Bisnis Jastip Dibidik, Barang Impor Diselisik

Katadata/Andrey Rahman Tamatalo
Ilustrasi aturan pembatasan barang impor untuk bisnis jastip.
Penulis: Agustiyanti
3/4/2024, 13.25 WIB

Usaha jasa titip atau jastip barang-barang impor memberikan keuntungan besar kepada pelakunya. Christine Novita beberapa kali melakukannya ketika sedang berlibur ke Eropa.

Dalam sekali perjalananan, ia dapat meraih untung puluhan juta rupiah dari hasil komisi dan pengembalian pajak. "Tax refund di Eropa sekitar 12,5%. Jadi, tas merek Louis Vuitton bisa dapat pengembalian pajak sekitar Rp 2,5 juta plus komisi 5% hingga 10% dari harga barang," ujarnya kepada Katadata.co.id pekan lalu. 

Untuk membawa barang tersebut ke Indonesia ia harus berstrategi agar tak ketahuan pihak Bea Cukai. Caranya dengan melepas label harga. "Kalau luxury brandtag-nya bisa dipasang kembali," ucap perempuan 40 tahun tersebut. 

Strategi lainnya dengan memakai tas yang ia beli. Christine juga sengaja memakai sandal jepit saat berhadapan dengan petugas bea cukai. "Biar tidak dicurigai dan kelihatan seperti orang susah," katanya.

Ia juga membatasi pembelian barang agar tidak mencurigakan. Batasnya adalah 10 produk dan tidak hanya tas tapi juga barang lainnya, seperti jam dan dompet. 

Untuk tas atau boks kemasan produk, ia tidak membawanya. "Kalau konsumen tetap mau kotak biasanya dikirim pakai kargo dan kena biaya tambahan," ucap Christine yang sehari-hari bekerja sebagai karyawan swasta. 

Banyak konsumen yang tertarik memakai jasa titip karena harga barang mewah jauh lebih murah di Eropa daripada Indonesia. Ia mencontohkan, harga tas Louis Vuitton yang dibanderol Rp 20 juta di Benua Biru, harganya menjadi Rp 28 juta di Indonesia. Christine akan menjual produk ini Rp 22 juta ke konsumennya. 

Beda lagi dengan Aritya Putri. Perempuan berusia 35 tahun ini menjalankan bisnis jastip saat berlibur ke Jepang. Salah satu konsumennya nitip jam tangan pintar alias smartwatch merek Garmin. "Harga di Indonesia Rp 5,4 juta. Kalau di Jepang Rp 3,5 juta," katanya. 

Ada pula konsumen yang meminta dibelikan sepatu seharga Rp 1,8 juta. "Kalau di Indonesia harganya Rp 2,7 juta," ucap Aritya. 

Sebagai konsumen, Sari Saraswati merasa sangat terbantu dengan bisnis jastip. Ia membeli berbagai barang, mulai dari sepatu, tas, hingga casing ponsel. Kebanyakan barang-barang itu berasal dari Thailand dan Malaysia. "Kualitasnya bagus dan barangnya tidak ada di Indonesia," katanya. 

Dampak Aturan Pembatasan Barang Impor Penumpang

Tak ada angka pasti berapa perputaran ekonomi dari bisnis jastip di Tanah Air. Pemerintah sempat berencana melakukan pemantauan usaha ini pada 2020.

Ketika itu, Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan menyepakati kerja sama pemanfaatan dan pemantauan terintegrasi data dan informasi devisa terkait ekspor dan impor. Sistem yang bernama SiMoDIS itu dapat mendata dana hasil ekspor (DHE) dari belanja daring atau online hingga impor dari jastip. Namun, rencana ini tidak jelas implementasinya sampai sekarang. 

Yang teranyar, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor  36 Tahun 2023 kemudian direvisi menjadi Permendag Nomor 3 Tahun 2024. Di dalamnya berisi ketentuan barang bawaan yang dibawa penumpang dari luar negeri. Aturannya secara garis besar membatasi impor barang yang dianggap dapat mengganggu daya saing industri di dalam negeri. 

Berlaku sejak 10 Maret lalu, aturan ini akhirnya ditunda sebagian oleh Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan. "Jadi sekarang yang bisa jalan, jalan dulu, nanti mana yang keberatan akan kami bahas. Mungkin pelaksanaannya sebagian, sebagian ditunda sampai sosialisasi selesai," ujar Zulkifli di Jakarta, Minggu (17/3). 

Daftar pembatasan barang bawaan penumpang sesuai Permendag 3 Tahun 2024 dapat dilihat dalam infografik berikut ini: 

INFOGRAFIK: Siap-siap Bawaan Pelancong dari Luar Negeri Dibatasi (Katadata/ Amosella)

Pemerintah menunda sebagian aturan itu karena banyaknya kritik dari para pelancong. Video penjelasan Bea Cukai Kualanamu, Sumatera Utara, terkait peraturan barang bawaan penumpang ke luar negeri pada pertengahan bulan lalu memicu polemik di media sosial.

Warganet mengeluh khawatir dipersulit ketika berpergian ke luar negeri imbas pelaksanaan aturan baru kebijakan barang impor. Dalam video yang viral tersebut, petugas Bea Cukai Kualanamu menjelaskan mekanisme pelaporan barang yang perlu dilakukan penumpang sebelum bepergian ke luar negeri.

Deklarasi barang bawaan ke luar negeri tersebut wajib dilakukan di terminal kedatangan. Setelah melapor, penumpang diberikan surat persetujuan untuk membawa barang ke luar negeri dan dikawal menuju terminal keberangkatan.

Direktur Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan Askolani kemudian mengklarifikasinya. Pelaporan barang sebelum keberangkatan adalah fasilitas yang disediakan Bea Cukai dan bersifat opsional.

Pelaporan barang sebelum keberangkatan ke luar negeri telah diatur sejak lama melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 203 Tahun 2017. Kebijakan ini sebenarnya efektif untuk dimanfaatkan pelaku usaha atau masyarakat yang menggelar atau mengikuti kegiatan di mancanegara, seperti pameran.

“Mereka dapat menyampaikan sebelum berangkat, barang apa saja yang sudah dimiliki, misalkan tustel, HP, laptop, iPad. Waktu penumpang pulang, itu akan mempermudah dan mempercepat pelayanan,” ujar Askolani dalam konferensi pers di Jakarta pada 25 Maret lalu.

Lona Olivia yang bepergian untuk berlibur dengan keluarga ke Malaysia sempat was-was dengan aturan baru soal barang impor tersebut. Namun, saat akan berangkat melalui Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, ia ternyata tidak perlu melakukan deklarasi tersebut.

Lalu, saat pulang pada 13 Maret 2024, ia hanya perlu mengisi formulir bea cukai. "Enggak ada yang berbeda. Kemarin memang hanya beli sepatu dan langsung pakai," ucapnya. 

Kekhawatiran juga dirasakan Rahmi. Pelaku usaha jastip barang-barang dari Bangkok, Thailand, ini sempat cemas ketika tiba di Jakarta pada 19 Maret lalu. Tapi ternyata ia tak mendapat hambatan sama sekali. Selain karena hanya membawa satu koper kecil, barang-barang titipannya ia kirim melalui kargo.  

BEA CUKAI TERTIBKAN JASA TITIPAN (ANTARA FOTO/Umarul Faruq)

Mengapa Pemerintah Ingin Membatasi Bisnis Jastip?

Zulkifli menilai respons masyarakat terkait aturan barang impor terlalu berlebihan. Aturan tersebut, menurut dia, untuk melindungi industri tekstil di dalam negeri. 

“Kita ini kalau sama peraturan bangsa sendiri itu lebay. Pembongkaran barang bawaan bandara itu kan hal biasa saja, kenapa mesti ribut,” ujar Zulhas saat ditemui di Bogor, akhir bulan lalu. 

Ia menekankan pemerintah tidak akan kembali merevisi aturan kebijakan impor yang berlaku 10 Maret 2024 ini. Permendag yang baru akan membuat usaha jastip dan pelaku usaha domestik lainnya berada pada kondisi usaha yang sama. 

Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia atau Hippindo menganggap barang hasil jastip termasuk barang ilegal yang selama ini telah menggerus industri perdagangan di dalam negeri. Kontribusinya diperkirakan mencapai 20% dari nilai industri di dalam negeri. 

Ketua Umum Hippindo Budihardjo Iduansjah mengklasifikasikan usaha jastip menjadi tiga, yakni jastip bawaan penumpang, kargo, dan kontainer. Menurut dia, popularitas barang jastip meningkat lantaran harganya yang lebih murah hingga 60% dari barang yang sama di dalam negeri.

"Sejak pandemi Covid-19, industri retail baru pulih 80% dibandingkan 2019. Setelah kami lihat, hal tersebut didorong salah satunya oleh usaha jastip," kata Budiharjo kepada Katadata.co.id. 

Tingginya harga barang yang sama di dalam negeri  disebabkan oleh berbagai jenis pajak yang harus dipenuhi importir. "Waktu barang jastip dijual di dalam negeri, kami sudah otomatis kalah," ujarnya.

Berdasarkan data Bea Cukai, total terdapat 3.395 penindakan barang penumpang pada tahun lalu, meningkat dibandingkan 2022 sebanyak 2.709 penindakan. Potensi kerugian negara dari penindakan ini diperkirakan mencapai Rp 1,3 triliun, naik dibandingkan 2022 sebesar Rp 445 miliar.

Sepanjang tahun ini, sudah terjadi 830 penindakan, dengan potensi kerugian negara mencapai Rp 208 miliar. Bea Cukai mencatat, lima komoditas yang paling banyak masuk dalam daftar penindakan adalah miras, rokok, narkotika, kosmetik, dan uang tunai. 

Bea Cukai Tertibkan Jastip (ANTARA FOTO/UMARUL FARUQ)

Cara Bea Cukai Mencegah Jastip Ilegal

Bisnis jastip sebenarnya tak sepenuhnya ilegal. Barang-barang yang dibeli dapat menjadi legal jika mengikuti prosedur dengan membayar bea masuk dan cukai.

Bea Cukai sebenarnya tidak mengenal istilah jastip. Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai, Nirwala Dwi Heryanto mengatakan, pihaknya hanya mengatur barang bawaan penumpang menjadi dua kategori yaitu  pribadi atau personal use dan barang nonpribadi atau non personal use.

Personal use adalah barang keperluan pribadi penumpang dalam melakukan perjalanan. Jadi jastip itu masuk dalam kategori non personal use,” ujar Nirwala kepada Katadata.co.id.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 203 Tahun 2017 tertulis pembebasan bea masuk barang pribadi penumpang yang diperoleh dari luar negeri yakni sebesar US$ 500 per orang. Kemudian, Permendag Nomor 3 Tahun 2024 menyebut terdapat lima jenis barang bawaan penumpang yang dibatasi jumlahnya muatannya, yakni alat elektronik , alas kaki, barang tekstil, tas serta sepatu.

"Para penumpang hanya dapat membawa barang dengan jumlah maksimal yang ditentukan oleh Permendag Nomor 36 Tahun 2023 dan harganya di bawah US$ 500 per orang," kata dia. 

Mahalnya Biaya Jastip Legal (Katadata/Andrey Rahman Tamatalo)

Kepala Subdirektorat Humas dan Penyuluhan Bea Cukai, Encep Dudi Ginanjar menyebut, penumpang akan dikenakan pembatasan saat masuk jika barang baru yang dibawa penumpang memiliki nilai lebih US$ 500.

Sebagai contoh, jika Nyonya A pulang dari Negara B membawa lima buah tas baru dengan nilai US$ 1.000 per tas. Bea Cukai akan menyita tiga tas lainnya yang tidak sesuai dengan Permendag Nomor 36 Tahun 2023.

Kemudian dua tas Nyonya A yang lolos, akan dilihat kembali nilainya. Karena dua tas memiliki nilai US$ 2.000, Bea Cukai hanya akan membebaskan bea US$ 500, sedangkan sisa US$ 1.500 lainnya harus membayar bea masuk.

Encep pun juga menjelaskan, Bea Cukai telah memiliki manajemen risiko untuk melakukan ‘penyisiran’ terhadap penumpang yang akan melewati jalur hijau atau jalur merah

Jalur hijau adalah jalur pengeluaran barang impor dengan tidak dilakukan pemeriksaan fisik barang. Sementara jalur merah adalah jalur pengeluaran barang impor dengan dilakukan pemeriksaan fisik barang.

“Yang diperiksa ke jalur merah/red line juga sedikit, maksimal 7% dilakukan pemeriksaan jadi lebih dari 90% lolos. Tentu banyak faktor-faktor pemeriksaan, salah satunya kami punya database penumpang,” ujarnya.

Ia menjelaskan, ada beberapa faktor untuk manajemen risiko melakukan pemeriksaan, seperti pemeriksaan melalui database dan media sosial penumpang. “Misalnya gini, datang dari luar negeri sebenernya jalur hijau, tetapi  dari manajemen risiko melihat dari paspor rutin sebulan sekali ke luar negeri, lalu cek media sosialnyasuka menawarkan barangnya, untuk bisnis. Jadi ini jalur merah,” ujarnya.

Bea Cukai pun memiliki beberapa alat pembantu pengecekan seperti x-ray untuk melihat isi barang bawaan penumpang satu per satu tanpa membongkar isi bawaan. “Ketika ada yang mencurigakan, misalnya ada sepatu lima pasang atau membawa narkotika, itu jadi concern kami,” ujarnya.

Reporter: Andi M. Arief, Zahwa Madjid