Bintang Cesario melakukan perubahan besar di masa pandemi. Setelah lima tahun lebih menggunakan mobil konvensional, ia akhirnya berpaling ke mobil listrik.

Lelaki 32 tahun ini menjual mobilnya pada pertengahan 2021 lalu. Pada Oktober, ia akhirnya membawa pulang satu unit mobil Hyundai Ioniq untuk menggantikan mobil lamanya. 

Bintang awalnya hendak membeli satu mobil konvensional tambahan. Sebab, karyawan bank swasta ini terkendala kebijakan ganjil-genap setiap kali berangkat ke kantornya di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat.

Ia mulai menonton puluhan video review mobil di Youtube. Sampai akhirnya dia terkesima dengan segudang keunggulan mobil listrik. “Ternyata mobil listrik tidak kena ganjil-genap,” katanya saat berbincang dengan Katadata.

Mobil listrik menjawab satu masalah yang dialami Bintang. Ia mulai menghitung untung-rugi mobil listrik sebelum menjatuhkan pilihan. Salah satu yang ia pertimbangkan yalni nilai keekonomiannya.

Soal bahan bakar, misalnya, Bintang biasa menghabiskan Rp 2 juta per bulan saat masih memakai mobil berbahan bakar minyak. Sementara dengan mobil listrik, dia cuma menggelontorkan Rp 360 ribu setiap bulan.

Bintang merinci, Hyundai Ioniq punya kapasitas 40 kWh. Dengan listrik rumahan ia cuma perlu mengeluarkan Rp 1.500 per kWh atau sekitar Rp 60.000 dalam sekali cas. Kapasitas baterai penuh itu bisa digunakan untuk menempuh 350 kilometer. Dalam sebulan, Bintang cuma perlu enam kali mengecas mobilnya.

“Jadi memang lebih hemat. Apalagi pajak mobil listrik itu cuma Rp 1 juta-an per tahun,” ujarnya.

Bintang boleh jadi anomali di antara pengguna mobil listrik. Pasalnya, mobil listrik biasanya difungsikan sebagai mobil kedua atau ketiga. Namun bagi Bintang, Ioniq inilah satu-satunya kendaraan yang ia miliki.

Kendati menawarkan banyak keunggulan, mobil listrik belum jadi pilihan utama banyak orang. Salah satu batu sandungannya adalah soal harga. Hyundai Ioniq, misalnya, dibanderol sekitar Rp 700 juta. Bandingkan misalnya dengan 10 mobil paling laris di Indonesia, di mana sebagian besar ada di harga Rp 200 - 300 juta.

Membeli mobil listrik juga berarti harus menyiapkan pasokan listrik rumahan yang melimpah. Instalasi charger Ioniq butuh daya setidaknya 7.700 watt. Memang tersedia juga charger portabel yang cuma butuh 2.200 watt daya saja. Namun, charger ini membutuhkan waktu 13 jam untuk mengisi penuh baterai mobil, dibandingkan 5 jam dengan menggunakan home charging. 

“Investasi di awal memang lumayan, tetapi benefit-nya menurut saya sepadan,” kata Bintang.

BCA HADIRKAN SPKLU UNTUK UMUM (ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/tom.)
 

Pamer Transisi Energi di Ajang G20

Beberapa bulan menjelang Presidensi G20 di Bali pada November 2022 mendatang, pemerintah tampak kian getol mendorong penetrasi ekosistem kendaraan listrik. Pada 16 Maret lalu, sebagai contoh, Presiden Joko Widodo ikut meluncurkan Hyundai Ioniq 5.

Mobil listrik ini dianggap istimewa sebab dirakit di pabrik Hyundai di Bekasi. “Ini menjadi mobil listrik pertama yang dibuat di Indonesia yang memenuhi kebutuhan Indonesia dan ekspor," kata Jokowi.

Sembilan hari kemudian, Presiden juga terbang ke Bali untuk meresmikan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) Ultra Fast Charging pertama di Indonesia. Fasilitas ini mengusung kapasitas 200 KW dan diklaim cuma butuh 30 menit untuk mengisi daya mobil listrik.

Pemilihan Bali sebagai lokasi SPKLU menegaskan komitmen pemerintah yang ingin mengusung isu transisi energi di perhelatan G20. Pemerintah akan mengerahkan mobil-mobil listrik untuk menyokong aktivitas para delegasi. Setidaknya ada tiga merk mobil yang disiapkan. Selain Hyundai Ioniq 5, ada Hyundai Genesis G80 dari kelas premium dan Toyota bz4X. 

Presiden Jokowi mengatakan, penggunaan mobil listrik di ajang G20 menjadi wujud komitmen Indonesia mendukung transisi energi, terutama dalam upaya pengurangan emisi. “Kita tunjukkan pada dunia bahwa ekosistem kendaraan listrik di Indonesia sudah tumbuh dan berkembang dengan cepat,” kata Kepala Negara saat meresmikan SPKLU di Bali, (25/3).

Guna mendukung aksi ‘pamer’ tersebut, PLN bakal menyiapkan 60 SKPLU Ultra Fast Charging di Bali. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan bakal menyiapkan 21 SPKLU Fast Charging dan 150 home charging guna mendukung KTT G20. Fasilitas ini diharapkan bisa mendukung 656 mobil listrik yang akan beroperasi di ajang tersebut. 

“Untuk jangka panjang, infrastruktur ini kami sediakan tak hanya untuk pertemuan KTT G20, tetapi juga untuk mendukung kebutuhan masyarakat dalam penggunaan kendaraan listrik,” ujarnya.

Beberapa tahun terakhir, PLN memang sangat bersemangat mendorong penetrasi kendaraan listrik di Indonesia. Konsumen mobil listrik seperti Bintang Cesario mengaku mendapatkan banyak keuntungan. 

“Waktu harus menaikkan daya listrik di rumah untuk pasang charger mobil ternyata cuma kena biaya Rp 150.000,” cerita Bintang. “Saya kira bisa sampai jutaan rupiah.”

PLN juga menawatkan diskon tarif listrik hingga 30 % bagi pengguna mobil listrik yang berlaku mulai pukul 22.00 WIB-05.00 WIB.  “Jadi tarifnya bisa turun jadi Rp 1.100 per kWh,” kata Dirut PLN Darmawan Prasodjo. 

Transisi Menuju Nol Emisi

Penetrasi mobil listrik di kalangan konsumen sejatinya hanya menyelesaikan satu dari segunung persoalan yang dihadapi masyarakat global saat ini. Di sektor hulu, pemerintah masih punya pekerjaan rumah untuk memastikan sumber energi yang dipakai untuk mengecas kendaraan listrik juga berasal dari energi baru dan terbarukan (EBT).

Menilik data Kementerian ESDM, hingga akhir 2021 energi fosil memang masih mendominasi bauran energi nasional dengan porsi 88,5 %.  Padahal menurut Executive Director Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, sektor energi menyumbang ⅔ dari total emisi global. 

Sementara itu, laporan World Resource Institute menunjukkan Indonesia ada di peringkat ke-8 sebagai negara penyetor emisi terbesar di dunia.

Indonesia bukan tanpa upaya melakukan transisi menuju energi bersih. Di atas kertas, pemerintah menargetkan bauran EBT mencapai 23 % pada 2025 atau naik dua kali lipat dari kondisi saat ini. Secara pararel, pemerintah juga ingin mengurangi emisi hingga 29 % di 2030.

Direktur Pembinaan Program Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jisman Hutajulu mengatakan pemerintah telah berkomitmen menyediakan energi bersih setidaknya dalam 10 tahun terakhir. Selain menyediakan pembangkit yang bersumber dari EBT, pemerintah telah memperkenalkan Clean Coal Technology (CCT) dan mendorong pembangkit variable renewable energy (VRE) seperti pembangkit tenaga angin 

Inovasi CCT, meskipun bukan tanpa kontroversi, diklaim membuat batu bara bisa menghasilkan energi lebih besar dengan tingkat emisi dan polutan yang lebih sedikit. Skema ini mengacu pada serangkaian teknologi untuk mengoperasikan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) lebih efisien. Salah satu contohnya dengan mengubah batu bara menjadi gas yang dianggap lebih efisien dan ramah lingkungan. 

Indonesia memang punya mimpi besar mendorong transisi energi. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menegaskan pemerintah menargetkan pembangkit EBT bisa bertambah sekitar 11 Gigawatt pada 2025, dengan kontribusi paling besar berasal dari PLTS yang mencapai 3,9 GW. Selain itu, ada juga PLTA sebanyak 3,1 GW, PLTP sebesar 1,4 GW, PLTM/MH sebanyak 1,05 GW, dan biomassa 0,55 GW, dan PLT angin sebesar 0,53 GW. 

“Saat ini pemerintah sedang menyusun Peraturan Menteri terkait pemanfaatan biomassa untuk campuran Pembangkit Listrik Tenaga Uap yang dimiliki oleh PT PLN,” kata Dadan kepada Katadata

Kendati demikian, sejumlah pihak menilai perkembangan target implementasi EBT menuju 23 % bauran di 2025 justru menghadapi banyak tantangan. Menurut catatan IESR, hingga September 2021 total kapasitas terpasang EBT hanya mencapai 10.827 MW atau bertambah sekitar 400 MW. 

Padahal, untuk mencapai target di 2025 dibutuhkan setidaknya 2 GW-3 GW penambahan kapasitas energi terbarukan setiap tahun. Sedangkan agar sesuai dengan Persetujuan Paris, dibutuhkan setidaknya 11 GW-13 GW pembangkit EBT untuk mendekarbonisasi sistem energi di Indonesia.

Executive Director IESR Fabby Tumiwa menilai pemanfaatan energi surya pun terbilang tidak signifikan, hanya meningkat 18 MW yang didominasi PLTS atap. Angka ini terbilang kecil jika menghitung kebutuhan 10 GW-11 GW PLTS atap setiap tahun untuk mendorong bebas emisi pada 2045 di sektor ketenagalistrikan.

Fabby juga menyoroti adopsi kendaraan listrik yang masih jauh dari target. Penjualan kendaraan listrik di bawah 1 % dari total penjualan kendaraan. Hanya sekitar 2.000 mobil listrik dan 5.000 mobil listrik sepeda motor terdaftar, sementara total mobil dan sepeda motor listrik perlu mencapai 1,7 juta dan 100 juta pada tahun 2030.

“Pemerintah harus fokus memperkuat komitmen politik dan memperbaiki kualitas regulasi untuk meningkatkan daya tarik investasi,” kata Fabby, saat meluncurkan laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2O22, Januari silam. 

Di sisi lain, pemerintah sejatinya sudah merancang sejumlah inisiatif untuk mendorong transisi energi. Ini misalnya menaikkan porsi baruan EBT menjadi 51% dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Selain itu, sebanyak 9,2 GW PLTU batu bara juga bakal dipensiunkan.

Namun menurut Fabby, upaya tersebut belum cukup ambisius untuk mencapai netral karbon di pertengahan abad ini. “Kebijakan energi di Indonesia juga belum memberikan rasa aman bagi pengembang untuk berinvestasi di energi terbarukan,” Fabby menambahkan. 

Infografik_Warga negara G20 mana penghasil emisi karbon terbesar (Katadata/ Pretty Juliasari)
 

Butuh Uluran Tangan

Rencana mempensiunkan PLTU memang tidak semudah yang dibayangkan. Dirjen EBTKE Dadan Kusdiana menyebutkan PLTU akan dipensiunkan di akhir umur ekonomisnya. “Dapat dipensiunkan lebih cepat jika ada bantuan dari negara maju atau lembaga keuangan,” kata Dadan. 

Dadan bahkan menyatakan hingga 2025 belum akan ada PLTU yang dipensiunkan dini. Kendati demikian, pemerintah tengah mengkaji beberapa pembangkit seperti PLTU Celukan Bawang, PLTU Adipala, dan PLTU Pacitan untuk diganti dengan pembangkit EBT. 

Salah satu kendala rencana mempensiunkan PLTU memang terkait dengan pendanaan. Menurut Dadan, transisi energi membutuhkan dana hingga US$ 1 triliun untuk pembangkit dan US$ 135 miliar untuk transisi hingga 2060. 

Salah satu lembaga yang sudah berkomitmen mendukung transisi energi di Indonesia adalah Asian Development Bank (ADB). Kementerian keuangan juga sudah meluncurkan kerja sama dengan lembaga ini pada November 2021 untuk menerapkan Mekanisme Transisi Energi (Energy Transition Mechanism/ETM). 

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan transisi menuju energi yang lebih bersih dan ramah lingkungan perlu dilakukan tanpa membebani keuangan negara. Untuk melakukannya, diperlukan kombinasi antara menurunkan ketergantungan terhadap pembangkit listrik bertenaga batu bara, dan dalam waktu bersamaan membangun energi alternatif yang lebih hijau. 

Skema ETM yang ditawarkan ADB merupakan suatu bentuk pembiayaan campuran (blended finance) yang dirancang untuk mempercepat penghentian pembangkit listrik bertenaga batu bara dan membuka investasi untuk energi bersih. ADB sedang menganalisis kelayakan implementasi ETM terhadap beberapa PLTU di Indonesia, setelah melalui tahapan studi pra-kelayakan.

“Hingga saat ini mekanisme ETM masih dalam proses pembahasan di Kementerian Keuangan,” kata Dadan. 

Penyumbang Bahan: Jonathan Vincent

Reporter: Amelia Yesidora

Dalam rangka mendukung kampanye penyelenggaraan G20 di Indonesia, Katadata menyajikan beragam konten informatif terkait berbagai aktivitas dan agenda G20 hingga berpuncak pada KTT G20 November 2022 nanti. Simak rangkaian lengkapnya di sini.