Menggantung Nasib Perpanjangan Moratorium Sawit

123rf.com/asnida marwani
Ilustrasi lahan kelapa sawit.
Penulis: Sorta Tobing
23/9/2021, 16.40 WIB

Dari kasus di Papua Barat, sekitar 650 ribu hektare sawit yang telah diberikan, ternyata hanya sekitar 52 ribu hektare yang benar-benar ditanam pohon sawit. “Potensi kerugian negara dari pajak sangat besar dari masalah ini,” kata CEO Yayasan EcoNusa Bustar Maitar.

Laporan Greenpeace International di bulan April 2021 menemukan, hampir 1 juta hektare hutan di Provinsi Papua mengalami pelepasan sejak 2000. Laporan tersebut juga menilai moratorium kelapa sawit yang berlaku sejak pada 19 September 2018 belum mencapai hasil yang ideal.

Banyak regulasi yang memiliki celah. Dari sisi penegakan hukum pun masih lemah. Semua masalah ini mengancam kehidupan masyarakat adat.

Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Arie Rompas menyebut, hilangnya kebijakan moratorium akan mengarah ke konsekuensi yang serius. Evaluasi perizinan lahan akan berhenti total. Industri sawit akan kembali ke business as usual. “Pelanggaran kebijakan akan diabaikan dan memperparah konflik serta kerusakan lingkungan ke depan,” kata Arie.

Pelanggaran terutama terjadi dalam hal Izin Usaha Pembangunan (IUP). Banyak perusahaan melakukan aktivitas di kawasan hutan primer dan gambut, bahkan di wilayah masyarakat adat. Pemberian izin hanya menjadi legitimasi pembukaan lahan, tanpa perhatian pada deforestasi maupun konflik lahan yang meluas.

Berdasarkan jenis izin yang tercatat pada 2020, perkebunan sawit yang sedang dalam proses dan sudah memiliki hak guna usaha (HGU) baru 35,06%. Padahal, HGU merupakan basis hukum pengoperasian perkebunan sawit untuk kepemilikan privat dan negara.

Apabila perkebunan sawit sudah dikelola sebelum mendapat HGU, artinya  perusahaan pemilik perkebunan tidak melewati prosedur formal pengusahaan sawit. Dampaknya, perusahaan tersebut tidak membayar bea pelayanan HGU yang menyebabkan negara kehilangan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Karena itu pemerintah harus memperpanjang moratorium berdasarkan pelanggaran berbagai IUP dan juga kurangnya tata kelola sawit yang baik. “Ini harus menjadi bahan pijakan untuk menentukan perpanjangan dan memperkuat moratorium,” kata  Arie.

Kepala Ekonom PT Bahana Sekuritas Putera Satria Sambihantoro berpendapat harga CPO akan terkoreksi kalau pemerintah tidak memperpanjang moratorium. Langkah ini dapat menjadi sinyal Indonesia bakal menambah pasokan sehingga menekan harga minyak sawit mentah. 

Pemerintah, Satria memperkirakan, akan melanjutkan moratorium sawit. Selain harga, kritik keras bakal datang dari dunia internasional apabila Indonesia tidak melanjutkan langkah pencegahan deforestasi.

Sebagai informasi, harga CPO saat ini sedang tinggi dan menjadi pendongkrak devisa. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia memperkirakan sumbangan devisa sawit mencapai US$20 miliar pada tahun 2020.

Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) mencatat, harga CPO untuk pengiriman November berada di kisaran US$ 1.200 per metrik ton. Angkanya melambung tinggi dibandingkan periode November 2020 yang berada pada US$ 800 per metrik ton. 

Harga sawit mengalami koreksi pada Maret 2020 di kisaran US$ 500 per metrik ton. Perlahan-lahan angka ini naik pada kuartal ketiga. Para analis memperkirakan kenaikan bakal terus terjadi tahun ini karena India akan merayakan Diwali dan Eropa memasuki musim dingin. 

Kehadiran moratorium diperkirakan dapat memberi nilai tambah produk sawit Indonesia di pasar global. Kebijakan ini berpihak pada penurunan laju deforestasi secara signifikan, yang didukung dunia internasional.

Halaman:
Reporter: Maesaroh, Antara