Di depan gedung parlemen Swedia, Riksdag, remaja putri 15 tahun itu melakukan protes. Penderita sindrom asperger, suatu spektrum autisme yang mempengaruhi kemampuan untuk bersosialisasi dan berkomunikasi secara efektif, ini membentangkan poster bertuliskan “Skolstrejk för klimatet” yang berarti “mogok sekolah demi iklim”.
Tak ada yang menemani Greta Thunberg pada Agustus 2018 kala itu. Greta gagal meyakinkan teman-teman sekolahnya untuk ikut menekan pemerintah Swedia agar berusaha lebih keras mencapai target emisi karbon. Greta kemudian melancarkan demonstrasi ini setiap Jumat yang kemudian bergema menjadi gerakan “Fridays for Future”.
Aksi tersebut lalu mendunia. Pada Desember 2018, sekitar 20.000 anak sekolah yang tersebar dari Inggris hingga Jepang mengikuti langkah Greta untuk “bolos” sekolah setiap Jumat. Mereka menuntut perlindungan lingkungan yang lebih tegas.
Pada 20 September 2019, Greta memimpin aksi iklim yang diikuti lebih dari empat juta orang di dunia. Puncaknya, pada November 2019, lebih dari 100 juta orang dari 130 negara menggelar aksi iklim. Tahun itu menjadi kebangkitan protes perubahan iklim global, termasuk di Indonesia.
Berdasarkan perhitungan Fridays for Future.org, sudah ada 115 aksi protes iklim di Indonesia sejak 15 Maret 2019 hingga 1 April 2022. Pandemi Covid-19 tak menyurutkan animo untuk melakukan aksi yang bergeser ke ranah virtual.
Dunia di Ambang Kegagalan Mencegah Pemanasan Global
Pada setiap aksinya, Greta selalu mengkritik para pemimpin dunia. Dia mengatakan bahwa mereka tak berbuat banyak untuk mengendalikan emisi karbon untuk mencegah perubahan iklim, dan hanya memberikan janji-janji manis yang kosong.
“Kalian telah merampas mimpi dan masa kecil kami dengan kata-kata kosong kalian,” kata Greta pada pidato di konferensi iklim PBB di New York pada 2019.
Apa yang dikatakan Greta beberapa tahun lalu itu ada benarnya. Menurut laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) Februari 2022, dunia berada di ambang kegagalan untuk menjaga agar kenaikan suhu udara global tak melebihi 1,5°-2° Celsius pada 2030.
Sebab, agar suhu udara global tak naik lebih dari 1,5°-2° Celsius, dunia perlu memangkas emisi karbon dan gas rumah kaca sebesar 45 % pada 2030 dan mencapai net zero emission pada 2050.
“Faktanya, emisi karbon global akan naik 14 % sepanjang dekade ini (hingga 2030), yang akan menghancurkan setiap peluang untuk menjaga asa 1,5° Celsius tetap hidup. Ini akan berarti bencana,” kata Sekretaris Jenderal PBB António Guterres.
Laporan IPCC menyebutkan pemanasan global menyebabkan cuaca ekstrem seperti peningkatan gelombang panas, kekeringan, dan banjir. Saat ini kondisinya melebihi ambang batas toleransi tanaman dan hewan, serta mendorong kematian massal pada spesies pohon dan karang.
Cuaca ekstrem ini terjadi secara bersamaan. Dampaknya, jutaan orang mengalami kerawanan pangan dan air yang akut, terutama di Afrika, Asia, Amerika Tengah dan Selatan, di Pulau-Pulau Kecil dan di Kutub Utara.
Untuk menghindari meningkatnya korban jiwa, keanekaragaman hayati, dan infrastruktur, diperlukan tindakan ambisius untuk beradaptasi dengan perubahan iklim. Dan pada saat yang sama mengurangi emisi gas rumah kaca yang cepat dan dalam.
Laporan IPCC juga menyebutkan bahwa batu bara dan bahan bakar fosil lainnya mencekik umat manusia. Guterres menyerukan agar semua negara G20 memenuhi komitmen mereka untuk menghentikan pendanaan batu bara di luar negeri dan melakukan yang sama di dalam negeri, serta mempensiunkan armada batu bara.
Raksasa minyak dan gas pun tak lepas dari sorotan. “Anda tidak dapat mengklaim sebagai hijau sementara rencana dan proyek Anda merusak target-target net zero 2050 dan mengabaikan penurunan emisi karbon besar yang harus dicapai pada dekade ini,” kata Guterres.
Meski demikian, laporan tersebut juga mengungkapkan perkembangan yang menggembirakan pada pendanaan proyek-proyek hijau. “Ketika dampak iklim memburuk, peningkatan investasi sangat penting menjaga untuk kelangsungan hidup. Itu sebabnya saya mendorong agar 50 % dari semua pendanaan iklim dialokasikan untuk adaptasi,” tambahnya.
Ambisi dan Komitmen Indonesia Menangani Perubahan Iklim
Lalu apa saja yang telah dilakukan pemerintah Indonesia dalam menurunkan emisi karbon dan upaya mencegah kenaikan suhu udara global lebih dari 1,5°-2° Celsius pada 2030?
Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) melalui skema Nationally Determined Contribution (NDC) yang berdasarkan Perjanjian Paris 2015. NDC telah dua kali mengalami perbaruan di antaranya dengan peningkatan pada ambisi adaptasi dan kejelasan mitigasi.
Dalam pembaruan NDC terakhir pada 22 Juli 2021, Indonesia berkomitmen menurunkan target emisi gas rumah kaca tanpa syarat menjadi 29 %. Bila ada dukungan internasional, targetnya naik menjadi 41 % dibandingkan dengan skenario business as usual (BAU), masing-masing 834 metrik ton CO2 ekuivalen (CO2e) dan 1.185 metrik ton CO2e.
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Laksmi Dhewanthi mengatakan, NDC mulai terlaksana pada 1 Januari 2021. “Sampai dengan Desember 2020, semua negara mengikuti protokol Kyoto,” ujarnya kepada Katadata.co.id.
Indonesia tak termasuk dalam negara Annex I dalam Protokol Kyoto yang sebagian besar terdiri dari negara maju yang memiliki kewajiban untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. “Indonesia belum memiliki kewajiban itu namun secara sukarela berkomitmen. Sehingga, realisasi penurunan emisi sampai sekarang dalam tahap dimulai,” kata Laksmi.
Meski bersifat sukarela, Indonesia telah menetapkan target penurunan emisi. Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pada 2016 hingga 2018, Indonesia gagal mencapai target penurunan emisi karbon dan gas rumah kaca. Namun pada 2019 hingga 2021 kinerja penurunan emisi selalu di atas target.
Pada 2019 Indonesia berhasil menekan emisi sebesar 54,8 juta ton ton CO2 ekuivalen (CO2e) dari target 51 juta ton. Setahun kemudian, penurunan emisi mencapai 64,4 juta ton CO2e dari target 58 juta ton, dan pada 2021 mencapai 69,5 juta ton CO2e dari target 67 juta ton. Simak databoks berikut ini.
Indonesia bertaruh pada sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya (forestry and other land use/FOLU) untuk mencapai target penurunan emisi. Kontribusinya 24,1 %, sementara sektor energi kontribusinya 15,5 %.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, seperti proyek pemerintah lainnya, target pengurangan emisi juga membutuhkan dana. Untuk mencapai target NDC 2030, Indonesia membutuhkan setidaknya Rp 4,52 kuadriliun (US$ 310 miliar).
Pemerintah telah mengalokasikan sekitar 4,1 % dari anggaran negara untuk mengurangi emisi. Antara 2018 dan 2020, sekitar Rp 102,6 triliun disisihkan dari anggaran nasional, meskipun hanya menutupi sepertiga dari proyeksi biaya pengurangan emisi untuk periode tersebut.
“Itulah mengapa mencapai komitmen NDC tidak bisa dilakukan oleh pemerintah sendiri. Kami membutuhkan korporasi, masyarakat, dan seluruh ekosistem untuk ikut serta,” kata Sri Mulyani.
Dekarbonisasi Sektor Energi
Menurut laporan Kementerian ESDM, pencapaian dekarbonisasi pada sektor energi berasal dari pemanfaatan pembangkit listrik energi baru dan terbarukan alias EBT. Pada 2021, implementasi pembangkit EBT membantu Indonesia mengurangi emisi 30,34 juta ton CO2e.
Institute for Essential Services Reform (IESR) mengungkapkan bahwa sektor energi menyumbang ⅔ dari total emisi global. Sementara Indonesia, menurut data World Resource Institute (WRI), berada pada peringkat ke-8 negara penghasil emisi terbesar di dunia.
Untuk dekarbonisasi sektor energi, pemerintah akan meningkatkan porsi pembangkit EBT dalam bauran energi nasional menjadi 23 % pada 2025. Ini bukan target yang mudah lantaran sampai akhir 2021, porsi EBT baru mencapai 11,5 %, di bawah target dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sebesar 14,5 % untuk 2021.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana mengatakan rendahnya capaian bauran EBT disebabkan pandemi Covid-19 yang membuat pelaksanaan sejumlah proyek EBT terhambat.
Di sisi lain, kenaikan penggunaan energi fosil cukup besar, khususnya untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Apalagi Indonesia masih memiliki proyek 35.000 megawatt (MW) yang sebagian besar didominasi oleh pembangkit energi fosil, terutama batu bara.
Meski demikian Dadan mengatakan pemerintah tetap optimistis target porsi EBT sebesar 23 % dalam bauran energi nasional pada 2025 dapat tercapai. “Mulai mengurangi pembangkit listrik tenaga uap. Harapannya, dengan PLTU dikurangi dan ditingkatkannya EBT, gap antara target RUEN dan realisasi 2022 semakin kecil,” ujarnya.
Target porsi EBT tahun ini ditetapkan 15,7 %. Untuk mendorong peningkatan menuju 23 % pada 2025, ada beberapa upaya yang dilakukan pemerintah.
Pertama, penyelesaian Peraturan Presiden tentang harga EBT. Kedua, implementasi Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 tahun 2021 tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap. Ketiga, mandatori bahan bakar nabati, yakni penggunaan biodiesel B30 atau pencampuran 30 % biodiesel dengan 70 % minyak solar.
Keempat, pemberian insentif fiskal dan non-fiskal untuk EBT. Kelima, kemudahan perizinan berusaha. Keenam, mendorong permintaan ke arah energi listrik melalui penggunaan kendaraan listrik dan kompor listrik.
Selain itu, dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030, pemerintah telah menetapkan porsi EBT yang lebih besar dibandingkan energi fosil yakni 51% berbanding 49%. RUPTL ini diklaim sebagai yang terhijau. Selain itu pemerintah juga akan mempensiunkan 9,2 GW PLTU sebelum 2030.
Untuk mengurangi porsi PLTU ini bukan perkara mudah. Pasalnya, pembangkit tersebut menjadi sumber utama listrik di Indonesia. Pada 2021 porsinya 51,68 % atau 36,98 gigawatt (GW) dari total kapasitas pembangkitan listrik yang mencapai 71,55 GW. Simak databoks berikut ini.
Dari 9,2 GW PLTU yang akan dipensiunkan sebelum 2030, 5,5 GW akan dihentikan tanpa diganti dengan pembangkit listrik EBT. Dan untuk mengganti 3,7 GW sisanya dengan pembangkit EBT membutuhkan investasi sekitar Rp 372 triliun.
Meski demikian, Dirjen EBTKE Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan bahwa belum ada PLTU yang pensiun sampai dengan 2025, melainkan diganti dengan pembangkit listrik tenaga minyak gas. Selain itu, pensiun PLTU dilakukan di akhir usia ekonomisnya, dan hanya dipensiunkan lebih dini jika ada bantuan internasional. Pensiun PLTU ini akan berkontribusi pada penurunan emisi total sebesar 53 juta ton CO2e.
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan, untuk mencapainya, Indonesia akan bermitra dengan pihak internasional dalam aspek technology sharing dan capacity building, bantuan teknis, dan akses teknologi terkini. Demikian juga dalam peningkatan investasi di di bidang ETB, efisiensi energi, dan proyek infrastruktur.
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Ego Syahrial juga menegaskan dukungan dari lembaga pembiayaan internasional dalam menyelesaikan masalah perubahan iklim di sektor energi. Pemerintah Inggris, Republik Federal Jerman, dan Kerajaan Denmark, menunjukan komitmennya untuk mendukung transisi energi Indonesia.
“Kami juga telah mengumpulkan lembaga pembiayaan internasional, yaitu Bank Pembangunan Asia dan Bank Dunia mengenai bagaimana reformasi fiskal dan struktural perlahan membantu Indonesia keluar dari ketergantungan penggunaan batubara secara bertahap,” kata Ego.
Upaya lainnya untuk menurunkan emisi karbon dari sektor energi termasuk penangkapan karbon, baik pengembangan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture and storage/CCS) maupun penangkapan, pemanfaatan, dan penyimpanan karbon (carbon capture utilisation and storage/CCUS).
Kemudian pengembangan teknologi batu bara bersih (clean coal technology) melalui gasifikasi batu bara berkalori rendah menjadi dimethyl ether (DME) dan co-firing biomassa. Ada juga penerapan nilai ekonomi karbon melalui perdagangan karbon maupun pajak karbon.
Implementasi teknologi CCS/CCUS dan batu bara bersih pun penuh dengan tantangan karena membutuhkan investasi besar. Menurut analis Energi Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), Putra Adhiguna, untuk mengembangkan teknologi ini di Indonesia nyaris tidak mungkin terjadi dalam waktu dekat.
Teknologi CCUS bisa berjalan ketika ditempatkan pada konteks operasional tertentu, misal pada negara dengan harga karbon tinggi dan regulasi yang ketat terhadap emisi. Selain Singapura, hampir tidak ada harga karbon yang signifikan di pasar Asia Tenggara.
“Sementara CCUS intinya memberlakukan 'pajak' untuk terus mengeluarkan emisi. Di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia, proyek CCUS yang dikembangkan terfokus pada produksi gas, bukan pembangkit listrik,” ujar Putra.
Biaya CCUS bervariasi mulai dari di bawah US$ 50 hingga lebih dari US$ 100 per ton CO2 yang tertangkap. Selama ini ada klaim yang menyebutkan bahwa biaya CCUS untuk pembangkit listrik terus turun. Padahal, klaim itu kebanyakan hanya berbasis studi, dan menimbulkan banyak pertanyaan menyusul kegagalan proyek CCUS kelistrikan di Amerika Serikat (AS).
Di tengah keraguan itu, sudah ada 10 proyek pengembangan CCUS di Indonesia, meski hanya satu yang dikembangkan untuk batu bara. Proyek study of CCUS for coal to DME ini digarap Pertamina dengan potensi penyimpanan CO2 sebesar 13-65 juta ton selama 20 tahun.
Sementara itu, keekonomian gasifikasi batu bara berkarbon rendah menjadi dimethyl ether (DME) menjadi sorotan karena Indonesia belum memiliki teknologinya. “Tidak mudah direalisasikan, terutama karena faktor keekonomiannya. Dibutuhkan skala besar dan jangka panjang,” kata Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia kepada Katadata.co.id.
Meski demikian, proyek gasifikasi batu bara mulai berjalan di Indonesia oleh perusahaan pengolahan gas dan kimia asal AS, Air Products and Chemicals Inc. bekerja sama dengan PT Bukit Asam Tbk. Air Products akan menggelontorkan investasi sebesar US$ 15 miliar atau sekitar Rp 210 triliun untuk membangun industri gasifikasi batu bara dan turunannya di Indonesia.
Kesepakatan investasi tersebut berupa pendirian fasilitas gasifikasi untuk konservasi batu bara bernilai rendah menjadi produk kimia bernilai tambah tinggi seperti metanol, DME (Dimethyl Ether), dan bahan kimia lainnya.
Jalan Panjang Penerapan Pajak Karbon
Upaya lain pemerintah untuk menurunkan emisi karbon yakni dengan mengesahkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.
Perpres Nilai Ekonomi Karbon mengatur tiga mekanisme carbon pricing, yakni perdagangan karbon, pungutan atau pajak atas karbon, dan pembayaran berbasis kinerja atas penurunan emisi karbon.
“Adanya regulasi pasar karbon dalam bentuk Perpres tentang NEK membuka peluang Indonesia untuk menerima pendanaan lebih luas dalam pengendalian perubahan iklim,” kata Direktur PPI Kementerian LHK Laksmi Dhewanthi.
Awalnya pemerintah berencana menerapkan pajak karbon pada PLTU pada April 2022. Namun diundur menjadi pada Juli 2022. Penundaan ini antara lain karena pemerintah masih menggodok aturan pelaksana secara komprehensif.
Aturan pajak karbon tertuang dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan Perpres Nilai Ekonomi Karbon. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan penundaan dilakukan agar ada konsistensi antara kedua beleid tersebut.
“Kami ingin memastikan konsistensi kebijakan pajak karbon agar juga sesuai dengan konteks Perpres NEK,” ujarnya. “Selain masalah aturan pelaksana, penundaan juga dilakukan untuk menjaga daya beli masyarakat. Penerapan pajak karbon berpotensi mengerek tarif listrik.”
Rambu-rambu teknis pajak karbon tengah disusun Kementerian Keuangan, antara lain tarif dan dasar pengenaan, cara penghitungan, pemungutan, pembayaran atau penyetoran, pelaporan, serta peta jalan pajak karbon. Sementara aturan teknis lainnya, seperti batas atas emisi untuk subsektor PLTU dan tata cara penyelenggaraan NEK pada pembangkit tenaga listrik, akan ditetapkan oleh Kementerian ESDM.
Pemerintah juga sedang menyusun berbagai aturan turunan dari Perpres agar instrumen pengendalian iklim berjalan optimal. Ini antara lain terkait tata laksana penyelenggaraan NEK dan NDC di Kementerian LHK, dan Komite Pengarah NEK di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.
“Isu iklim lintas sektor. Koordinasi akan terus kami jaga dan perkuat agar peraturan melengkapi satu sama lain,” kata Febrio.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan kerumitan yang muncul dari rencana pengenaan pajak karbon. Pasalnya pajak karbon yang dikenakan antara satu negara dan negara lain berbeda. Ini berpotensi menimbulkan kebocoran yang ingin dihindari pemerintah.
“Ada negara yang mematok harganya US$ 3, US$ 25, bahkan US$ 40. Harga berbeda-beda akan membuka kemungkinan kebocoran. Jadi rezim dan kebijakan pasar karbon ini memang cukup rumit,” ujar Menkeu.
Oleh karena itu, Indonesia akan menerapkan kebijakan ini secara berhati-hati dan bertahap. Apalagi, Indonesia masih dalam proses pemulihan ekonomi. “Climate change ini hampir dipastikan terjadi jika melihat kenaikan suhu dunia. Oleh karena itu, kami menyiapkankan perangkat regulasi,” kata Sri Mulyani.