberlakukannya PPKM Darurat pada 3 Juli 2021. Bioskop belum juga dibuka kembali sampai hari ini, Minggu (29/8) bahkan saat pemerintah sudah membuka kembali mal serta mengizinkan layanan dine in bagi restoran.

"Tolong bioskop dibuka. Selama ini kan terbukti, tidak ada kluster (Covid-19) yang terdeteksi karena pembukaan bioskop. Kami tidak cengeng, tapi tolong pertimbangkan," tutur Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) Djonny Syafruddin, kepada Katadata, Sabtu (28/8).

Djonny menambahkan penutupan bioskop dalam kurun waktu yang lama tidak hanya akan memukul industri perfilman tetapi juga berdampak besar terhadap 12.000 pekerja di bioskop. Asesmen untuk membuka dan menutup bioskop selama PPKM juga menurutnya kurang jelas. "Itu kan berubah-ubah, dulu PSBB, PPKM lah tapi kita diminta tutup. Kalau sudah sampai keterlaluan tutup-tutup terus, kita bisa tutup permanen," tandasnya.

Industri Film Jatuh, Bangkit, Bersemi, Kemudian Roboh Karena Pandemi

Produser film sekaligus CEO dari MD Pictures Manoj Punjabi mengatakan hantaman keras yang menimpa perfilman Indonesia di masa pandemi datang dalam bentuk berbagai rupa, mulai dari penutupan bioskop, keengganan masyarakat datang ke bioskop, sekaligus proses produksi.

"Yang paling berat tentu saja proses produksi. Bagaimana kami bisa syuting kalau ada pembatasan-pembatasan seperti PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat)," kata Manoj kepada Katadata, Jumat (27/8).

MD Pictures setidaknya harus mengundur jadwal syuting serta penayangan sejumlah film andalannya, seperti KKN Desa Penari yang direncanakan tayang pada Lebaran 2020 tapi belum diputar sampai sekarang.

Sejarah mencatat perfilman Indonesia beberapa kali terpuruk, bahkan pernah mati suri pada periode 1991-1998 karena kehadiran film dalam bentuk VCD. Animo masyarakat untuk menonton film nasional bangkit menjelang awal 2000. Secara mengejutkan film anak-anak Petulangan Sherina membawa kembali penonton Indonesia ke bioskop. Film musikal yang tayang Juni 2000 tersebut mampu menyedot sekitar 1,4 juta penonton. 

Keberhasilan Petualangan Sherina mendorong sineas Indonesia untuk memproduksi lebih banyak film nasional. Film-film laris kemudian hadir seperti Jelangkung, Ada Apa Dengan Cinta, Eiffel Iam in Love, Arisan, serta Ayat-Ayat Cinta.

Industri perfilman nasional kian semarak ketika Presiden Joko Widodo pada 2014 merevisi Daftar Negatif Investasi (DNI).  Revisi tersebut mengizinkan investor asing masuk dalam industri perfilman baik dalam produksi maupun distribusi.  Kebijakan ini berdampak besar terhadap kenaikan jumlah bioskop di Indonesia, terutama kota-kota kecil.

Berdasarkan data Film Indonesia.or.id, pada 2012, Indonesia hanya memiliki 145 bioskop dengan 609 layar. Jumlah ini meningkat tajam menjadi 343 bioskop dengan 1.756 layar pada Desember 2018. Dengan demikian, dalam enam tahun terakhir, jumlah bioskop bertambah hingga 136,5% dan jumlah layar bertambah hingga 188,34 persen. Sepanjang 2019, terdapat penambahan 78 bioskop dengan 286 layar dari 5 bioskop berjaringan dan bioskop independen.



Meluasnya akses menonton film di kota-kota kecil Indonesia berdampak besar terhadap jumlah penonton film nasional. Puncaknya pada 2018,  bioskop Indonesia memutar 132 judul film nasional dan mampu menyedot 51 juta penonton,  sebuah rekor tertinggi dalam sejarah Indonsia. Film Dilan 1990 menjadi juara dengan 6,32 juta penonton.  Tahun 2018 juga disebut sebagai masa keemasan kedua dalam khazanah perfilman Indonesia setelah keemasan pertama pada 1970-an.

Pesatnya industri film nasional juga turut memperbesar andil sektor ekonomi kreatif terhadap produk domestik bruto (PDB). Berdasarkan data Badan Ekonomi Kreatif Indonesia (Bekraf), pada 2018, kontrbusi ekonomi kreatif terhadap PDB nasional mencapai Rp 1.105 triliun, meningkat dibandingkan pada tahun 2015 sebesar Rp 852 triliun.
Sayangnya, saat tengah bersemi kembali, perfilman Indonesia dihadapkan pada cobaan pandemi Covid-19 yang membuat industrinya tenggelam.

Perkembangan jumlah penonton film Indonesia 2017-2019 (Film Indonesia.or.id)
 



Peluang dan Harapan bagi Industri Film Indonesia

Meskipun menenggelamkan keriuhan menonton film di bioskop, pandemi juga menawarkan peluang baru bagi sineas Indonesia untuk tetap berkarya dan menghadirkan film nasional bagi penonton. Penyedia konten dari Over The Top (OTT) menawarkan pengalaman menonton di rumah selama pandemi. Tidak kurang dari  KlikFilm, Bioskoponline.com, iFLIX, Vidio, OkeFlix, Netflix, hingga Go Play hadir untuk memutar film Indonesia.

"Saya percaya digital adalah masa depan kita. Kalaupun nanti bioskop kembali dibuka penuh tahun depan, MD tetap mengalokasikan 90% kontennya di digital. Bukan berarti pandemi membuat bisnis film hancur tetapi kita harus lihat advantage dan disadvantages nya," ujar Manoj.

MD memutuskan untuk menayangkan Surga Yang Tak Dirindukan 3 di saluran Disney + Hotsar daripada di bioskop. Sejak pandemi, puluhan film nasional memilih untuk tayang di platform online dibanding di bioskop, seperti Mudik, Guru-Guru Gokil,  Story of Kale, Sejuta Sayang Untuknya, hingga Sabar Ini Ujian. "Opportunity itu selalu ada. Ada yang bisa menutupi produksi, ada yang tidak," kata Manoj.

Kendati platform online menjamur, Manoj mengatakan menonton film di rumah tidak sama dengan di bioskop yang menawarkan teknologi serta pengalaman yang berbeda. Dari segi industri, film yang ditayangkan di bioskop juga bisa mendatangkan pendapatan dalam jumlah besar. Misalnya, jika film laku bisa jadi franchise, sementara OTT tidak bisa.

Sependapat dengan Manoj, Djonny percaya bahwa perfilman Indonesia beserta industri bioskop akan kembali bangkit. Sejarah membuktikan bahwa industri film beberapa kali menghadapi ujian berat karena perkembangan teknologi atau krisis. Namun, penonton akan kembali ke bioskop pada waktunya. 

"Dulu ada persoalan kehadiran TV swasta, VCD, DVD yang mengganggu perkembangan bioskop dan film. Tetapi akhirnya bisa balik lagi," Djonny menuturkan. "Tinggal bagaimana kreativitas pembuat filmnya. Tentu tidak bisa bangkit dengan cepat, tapi pelan-pelan."

 Saat menyurati presiden, insan perfilman meminta pemerintah untuk memberikan bantuan kepada perfilman Indonesia agar segera bangkit melalui berbagai paket stimulus, subsidi, serta perlindungan hukum dan kesehatan. Menurut mereka, film tidak hanya menyumbang kepada perekonomian tetapi juga memberikan identitas bangsa.

Melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 2,4 triliun rupiah untuk sektor ekonomi kreatif termasuk sub-sektir film. Namun, belum ada detail program yang dibeberkan untuk  sub-sektor film. "Ada begitu banyak hal yang bisa dibantu terutama promosi. Tinggal bagaimana pemerintahnya mau seperti apa," ujar Manoj.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno (2/8) mengatakan dana bantuan PEN untuk sektor pariwisata dan ekonomi kreatif sebesar Rp 2,4 triliun sudah cair.  Pihaknya pun akan  mempercepat penyaluran kepada pelaku usaha pariwisata agar mereka segera bangkit dari keterpurukan akibat pandemi Covid-19.

Sejarah menunjukan perfilman Indonesia bisa bangkit secara mengejutkan lewat Petulangan Sherina ataupun tumbuh pesat melalui bantuan pemerintah lewat DNI. Kini tinggal menunggu apakah nasib perfilman Indonesia akan menyerah seperti tokoh Turah dalam film Turah atau berhasil bangkit menjadi pahlawan yang lebih kuat setelah tersambar petir seperti tokoh Sancaka dalam film Gundala.