Di sisi lain, Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira menjelaskan bahwa penyaluran KUR ke UMKM belum merata. Merujuk pada data uang beredar yang diterbitkan Bank Indonesia pada 2020, 2021, dan September 2022, ada beberapa posisi kontraksi kredit yang dialami UMKM.

Pada akhir 2020, penyaluran kredit tumbuh tipis, yakni 3,5 % yoy di UMKM sektor kecil dan pertumbuhan 1,6 % pada UMKM sektor menengah. Pengurangan penyaluran kredit terjadi pada UMKM skala usaha mikro senilai 15,6 % dibanding periode yang sama di tahun sebelumnya.

Namun pada akhir 2021, UMKM sektor menengah yang justru terkontraksi tajam, sementara UMKM sektor mikro malah berbalik arah mengalami pertumbuhan tinggi. Bila dibandingkan dari tahun sebelumnya, UMKM sektor menengah mengalami kontraksi 24,4 % sementara UMKM skala mikro meningkat 61,9 %. 

Pembalikan kondisi penyaluran KUR pun semakin curam pada September tahun ini. Tercatat penyaluran kredit UMKM skala mikro bertumbuh tajam 137,5 % sementara kredit UMKM skala menengah turun 29,1 %.

“Di situ terlihat bahwa UMKM sektor menengah harus lebih dibantu oleh pemerintah,” ujar Bhima pada Katadata melalui sambungan telepon, Rabu (7/12).

TARGET PENYALURAN KUR 2022 (ANTARA FOTO/ Darryl Ramadhan/aww.)

Mampukah KUR Menahan Efek Krisis Global 2023?

Perekonomian Indonesia masih akan dibayangi krisis pada tahun depan. Bank Indonesia menyebutkan pertumbuhan ekonomi 2023 akan melambat dari perkiraan tahun ini 5,12 %. Dalam Rencana Anggaran Tahunan BI (RATBI) November lalu, bank sentral menyebutkan ekonomi Tanah Air akan melambat menjadi 4,37 %.

Asumsi ini juga mempertimbangkan dampak perlambatan ekonomi dunia, yang dalam perhitungan kondisi terburuk hanya tumbuh 2 %. Namun, BI menyebut prospek pertumbuhan Indonesia masih akan tinggi karena didorong permintaan domestik, seperti konsumsi dan investasi, serta kinerja ekspor yang masih positif meski mengalami perlambatan.

Serupa dengan asumsi BI, data Kementerian Koperasi dan UMKM pada 2020 lalu menyebutkan UMKM menjadi salah satu penyokong ekonomi Tanah Air dengan kontribusi 60,5 % terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Selain itu, 96,9 % dari total penyerapan tenaga kerja nasional berasal dari UMKM.

Ekonom pun sepakat KUR bisa menjadi jalan keluar agar UMKM mampu bertahan di tengah krisis ekonomi global dan menyangga ekonomi domestik secara bersamaan. Menurut Bhima Yudhistira, KUR menjadi salah satu pendanaan dengan suku bunga yang relatif murah dan plafonnya pun mulai tinggi. 

Namun KUR tidak sepenuhnya sempurna, menurut Bhima. Tenor yang ditawarkan KUR masih kaku. Ia mnyearankan tenor disesuaikan dengan sektor UMKM yang didanai. Misalnya, sektor pertanian cenderung memiliki waktu balik modal yang cukup singkat seperti tiga bulan. Sementara tenor yang ditawarkan KUR bisa lebih dari satu tahun.

Pasalnya, semakin lama tenor kredit, semakin banyak juga debitur membayarkan bunga pinjamannya. “Ini yang menjadi kekakuan KUR, dan persaingannya dengan financial technology lending. Fintech itu bisa dipakai lebih singkat sehingga bisa disesuaikan dengan sektor yang berbeda-beda,” ujar Bhima. 

Meski begitu, Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad berpendapat nilai bunga yang ditawarkan KUR sudah cukup bersaing. Hal ini didasarkan pada tingkat non performing loan alias pinjaman bermasalah yang tergolong rendah.

“NPL UMKM sekarang 3 – 4 %, berarti UMKM masih mampu bayar. Kalau udah di atas 5%, baru bahaya,” kata Tauhid pada Katadata

Ia melihat sejauh ini KUR banyak dimanfaatkan oleh sektor perdagangan yang sensitif terhadap ekspor dan keadaan global. Untuk menahan efek makro global, ia menyarankan UMKM mengubah orientasi pasar serta diversifikasi produk agar bisa dikembangkan di dalam negeri.

“Harusnya yang diperkuat itu UMKM sektor industri, karena bisa diversifikasi produk dan pasar. Kalau sektor perdagangan, cuma bisa melihat pasar dalam negeri saja dan tidak bisa melakukan diversifikasi,” jelasnya. 

Pandangan optimistis datang dari Ekonom CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet. Ia melihat UMKM akan bertahan pada krisis lantaran mayoritas bergerak di pasar domestik. Menurut perhitungannya, hanya 15 – 18 % di antaranya yang memasarkan pasarnya keluar negeri. Kemudian, pangsa pasar global UMKM Indonesia pun masih relatif kecil, sekitar 16 % dari total ekspor. 

“Selama ini UMKM itu relatif kuat terhadap krisis, kita sudah melihat krisis 1997, 2008, dan terakhir pandemi. Sehingga kalau kita bicara di tahun depan, menurut saya relatif mirip dengan kondisi saat krisis sebelumnya, UMKM relatif kuat dan bertahan” ujar Rendy pada Katadata melalui sambungan telepon, Rabu (7/12). 

Halaman: