Menilik Pengelolaan Limbah Elektronik

123RF.com/Weerapat Kiatdumrong
Ilustrasi sampah elektronik
Editor: Yuliawati
3/2/2022, 10.00 WIB

Jasa Pengelola Limbah Elektronik

Enam perusahaan terdaftar di Kementerian Lingkungan Hidup sebagai pengolah atau pendaur ulang limbah elektronik. Mereka menawarkan layanan yang berbeda-beda. Ada yang hanya mengumpulkan, dismantling, lantas ekspor. Tapi, beberapa perusahaan telah memanfaatkan logam berat dalam limbah elektronik sebagai bahan baku baru (ingot).

Satu di antaranya adalah Universal Eco. Perusahaan yang memiliki fasilitas pemulihan material di Serang, Banten ini telah mengantongi izin pengolahan limbah elektronik dari Kementerian Lingkungan Hidup.

Universal Eco menawarkan teknologi ramah lingkungan untuk mengolah limbah domestik dan B3 yang bersumber dari area komersial, industri, dan fasilitas pelayanan kesehatan. Perusahaan melayani konsumen dari berbagai daerah seperti Jakarta, Tangerang, Banten, Jawa Timur, dan lainnya.

Head of Specific Waste Universal Eco, Alifia Intan Safitri, mengatakan pemerintah telah menerbitkan aturan pengelolaan limbah jenis B3, dengan berbagai perizinan yang harus dipenuhi. Universal Eco telah memiliki beberapa izin mengelola limbah B3, mulai dari pengumpulan hingga pemrosesan akhir.

Pertama, proses pengangkutan limbah B3, perusahaan memiliki izin khusus untuk memindahkan limbah B3 dari suatu lokasi pengelolaan ke pengelolaan lain. Kedua, izin Tempat Penampungan Sementara (TPS) skala nasional untuk menampung limbah elektronik yang berkode (B107d).

Ketiga, izin pengolahan limbah B3 dengan metode pembakaran atau insinerasi. Proses ini menggunakan mesin incinerator atau tungku pembakaran yang dapat mengubah limbah padat menjadi abu (bottom ash dan fly ash).

Dalam proses pembakaran, perusahaan mengklaim menggunakan teknologi ramah lingkungan yakni rotary kiln incinerator. Insinerator jenis ini dapat mengurangi massa atau volume limbah, dan menghancurkan patogen berbahaya. Sisa bottom ash dan fly ash dari insinerator akan ditangani oleh perusahaan.

Universal Eco melayani beberapa konsumen industri dan produsen penghasil. Misalnya, bongkaran mesin. "Seperti di rumah sakit alat CT Scan bongkaran yang besar, kemudian mesin-mesin bongkaran dari industri juga ke kami," kata Alifia. "Kebanyakan kami menerima dalam bentuk bongkaran."

Perusahaan berencana memperluas lini bisnis, yang menyasar pengolahan dan pemanfaatan limbah elektronik dari rumah tangga. Proyek ini ditargetkan dapat terealisasi pada awal 2022.

Tujuannya, mempermudah masyarakat yang bingung memperlakukan atau membuang e-waste. "Kalau ditaruh di rumah berbahaya. Mau dibakar di area sekitar rumah, juga nggak bagus," Alifia menambahkan. Ia meyakinkan, teknik insinerasi yang dimiliki perusahaan aman.

Tumpukan limbah elektronik di tempat penampungan sementara limbah elektronik milik Waryanto. Lokasi Sumur Batu, Bantargebang, Bekasi, Sabtu (11/12/202 (Katadata/Verda Nano Setiawan)




Universal Eco memiliki TPS khusus untuk limbah elektronik yang berlokasi di Bogor dan Serang. Di Serang, tempat penampungan berada di satu kawasan dengan area pengolahan. Perusahaan membuka peluang kerja sama dengan mitra potensial yang telah mengantongi izin pemanfaatan limbah elektronik sektor rumah tangga. Sebab, izin yang dimiliki sejauh ini masih sebatas pada pengolahan.

Untuk jasa pengolahan limbah elektronik, saat ini Universal Eco melayani lebih dari 50 perusahaan skala industri. Perusahaan mampu mengolah limbah elektronik hingga 3 metrik ton dalam setahun.

Pada 2022, perusahaan menargetkan pengolahan limbah elektronik meningkat hingga 5 metrik ton. Tambahan 2 metrik ton diproyeksikan berasal dari pengelolaan limbah elektronik skala rumah tangga. "Insinerator yang kami punya berkapasitas 1 ton per jam. Pembakarannya sesuai jenis limbah," ungkap Alifia.

Selain mengolah limbah elektronik dengan metode insinerasi, Universal Eco juga memiliki program re-use (penggunaan kembali) dan recycle (daur ulang) sampah plastik. Artinya, tidak semua sampah dibakar. "Kalau memang infeksius, nggak bisa dimanfaatkan lagi, harus dibakar." Sebaliknya, sampah yang masih bisa dipakai, seperti plastik, akan manfaatkan.

Peneliti Madya Pengelolaan Sampah di Pusat Teknologi Lingkungan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Sri Wahyono, menjelaskan standar pengelolaan e-waste diatur dalam PP Nomor 27 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik dan PP Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Menurut dia, kedua beleid tersebut cukup memadai. Namun perlu ketentuan dan pedoman turunan. Dari regulasi itu, pemerintah bisa menyusun peta jalan, petunjuk pelaksanaan (juklak), dan petunjuk teknis (juknis) pengelolaan e-waste.

Sri menilai perlu ada kebijakan extended producer responsibility (EPR) dalam peta jalan. Ketentuan ini mengatur tanggung jawab produsen dan importir elektronik terhadap produk yang dibuat atau dijual ketika telah menjadi sampah. Misalnya, mewajibkan mereka menarik kembali (take back) produk bekas, dan melakukan proses daur ulang.

Namun, mekanisme penarikan kembali memerlukan fasilitas dropbox, Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPSS B3), dan pengelola e-waste yang berizin. Selain itu, perlu lembaga keuangan yang mengatur pembiayaan kegiatan daur ulang.

Masyarakat sebagai sumber e-waste juga wajib memilah dan mengumpulkannya. Umumnya, e-waste yang berasal dari rumah tangga masuk ke sektor informal untuk diambil material yang bernilai seperti emas, timbal, logam, dan lainnya. Sisanya, dibiarkan menumpuk begitu saja. Sehingga berpotensi mencemari air, tanah, dan membahayakan masyarakat.

Timbunan limbah elektronik rumah tangga diprediksi terus meningkat setiap tahun. Mengutip keterangan Waste from Electrical and Electronic Equipment (WEEE) Forum via Eurekalert misalnya, produksi e-waste secara global meningkat setiap tahunnya hingga 2 metrik ton atau 3 hingga 4%, bahkan pada 2021 e-waste di dunia diprediksi mencapai 57,4 juta metrik ton.

Sri menilai hal tersebut terjadi seiring dengan kenaikan jumlah penduduk dan perkembangan gaya hidup. Peningkatan jumlah e-waste harus dibarengi dengan upaya pengelolaan yang berkualitas oleh perusahaan. Bukan oleh sektor informal yang ilegal dan justru mencemari lingkungan.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan