Mengapa Jokowi Ingkar Janji Demi Danai Kereta Cepat Jakarta-Bandung?

123rf.com/Jiang Yifan
Ilustrasi kereta cepat Jakarta-Bandung.
Penulis: Sorta Tobing
12/10/2021, 18.23 WIB

Untuk menggarap kereta cepat Jakarta-Bandung, Tiongkok menganggarkan 213 juta yuan atau sekitar 32,9 juta per kilometer. Padahal, untuk proyek serupa di negaranya hanya sekitar 100 juta yuan, seperti pembangunan jalur Wuhan-Guangzhou.

Target kereta cepat dapat beroeprasi pada 2018 juga dinilai terlalu optimistis. Perkiraan ini jauh lebih cepat dari proposal Jepang pada 2021. Seorang pejabat Jepang menyebut, Tiongkok berpotensi tak mampu menyelesaikan proyek yang dijanjikan.

Menteri Rini memastikan, skema bisnis konsorsium adalah business to business, tidak memakai anggaran negara, dan tanpa jaminan pemerintah. Sebagian besar biaya proyek berasal dari China Development Bank dengan bunga 2% untukk 40 tahun masa kerja.

Total pinjamannya sebanyak 75% dari nilai proyek. Utang itu memakai komponen dolar Amerika Serikat. “Selama 10 tahun grace periode, 30 tahun pengembalian,” katanya. 

Infografik_Biaya proyek kereta cepat cina membengkak (Katadata)

Awal 2016 groundbreaking proyek kereta cepat terlaksana. Presiden Joko Widodo hadir dalam acara peletakan batu pertama tersebut. Menteri Jonan tidak mendampingi. 

Masalah lain lalu muncul. Kementerian Perhubungan tak kunjung menerbitkan izin usaha proyek. Jonan saat itu dianggap mempersulit proyek. Namun, ia beralasan ada sejumlah syarat yang belum dipenuhi konsorsium. 

KCIC, menurut Jonan, belum sepakat dengan Kementerian Perhubungan soal konsesi. Perusahaan ingin mengubah kesepakatan dengan meminta ganti rugi dari pemerintah apabila proyek merugi. 

Namun, Kementerian menekankankan konsensinya dibatasi paling lama 50 tahun tanpa masa perpanjangan. Izin diberikan sejak ditandatangani kontrak, bukan saat awal operasi. Saat masa konsesi selesai, maka semua infrastruktur harus diserahkan ke negara.

Di sisi lain, KCIC juga meminta hak eksklusif jalur tersebut. Mereka tidak ingin ada jalur kereta lain sepanjang Jakarta-Bandung. Kementerian menolak dan berpendapat pemberian hak ini melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian karena menimbulkan monopoli. 

Pada Mei 2016, KCIC akhirnya mengantongi izin usaha. Perjanjian konsesi pun telah disepakati dengan pemerintah. Izin diberikan selama 30 tahun sejak Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 160 dikeluarkan pada tanggal 17 Maret 2016. Setelah jangka waktunya habis, perusahaan bisa memperpanjangnya selama 20 tahun lagi.

Progres pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung. (ANTARA FOTO/M Ibnu Chazar/hp.)

Beban Berat APBN untuk Kereta Cepat

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah berpendapat, masuknya APBN dalam pembiayaan kereta cepat membuat kewajiban bagian pemerintah atau governement contingent liabilities pada APBN bertambah besar. 

Risiko keuangan yang timbul dapat bersifat langsung. “Akibat pembayaran klaim terhadap pembiayaan BUMN infrastruktur yang memperoleh jaminan pemerintah,” ucap Piter. 

Pembangunan infrastruktur BUMN penuh risiko. Salah satunya, proyek tersebut kemungkinan tidak ekonomis secara komersial. Ada pula risiko fiskal, seperti fluktuasi ekonomi makro dan perubahan regulasi. Termasuk di dalamnya, penentuan tarif yang tidak sesuai dengan rencana pengembalian investasi.

Kemudian, risiko operasional yang melekat pada pembangunan proyek infrastruktur, lalu risiko operasional dari pengelolaan aset infrastruktur yang dapat menurunkan kinerja keuangan BUMN, dan tuntutan hukum.

Terakhir adalah risiko politik. Pengelolaan proyek ini dapat masuk ke isu tersebut. “Apalagi kalau nanti terbukti ada masalah. Misalnya, penyalahgunaan kekuasaan atau korupsi,” ucap Piter.   

Karena itu pemerintah dan konsorsium BUMN harus berhati-hati dalam melaksanakan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. “Pertanyaan publik terkait mengapa terjadi lonjakan biaya harus benar-benar tuntas dijawab,” ujarnya. 

Anggota Komisi V DPR RI Toriq Hidayat mempertanyakan penunjukan KAI sebagai pemimpin konsorsium saat proyek bermasalah.  "Saya tidak ingin proyek kereta cepat ini malah menjadi sumber masalah yang bisa membuat aset milik KAI berpotensi tergadaikan," katanya kemarin, dikutip dari Antara.

Mega proyek kereta cepat, menurut politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, terus mengalami pembengkakan biaya. Pembangunannya pun belum prioritas sehingga pemerintah harus menunda proyek yang tidak perlu.

Pada 18 Mei lalu, Jokowi sempat meninjau proyek tersebut. Ia mengatakan, proses konstruksinya telah mencapai 73%. “Awal tahun depan sudah masuk ke persiapan untuk operasi. Diharapkan akhir 2022 kereta cepat Jakarta-Bandung sudah diuji-coba dan masuk ke operasional,” katanya.

Harapannya, proyek strategis tersebut dapat terintegrasi dengan moda transportasi lainnya, seperti kereta cepat ringan (LRT) dan moda raya terpadu (MRT) di DKI Jakarta. Dengan begitu akan tercipta efisiensi waktu dan jarak tempuh untuk meningkatkan daya saing kegiatan ekonomi.

Soal harga tiket, pada 2019 KCIC memutuskan angkanya di Rp 300 ribu per orang untuk penumpang kelas 2. Harga tiket kereta api reguler saat ini untuk tujuan serupa adalah Rp 150 ribu hingga Rp 300 ribu. Dengan kehadiran kereta cepat, maka waktu tempuh menjadi 45 menit.

Penggunaan APBN dikhawatirkan tidak hanya berhenti sampai proses konstruksi tetapi terus berlanjut sampai operasional. Secara keekonomian, proyek kereta cepat tidak menguntungkan.

Biaya operasional kemungkinan besar tidak tertutupi oleh pendapatan dari tiket atau yang lain. "Investasinya sampai Rp 100 triliun, belum lagi operasionalnya. Memangnya tiket mau dijual berapa Rp 1 juta? Nanti pakai subsidi (tiket) lagi, beban lagi  kan (ke APBN), memang mau pakai duitnya siapa?" kata pengamat kebijakan publik Agus Pambagio. 

Penyumbang bahan: Amartya Kejora (magang)

Halaman:
Reporter: Intan Nirmala Sari, Abdul Azis Said