Bersiap Era Suku Bunga Murah Segera Berakhir

deniskot/123rf
Ilustrasi. BI diperkirakan mulai menaikkan suku bunga acuan pada semester kedua tahun ini.
Penulis: Agustiyanti
13/6/2022, 11.24 WIB
  • Bank-bank sentral negara maju dan emerging market mulai menaikkan bunga acuan merepons lonjakan inflasi. 
  • Inflasi Indonesia akan melampui target Bank Indonesia, yakni mencapai di atas 4%. 
  • Bank Indonesia diperkirakan menaikkan suku bunga mulai semester kedua tahun ini. 

Pandemi Covid-19 mendorong bank-bank sentral dunia, termasuk Bank Indonesia menurunkan suku bunga hingga ke level terendah dalam sejarah. Namun, kondisi kini berbalik. Perang Rusia dan Ukraina yang memicu lonjakan harga energi dan pangan memaksa bank-bank sentral bergerak cepat mengendalikan inflasi tinggi. 

Suku bunga rendah memberikan manfaat bagi konsumen. Salah satunya, Audry, pegawai swasta yang mendapatkan suku bunga murah saat mengajukan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) pada tahun lalu. Ia memperoleh KPR dari PT Bank Negara Indonesia Tbk dengan bunga tetap selama tiga tahun, yakni sebesar 4,75% untuk tahun pertama dan kedua, serta 6,75% untuk tahun ketiga. 

“Memang ada kebutuhan untuk membeli rumah dan bunga yang ditawarkan juga cukup murah. Kebetulan sedang ada kerja sama antara bank dengan developer jadi dapat bunga promo,” ujar Audry kepada Katadata.co.id. 

Menurut Audry, bunga KPR yang diperolehnya terbilang murah dibandingkan bank lainnya yang masih berada dalam rentang 7% hingga 8%. Ia pun sadar, bunga yang harus dibayarkan setelah bunga tetap berakhir akan jauh lebih mahal. 

“Dengan bunga 4,75% cicilannya saat ini jadi terjangkau, di kisaran Rp 3 juta. Kemarin sudah tanya-tanya juga kalau floating mungkin akan ada di kisaran 11% atau 12%,” katanya. 

Audry sebenarnya was-was dengan cicilan KPR yang akan dibayarkannya nanti jika bunga promo yang saat ini dia nikmati berakhir. Ia berharap pendapatannya dan suami nantinya sudah meningkat saat harus membayar cicilan lebih mahal. 

Bank Indonesia saat ini masih mempertahankan suku bunga acuan sebesar 3,5%, terendah sepanjang sejarah. Sementara berdasarkan survei harga properti dan residensial kuartal I 2022 yang dirilis BI, rata-rata bunga KPR pada Maret 2022 mencapai 8,11%, turun dibandingkan periode yang sama tahun lalu 8,55%. 

BI telah mempertahankan suku bunga acuannya selama 15 bulan berturut meski banyak bank sentral lain yang sudah mulai mengerek bunga untuk menahan gejolak inflasi. Di Indonesia, inflasi memang masih relatif terkendali yakni mencapai 3,55% secara tahunan pada Mei 2022. Meski begitu, angka inflasi ini adalah yang tertinggi selama pandemi. 

Sementara jika menengok negara lain, seperti Amerika Serikat, angkanya sudah mencapai 8,3% pada April. Inflasi Inggris mencapai 9%, Brasil 12,1%, Meksiko 7,7%, India 7,8%, dan Rusia 17,8%. Negara-negara tersebut pun sudah mulai mengambil tindakan untuk mengerem inflasi dengen menaikkan bunga acuan. 

Bank Sentral AS telah menaikkan suku bunga acuannya sebesar 1,5% sejak mengumumkan pengetatan moneter. Gubernur The Federal Reserve Jerome Powell memastikan tak akan segan-segan menaikkan suku bunga acuan hingga inflasi terkendali pada kisaran target 2%. 

The Fed akan kembali menggelar rapat yang menentukan arah suku bunga acuannya pada pekan ini. Data inflasi AS pada Mei 2022 yang masih  menanjak 8,6% secara tahunan, tertinggi dalam empat dekade memicu kekhawatiran pasar. Para investor khawatir The Fed akan lebih agresif menaikkan bunga dan menyebabkan resesi ekonomi semakin dekat. 

Langkah The Fed  yang mulai menaikkan bunga telah ditiru banyak negara. Bank Sentral India dan Australia telah menaikkan suku bunga dua kali, masing-masing 90 bps dan 100 bps. Sementara Bank Sentral Brasil sudah jauh lebih dulu menaikkan suku bunga sejak Maret 2021 hingga mencapai lebih dari 10% menjadi 12,75%. 

Bank Sentral Eropa pada Kamis (9/6) baru saja mengumumkan rencana untuk menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 bps mulai bulan depan, kenaikan bunga ini merupakan yang pertama dalam 11 tahun terakhir. ECB juga berpotensi menaikkan bunga lebih tinggi pada September yang berarti mengakhiri era suku bunga negatif. 

Suku bunga acuan ECB saat ini masih ditetapkan sebesar minus 0,5%. Ini berarti bank tak mendapatkan bunga dan justru dibebankan biaya saat menempatkan dana di bank sentral. Kebijakan bunga negatif sudah diterapkan Eropa selama delapan tahun untuk mendorong penyaluran kredit dan perekonomian yang lesu sejak krisis Yunani. 

Kenaikan Bunga BI dan Dampaknya

Data inflasi menjadi acuan utama BI sebelum memutuskan untuk mengubah kebijakan suku bunga. Gubernur BI Perry Warjiyo berulang kali memastikan masih akan mempertahankan suku bunga rendah hingga ada tanda-tanda kenaikan inflasi. 

"Inflasi terkendali mengurangi keharusan BI untuk merespons melalui suku bunga sebagaimana bank sentral negara lain," ujar Perry dalam konferensi pers hasil rapat dewan gubernur BI pada pertengahan bulan lalu. 

Inflasi pada Mei yang mencapai 3,55% secara tahunan tak lepas dari intervensi pemerintah mengendalikan harga. Pemerintah dalam rapat dengan Badan Anggaran DPR RI mengusulkan tambahan subsidi energi Rp 350 triliun agar tarif listrik, harga BBM dan LPG tak perlu naik.

Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam kerja dengan DPD pada pekan lalu mengatakan, terkendalinya inflasi di dalam negeri tak lepas dari peran APBN. Ia membandingkan kondisi inflasi Indonesia dengan Mesir dan Turki. Kedua negara ini mengalami inflasi dua digit karena tak menahan kenaikan harga energi dan pangan yang harganya terkerek secara global sebagai dampak perang Rusia dan Ukraina.  

"Saya bicara dengan banyak menkeu. Dengan menkeu Turki soal inflasinya yang mencapai 73,5%, jauh sekali dengani Indonesia. Mereka mengatakan bahwa harga-harga energi tidak diabsorbsi, di-pass through sehingga inflasi langsung naik," kata Sri Mulyani, Selasa (7/6).

Meski kini inflasi masih terkendali, Badan Pusat Statistik telah memperingatkan dampak kenaikan harga pangan global seperti tepung dan kedelai akan segera merembet ke Indonesia Kepala BPS Margo Yuwono mengatakan, transmisi dari kenaikan harga dua komoditas pangan tersebut ke dalam negeri sebetulnya sudah mulai terasa, tetapi baru sampai di level pedagang besar atau grosir.

Pemerintah dan Bank Indonesia pun telah mengubah proyeksi inflasi di akhir tahun melampaui target 4%. Kenaikan inflasi terutama dikhawatirkan terjadi pada paruh kedua tahun ini.

Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) juga melihat inflasi sebagai risiko ekonomi yang harus diwaspadai Indonesia pada tahun ini. Lembaga ini memperkirakan Bank Indonesia akan mengambil tindakan dengan menaikkan suku bunga sebesar 100 bps pada tahun ini untuk menahan laju inflasi yang diperkirakan mencapai 3,8% pada tahun ini. 

Ekonom Bank Mandiri Faisal Rahman memperkirakan, kenaikan suku bunga The Fed tak akan mendorong Bank Indonesia menaikkan bunga pada bulan ini. Ada beberapa kondisi yang mempengaruhi, antara lain kondisi ketahanan sektor eksternal masih baik, inflasi terjaga dalam rentang target BI 2% hingga 4%, dan ekonomi yang masih menunjukkan tanda-tanda akselerasi pemulihan sehingga menjadi faktor penarik aliran dana masuk.

"Kami masih melihat BI baru akan mulai menaikan suku bunga di paruh kedua tahun 2022 sejalan dengan inflasi yang meningkat seiring percepatan pemulihan ekonomi," ujarnya. 

Menurut dia, Bank Indonesia sendiri sudah memperkirakan dan menghitung bahwa suku bunga The Fed akan berada pada level 2.75% di 2022 dan 3.25% di 2023. Dengan demikian, ia melihat keputusan BI menaikkan BI7DRRR akan lebih berat pada kondisi inflasi di Indonesia. Bank Mandiri meramal, BI akan menaikkan suku bunga acuan  sebesar 75 bps menjadi 4,25% pada tahun ini.

“Kenaikan suku bunga acuan akan sangat bergantung pada perkembangan inflasi, terutama inflasi inti. Kami perkirakan inflasi secara fundamental akan meningkat pada paruh kedua tahun ini,” kata dia. 

Faisal mengatakan, kenaikan bunga BI memang akan mengerek biaya yang harus dikeluarkan konsumen dan pengusaha karena suku bunga kredit yang naik. Kenaikan bunga juga dapat menghambat kegiatan investasi karena bunga pembiayaan meningkat. 

Namun, menurut Faisal, kenaikan suku bunga sangat dibutuhkan untuk mendukung stabilitas ekonomi. Kenaikan suku bunga diharapkan dapat menekan permintaan sehingga risiko inflasi yang terlalu tinggi dapat dihindari. 

"Ketika kondisi inflasi mulai naik, apalagi mendekati atau melebihi batas atas target BI, maka stabilitas dengan menaikan suku bunga secara net akan lebih memberikan dampak positif," katanya.