Riset dan Close Loop System Jadi Pendorong Produktivitas Pertanian

Ilustrator: Betaria Sarulina
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Agribisnis, Pangan dan Kehutanan Franky Oesman Widjaja.
Penulis: Tim Redaksi
Editor: Redaksi
24/11/2019, 09.00 WIB

Ketahanan pangan masih menjadi fokus utama pemerintah Indonesia. Pada 2024, jumlah penduduk Indonesia diprediksi mencapai 350 juta jiwa sehingga pemerintah harus fokus meningkatkan produksi pangan secara signifikan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Di sisi lain, produktivitas pertanian Indonesia jauh tertingal dibandingkan negara-negara tetangga.

Karenanya, perlu sinergi yang kuat di antara pemangku kepentingan seperti pemerintah, asosiasi dan himpunan bisnis, petani, korporasi, perbankan dan lembaga keuangan lainnya untuk mencapai ketahanan pangan. Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) menilai penciptaan ekosistem iklim investasi ketahanan pangan yang baik di sektor pertanian nasional sangat penting agar daya saing Indonesia meningkat, khususnya dalam menghadapi persaingan global yang semakin dinamis dan kompetitif.

Untuk mengetahui apa saja tantangan pengembangan sektor pertanian dan pangan, Katadata mewawancarai Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Agribisnis, Pangan, dan Kehutanan Franky Oesman Widjaja. Berikut petikan wawancaranya.

Menurut Anda, seperti apa perbedaan kondisi pangan dan pertanian saat ini dengan tahun-tahun sebelumnya?

Ada istilah "The right time, the right people, and the right place". Presiden Joko Widodo punya prioritas untuk sektor investasi agar lebih banyak menyediakan lapangan kerja. Lalu infrastruktuktur dilanjutkan agar lebih efsisien, regulasi dan birokrasi disederhanakan, sumber daya manusia (SDM) dibangun dengan peningkatan keterampilan, pelatihan, dan transformasi ekonomi.

Jadi, dengan kerangka ini kami coba terjemahkan ke sektor agrobisnis dan agroindustrinya, di hulu dan hilir. Sejak beberapa tahun lalu, Kadin selalu mendengar keluh-kesah pengusaha. Keluhan yang sering kami dengar adalah soal produktivitas dalam negeri yang payah sekali. Bandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam, produktivitas kita hanya setengah atau di bawahnya. Lalu, industri hilir yang bernilai tambah tidak dioptimalkan.

Padahal, dari 5% pertumbuhan ekonomi (Produk Domestik Bruto/PDB) Indonesia, sekitar 1% disumbangkan oleh agribisnis. Makanya, Kadin berunding bersama pakar dan pelaku usaha lainnya. Bagaimana ini? Kalau bisa kita kembangkan dengan mudah kontribusi sektor agribisnis sebesar 1,5 kali. Jadi dalam lima tahun atau lebih sedikit, kontribusi pertanian sudah bisa 2,5% terhadap PDB. Kami di Kadin sepakat bisa mencapainya.

Bagaimana caranya?

Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) Pak Bambang Brodjonegoro, yang ditunjuk presiden mengurus riset juga orang yang mengerti keuangan.

Jadi, kalau hanya dengan riset tapi tidak bisa dimonetisasi maka akan menjadi sia-sia (wasted). Sekarang jika riset digunakan untuk menghubungkan berbagai sektor itu akan dahsyat sekali. Itulah mungkin ide berikutnya yang menarik di bisnis agriindustri.

Caranya: pertama, penyediaan bibit tanaman yang unggul dan berproduksi tinggi. Kedua, kalau ada lahan tambahan silakan, tapi intensifikasi sangat penting untuk tingkatkan produktivitas. Ini bicara upstream (hulu) dulu, ya.

Ketiga, praktik agrikultur yang baik. Artinya, sumber daya manusia harus dilatih. Keempat, harus ada offtaker. Kalau produk sudah jadi tetapi tidak diambil, barang akan busuk. Kasihan sudah capek-capek ditanam tetapi tidak dimanfaatkan. Terakhir, ketersediaan pendanaan (financing).

Perkebunan jagung. (ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi)

Apakah dibutuhkan sistem khusus untuk melaksanakan ide tersebut?

Keseluruhan hal tersebut harus menjadi satu-kesatuan atau close loop system. Sistem ini sudah terbukti di komoditas sawit. Ini sudah bagus, kenapa tidak diduplikasi di komoditas lainnya? Sistem ini bisa diduplikasi oleh sektor lain. Tidak harus sama.

Hal tersebut penting karena petani skala kecil saja tidak akan efisien. Bila petani kecil dan petani besar bisa bersatu, kita bisa berhasil. Kadin mengusulkan kita bersatu untuk berkembangan menjadi besar dengan cepat. Dengan demikian, produktivitas bisa jauh, berkelanjutan, dan meningkat dengan cepat.

Gotong-royong juga menjadi kunci untuk membangun mata rantai yang kuat. Kadin akan mendorong sektor pertanian secara konsisten dan persisten. Kami ingin mengajak orang-orang untuk investasi. Oleh karena itu, masalah yang ada, seperti perizinan, birokrasi, dan riset harus ditangani satu per satu.

Selain itu, diperlukan kebersamaan antara pemerintah, pelaku usaha, akademisi, dan petani. Kerja sama antara petani skala besar dan skala kecil juga menjadi penting.

Ke depan, sistem close loop itu bisa diterapkan untuk komoditas apa saja selain sawit?

Komoditas apapun bisa. Komoditas beras bisa menggunakan sistem ini. Kami akan melihat kelemahannya di mana. PT Sinar Mas Agro juga sudah memiliki banyak prototype yang menggunakan sistem close loop. Sistem ini hanya perlu dipercepat dan diperbanyak pada komoditas lain.

Apa opsi komoditasnya yang bisa diterapkan?

Misalnya, Thailand membuat kopi dengan irigasi. Itu kan pemikiran out of the box. Produktivitas kopinya menjadi besar, mencapai 6-7 ton per hektare (ha). Sementara, produksi kopi kita di sini hanya 1,5-2 ton per ha dengan sistem konvensional.

Irigasi katanya mahal di Indonesia. Tapi kalau dibandingkan antara investasi dengan hasilnya, biaya itu tidak seberapa. Produktivitasnya bisa dua kali lipat, bahkan tiga kali lipat.

Nah, supaya pelaku usaha skala besar dapat menyatu dengan pelaku skala kecil, perlu ada riset secara mandiri dan riset dari pihak akademisi. Mereka perlu menjadi mitra.

Apakah sudah ada perhitungan kebutuhan investasi di sektor pertanian supaya pertumbuhannya bisa kencang?

Kebutuhan investasinya besar sekali kalau mau tumbuh pesat. Kalau mau menambah kontribusi terhadap pertumbuhan dari 1% menjadi 2,5%, perlu miliaran dolar. Kita harus mengundang investor dari seluruh dunia.

Saat investasi, pengusaha baru mendapatkan keuntungan setelah memenuhi berbagai kewajiban. Pertama, pendapatan harus dibagi untuk stakeholder, seperti pemerintah. Ini artinya untuk membayar pajak.

Kedua, pendapatan digunakan untuk membayar pinjaman bank. Ketiga, pendapatan digunakan untuk membayar karyawan. Keempat, pendapatan dipakai untuk melakukan reinvestasi. Kelima, dividen baru diperoleh untuk pengusaha. Oleh karena itu, pengusaha semestinya diberikan karpet merah. Dengan demikian, investasinya akan meningkat.

Halaman:
Reporter: Rizky Alika, Ekarina