Menilik Pengelolaan Limbah Elektronik

123RF.com/Weerapat Kiatdumrong
Ilustrasi sampah elektronik
Editor: Yuliawati
3/2/2022, 10.00 WIB

Bahan Pencemar di Industri Daur Ulang E-Waste

United Nations Environment Programme (UNDP), Global Environment Facility GEF dan Kementerian Perindustrian RI pada 2019 mengeluarkan Panduan Praktis Pedoman Teknis untuk Mereduksi UPOPs di Industri Daur Ulang Plastik E-Waste.

Mengutip panduan tersebut, UPOPs atau Unintentional Persistent Organic Pollutants adalah bahan pencemar organic persisten yang tidak sengaja terbentuk dan bersifat sangat beracun. Bahkan dalam jumlah yang sangat kecil saja dapat menimbulkan efek buruk pada organisme hidup.

Industri daur ulang plastik e-waste merupakan salah satu sumber pembentuk UPOPs. e-waste mengandung plastik termoplas berjenis acrylonitrile butadiene (ABS), high impact polystyrene (HIPS) dan polypropylene (PP) sekitar 20-35% dari total berat peralatan elektronik.

Komponen plastik tersebut dilengkapi dengan senyawa penghambat nyala api (flame retardants, FRs) mengandung senyawa halogen, seperti bromin (Br) dan klorin (Cl) untuk meningkatkan keamanan pengguna terhadap kemungkinan terjadinya nyala api ataupun kebakaran.

Kelompok FRs paling penting dan banyak digunakan adalah BFRs – termasuk PBDE, hexabromocyclododecane (HBCD), dan tetrabromobisphenol A (TBBPA-A). BFRs sangat efektif menghambat nyala api karena adanya komponen halogen (Br) yang menangkap radikal bebas. PBDEs merupakan salah satu prekursor utama pembentuk UPOPs.

Dampak kesehatan akibat paparan UPOPs bagi manusia cukup beragam. Antara lain yakni menyebabkan kanker, penyakit kulit, cacat lahir, dan penyakit lainnya seperti wasting syndrome.

Wasting syndrome adalah kondisi turunnya berat badan yang tidak diinginkan dalam waktu singkat. Dalam kondisi ini penderita akan mengalami kerusakan otot serta mengalami kelelahan, menjadi lemah, gangguan sistem pernapasan, hingga kematian. Tak hanya itu, paparan UPOPs juga akan memunculkan penyakit seperti Thymic atrophy.

Thymic atrophy adalah kondisi dimana hilangnya sel-sel kelenjar timus, yang berfungsi untuk memproduksi sel darah putih limfosit. Kemudian, Hepatic porphyria dimana kondisi peningkatan pigmen dalam tubuh secara tidak wajar.

Dalam buku panduan tersebut setidaknya terdapat empat potensi pembentukan dan pelepasan UPOPs di industri daur ulang plastik e-waste. Terdiri dari proses penyimpanan bahan baku hingga produksi barang plastik dari e-waste.

- Penyimpanan bahan baku e-waste di ruang terbuka. Proses penyimpanan seperti ini berpotensi membentuk dan melepaskan UPOPs akibat paparan sinar matahari (pembentukan UPOPs secara fotokimia).

- Pencacahan plastik e-waste. Proses pencacahan plastik e-waste (shredding) berpotensi membentuk dan melepaskan UPOPS karena adanya gesekan material plastik dengan pisau-pisau mesin pencacah. UPOPs yang terbentuk memiliki kecenderungan yang tinggi untuk melekat pada debu halus hasil pencacahan.

- Produksi pelet plastik dari cacahan plastik e-waste. Pemrosesan cacahan plastik e-waste menjadi pelet plastik melalui ekstrusi berpotensi membentuk dan
melepaskan UPOPs karena melibatkan panas
(thermal stress).

- Produksi barang plastik dari pelet plastik e-waste. Pencetakan pelet plastik e-waste menjadi barang plastik juga berpotensi menyebabkan pembentukan
dan pelepasan POPs karena melibatkan panas
(thermal stress).

Oleh karena itu, dalam buku panduan ini terdapat beberapa rekomendasi dalam proses penanganan, pengumpulan, pelabelan, pengangkutan, dan penyimpanan bahan baku e-waste.

Pertama, e-waste harus dikemas dengan benar untuk memudahkan transportasi dan mengurangi risiko terjadinya kebocoran dan tumpahan. Kedua, e-waste harus dihindarkan dari paparan sinar matahari langsung dan tetesan air hujan.

Ketiga, pelepasan dan pembuangan komponen e-waste ke lingkungan, baik dalam bentuk gas/cairan/padatan, perlu dihindari. Keempat, komponen e-waste yang tidak bisa diolah atau tidak terpakai diserahkan ke fasilitas khusus yang mampu mengolah komponen tersebut; tidak langsung dibuang ke lingkungan.

Kelima, penanganan e-waste sebaiknya dipisahkan dari limbah jenis lain untuk mencegah terjadinya kontaminasi. Keenam, inspeksi wadah penyimpanan dilakukan secara berkala meliputi pemantauan terhadap adanya kebocoran, lubang, karat atau temperatur tinggi, pengemasan ulang dan pelabelan yang tepat sesuai kebutuhan. Terakhir, pembersihan dilakukan secara terjadwal terutama untuk menghindari penumpukan debu dan komponen e-waste yang tak termanfaatkan (good housekeeping).

Gurih Lapak Limbah Elektronik

Namun SAMPAH elektronik yang kian menggunung adalah berkah bagi Waryanto. Ratusan juta rupiah mengalir ke rekeningnya, saban pekan, dari limbah berharga ini. Dia memiliki sembilan karyawan terdiri dari enam tukang sortir dan tiga orang supir, pria 39 tahun ini telah menggelar lapak e-waste sejak 2012 lalu.
 
Waryanto menggandeng 12 pelapak lain yang tersebar di beberapa wilayah di Pulau Jawa, untuk membantu ketersediaan pasokan e-waste. Delapan pelapak memasok limbah dalam bentuk mentah, dan empat lainnya melalui proses penyortiran. Waryanto mengaku banyak mendulang cuan dari bisnis daur ulang komponen plastik yang terdapat pada perangkat elektronik.

Dalam sepekan, lapak Waryanto bisa menghasilkan plastik daur ulang --berbentuk biji plastik-- hingga 25 ton. Sebanyak 15 ton di antaranya dikapalkan ke luar negeri, dan sisanya untuk domestik. Dari jumlah itu, ia bisa mengantongi pendapatan lebih dari Rp 100 juta.

"Pemasukan minggu ini Rp 115 juta. Rata rata Rp 100 juta per minggu," katanya saat ditemui di rumahnya, kawasan Sumur Batu, Bekasi, Jawa Barat.

Waryanto, salah satu pelapak limbah elektronik Rumah Tangga saat ditemui di Rumahnya. Lokasi Sumur Batu, Bantargebang, Bekasi, Sabtu (11/12/2021). (Katadata/Verda Nano Setiawan)




Pria asal Cepu, Jawa Tengah ini juga mendapat pendapatan ekstra dari proses pengumpulan berbagai jenis logam yang berasal dari perangkat elektronik. Seperti tembaga, kuningan, dan perak.

Dalam setahun, Waryanto mampu mengumpulkan berbagai material campuran logam hingga mencapai 20 kuintal. Dari lini bisnis ini, dia mendapat tambahan Rp 50 juta.

Masih ada lagi pemasukan dari proses pemanfaatan komponen plastik dan pengumpulan besi. Khusus untuk pengumpulan logam, dia menerapkan sistem bagi hasil dengan para karyawan yang berhasil menjual ke industri peleburan.

Saat memulai bisnis, Waryanto mengaku tak memerlukan perizinan sama sekali. Menurut dia, proses izin diperlukan jika pelapak atau pengepul memiliki mesin pengolahan.

Tanpa mesin, Waryanto hanya mengandalkan jasa pihak lain untuk melakukan proses pencacahan plastik dari perangkat elektronik menjadi biji plastik. "Saya ini nggak ada mesin. Jadi pelapak biasa saja,” ia menuturkan.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan