Tantangan Kredibilitas dalam Mekanisme Perdagangan Bursa Karbon

123rf.com/Aleksandr Papichev
Ilustrasi karbon, CO2
22/8/2023, 22.28 WIB
  • Bursa karbon akan menjalankan skema persetujuan teknis batas atas emisi pelaku usaha (PTBAE PU) dan pencadangan karbon (offset) dalam mekanisme perdagangan.
  • Setiap unit karbon yang akan diperdagangkan harus melewati Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI) yang merupakan sistem verifikasi milik KLHK.
  • Kredibilitas unit karbon akan sangat bergantung pada SRN PPI karena bursa karbon akan menganggap kredibel apapun yang sudah melewati sistem tersebut. 

Hanya tinggal menghitung hari, Indonesia akan memasuki era baru perdagangan karbon. Sejak beberapa pekan silam, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menggelar roadshow di sejumlah kota untuk sosialisasi soal bursa karbon. Mulai dari Surabaya hingga ke Balikpapan. Selain itu, sosialisasi juga akan digelar di Medan, Jambi, dan Makassar.

OJK memang memegang kunci penyelenggaraan bursa karbon yang ditargetkan beroperasi pada September. Otoritas perlu merilis aturan main dalam penyelenggaraan bursa karbon.

“[POJK bursa karbon] masih proses di Kemenkumham. Dalam waktu dekat memang akan keluar mudah-mudahan minggu depan," kata Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon OJK Inarno Djajadi.

Peraturan OJK itu akan mengatur berbagai hal penting dalam bursa karbon. Salah satu yang krusial misalnya soal penyelenggaranya. Hingga saat ini OJK memang belum memberikan bocoran soal siapa yang akan menyelenggarakan bursa karbon. Namun, kabar beredar peran itu akan diambil oleh Bursa Efek Indonesia (BEI).

Dalam FGD dengan awak media pada pertengahan Juli silam, Inarno bahkan sempat menyebut tidak menutup kemungkinan OJK akan menunjuk beberapa penyelenggara sekaligus. Otoritas nantinya akan melakukan uji kelayakan (fit and proper test) terhadap para peminat. Inarno memberi bocoran beberapa persyaratan misalnya harus independen dan memiliki setoran modal yang cukup.

Selain soal penyelenggara, POJK juga akan mengatur mengenai mekanisme perdagangan. Tidak seperti di banyak negara yang menggelar pasar wajib di bursa karbon melalui emission trading system (ETS), bursa karbon di Indonesia agak unik.

Chairman Indonesia Carbon Trading Association (IDCTA) Riza Suarga menyebutnya sebagai pasar sukarela yang teregulasi (regulated voluntary market). Dalam mekanisme ini harga pasar karbon akan ditentukan oleh standarisasi yang diterima oleh pasar. Bursa karbon di Indonesia akan menjadi semacam ‘marketplace’ untuk kredit karbon sukarela.

“Selama bursa karbon tidak terlalu banyak diregulasi, harga pasar karbon akan berfluktuasi,” katanya kepada Katadata.

OJK Dukung Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca Dan Siapkan Penyelenggaraan Bursa Karbon (OJK)
 

Mekanisme Perdagangan

Penyelenggaraan bursa karbon sejatinya hanya satu dari empat mekanisme Nilai Ekonomi Karbon (NEK) yang diatur dalam Peraturan Presiden No. 98 tahun 2021. Beleid itu menetapkan NEK memiliki empat pilar yakni perdagangan karbon, pungutan atas karbon alias pajak, result-based payment (RBP) dan mekanisme lain.

Direktur Pengawasan Aset Digital OJK Lufaldy Ernanda mengatakan skema perdagangan karbon melalui bursa hanya akan fokus pada dua skema yakni perdagangan emisi dan pencadangan emisi (offset). Adapun RBP dan pajak karbon diatur dalam mekanisme lain di luar bursa.

Skema pertama yakni perdagangan emisi dilakukan dengan menetapkan batas atas atau kuota emisi bagi pelaku usaha. Kebijakan ini sudah mulai diterapkan oleh Kementerian ESDM melalui penetapan Persetujuan Batas Atas Emisi Pelaku Usaha (PTBAE-PU) bagi PLTU batu bara.

Dalam skema ini, Kementerian ESDM memberikan alokasi emisi yang boleh dihasilkan oleh PLTU. Jika emisinya lebih rendah dari kuota yang diberikan, maka PLTU tersebut bisa menjual kuota emisi tersebut melalui bursa karbon. Sebaliknya, jika ada PLTU menghasilkan emisi melebihi kuota, maka wajib membelinya dari PLTU yang memiliki surplus emisi.

Lufaldy menuturkan saat ini skema tersebut memang baru diterapkan di PLTU tetapi akan diperluas hingga ke sektor lain. “Skema penetapan PTBAE-PU nanti akan dilakukan oleh kementerian teknis masing-masing. OJK hanya mengatur bursanya,” katanya.

Skema ini sejatinya bukan hal baru dalam praktik perdagangan karbon. Dunia internasional mengenalnya dengan istilah cap and trade. Secara sederhana, otoritas akan menetapkan batas emisi tertentu, sementara pelaku usaha yang memiliki kelebihan kuota bisa menjualnya di bursa. Di banyak negara, penetapan kuota emisi bahkan dibuat semakin rendah setiap tahun. 

Sementara itu, skema kedua yakni offset dilakukan dengan cara yang sedikit berbeda. Offset atau pencadangan karbon berarti pelaku usaha menurunkan emisinya dengan mengkompensasi emisi di tempat lain. Biasanya dengan membeli sertifikat karbon yang dihasilkan dari proyek restorasi ekosistem berbasis hutan. Namun, tidak menutup kemungkinan kredit karbon juga dihasilkan dari proyek energi terbarukan.

Proyek offset inilah yang saat ini sedang menjadi incaran banyak perusahaan besar di Indonesia. Dua perusahaan di bawah naungan grup Royal Golden Eagle (RGE), April dan Asian Agri, jadi salah satunya. Kepada Katadata, Head of Sustainability Asian Agri Ivan Novrizaldie menyebut perusahaan sedang menyiapkan 100.000 hektare proyek konservasi.

“Lokasinya di mana belum bisa saya sebutkan, yang jelas kita sudah punya dan sedang mengajukan izin,” katanya, Mei silam.

Hal senada juga akan dilakukan oleh emiten batu bara Indika Energy. Wakil Dirut dan CEO Group Indika Energy Azis Armand menyebut proyek restorasi ekosistem menjadi salah satu strategi diversifikasi portofolio perusahaan.

“Pengembangan konsesi hutan itu saya sebut land use management, tidak semata-mata carbon credit project,” katanya.

Sistem Verifikasi SRN PPI

Salah satu tantangan perdagangan karbon adalah sistem verifikasi proyek iklim yang akan diperdagangkan di bursa karbon. Sistem verifikasi sangat penting untuk menjamin proyek dekarbonisasi tersebut memiliki penghitungan karbon yang valid sehingga memperkuat kepercayaan pasar. Dalam hal ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) akan menjadi ujung tombaknya.

Baik dalam skema offset maupun perdagangan emisi cap and trade, penjual di bursa karbon wajib mendaftarkan proyeknya di Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI). Ini merupakan sistem khusus besutan KLHK yang dipakai untuk pengelolaan, penyediaan data dan informasi, serta verifikasi proyek-proyek iklim di Indonesia.

Mekanismenya, pemilik proyek harus mendaftarkan programnya di SRN PPI untuk kemudian dilakukan verifikasi dan validasi. Selanjutnya, pengembang proyek akan  memperoleh Sertifikat Pengurangan Emisi gas rumah kaca (SPE GRK). SPE inilah yang nantinya bisa diperdagangkan melalui bursa karbon.

Wahyu Marjaka, Direktur Mobilisasi Sumberdaya Sektoral dan Regional KLHK, mengatakan SPE GRK akan berperan penting dalam transparansi kinerja perdagangan karbon. Tidak hanya bisa diperdagangkan, SPE akan berfungsi sebagai dasar penghitungan pajak karbon dan untuk pengajuan pembiayaan ramah lingkungan.

“Penerbitan SPE hanya bisa dilakukan melalui SRN PPI. Ini wajib bagi seluruh peserta perdagangan karbon di Indonesia,” katanya.

Wahyu menuturkan, SRN PPI sejatinya bukan hanya diperuntukkan untuk mengikuti bursa karbon semata. Namun, SRN PPI juga dipakai untuk mencatat aksi adaptasi, mitigasi, atau gabungan keduanya untuk mencapai target penurunan emisi dalam Nationally Determined Contribution (NDC).

Kredibilitas Unit Karbon

Bursa karbon yang akan digelar di Indonesia sejatinya hanya secondary market atau pasar sekunder. Lufaldy menuturkan primary market perdagangan karbon akan diatur oleh kementerian teknis masing-masing.

Di sektor kehutanan misalnya, tanggung jawab akan ada di ranah Kementerian LHK. Sementara sektor energi--perdagangan karbon antar PLTU misalnya--berada di bawah kewenangan Kementerian ESDM, sedangkan untuk sektor industri akan berada di bawah Kementerian Perindustrian. Kementerian teknis inilah yang nanti akan menetapkan kuota emisi bagi masing-masing sektor. 

Lufaldy menyebut kredibilitas dan kualitas unit karbon-baik PTBAE PU dan SPE GRK–yang diperdagangkan di bursa berada di bawah kewenangan kementerian masing-masing. Bursa karbon hanya menerima apa yang sudah diregistrasi pemerintah.

“Apapun yang sudah melewati SRN PPI akan kami anggap kredibel,” katanya.

Sementara itu terkait harga karbon di bursa, Lufaldy menuturkan akan sepenuhnya ditentukan oleh mekanisme pasar. Namun menurutnya, beberapa negara yang menerapkan pajak karbon biasanya memiliki harga karbon yang cukup tinggi di bursa. Selain itu, penetapan kuota emisi yang semakin rendah setiap tahun juga ikut mempengaruhi harga karbon. Di Inggris, Uni Eropa, dan Swis misalnya, harga karbon bisa mencapai US$ 90 per ton karena kuota emisi terus dipangkas sehingga menurunkan suplai unit karbon di bursa.

Kendati demikian, OJK menyebutkan peluncuran bursa karbon pada September mendatang tidak perlu menunggu implementasi pajak. Kepala Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK Inarno Djajadi mengatakan pajak karbon tetap diperlukan untuk menciptakan bursa karbon yang sehat. Namun, ia menilai bursa karbon tetap bisa berjalan meskipun perusahaan penghasil emisi belum dikenakan pajak.

Inarno menuturkan idealnya pajak karbon harus lebih tinggi dari harga karbon di bursa. Pasalnya, pajak harus menjadi instrumen untuk mendorong perusahaan mengurangi emisinya. Ini akan menciptakan permintaan dan penawaran di pasar karbon yang seimbang.

Hingga saat ini, implementasi bursa karbon di Indonesia memang masih sangat dini. Pemerintah dan OJK juga mengakui masih dibutuhkan serangkaian perangkat hukum untuk mengatur perdagangan karbon. KLHK misalnya, dalam waktu dekat berencana menerbitkan beleid untuk mengatur perdagangan karbon luar negeri dan beleid soal kontribusi bursa karbon terhadap target NDC.

Inarno bahkan secara khusus meminta agar ekspektasi pasar tidak terlalu tinggi saat bursa karbon diterapkan di pada September mendatang. “Kalau lihat di Eropa itu butuh bertahun-tahun juga sampai bursa karbon di sana berjalan bagus,” katanya.

Jika melihat peta jalan pengurangan emisi, bursa karbon sejatinya hanya salah instrumen untuk mempertemukan penjual dan pembeli. Idealnya, perusahaan harus menjalankan upaya dekarbonisasi sebelum masuk ke bursa karbon. Apalagi di Indonesia, bursa karbon akan mengkombinasikan antara mandatory market melalui PTBAE-PU dan voluntary market melalui SPE GRK.

“Bursa karbon bukan tempat untuk menurunkan emisi. Ini yang perlu kita pahami bersama,” pungkas Lufaldy.

Reporter: Rezza Aji Pratama